Skip to main content
Sri Walny Rahayu
  • Fakultas Hukum
    Universitas Syiah Kuala,
    Jln. Putroe phang No. 1 Darussalam - Banda Aceh. (23111)
    Indonesia

Sri Walny Rahayu

Buku ini terdiri atas 8 (Delapan) BAB, yaitu BAB Pendahuluan. Judul BAB II adalah Aceh dan Potensi Berdaulat Pangan. BAB III tentang Konsep Ketahanan Pangan. BAB ke-empat mengulas Kebijakan Ketahanan Pangan. BAB ke-lima tentang kearifan... more
Buku ini terdiri atas 8 (Delapan) BAB, yaitu BAB Pendahuluan. Judul BAB II adalah Aceh dan Potensi Berdaulat Pangan. BAB III tentang Konsep Ketahanan Pangan. BAB ke-empat mengulas Kebijakan Ketahanan Pangan. BAB ke-lima tentang kearifan lokal masyarakat Adat Aceh. BAB ke-enam memuat Hambatan dan Tantangan Pemerinta daerah Dan Lembaga Adat Mewujudkan Kedaulatan Pangan di Aceh Pada Masa Pandemi Covid-19 Era New Normal. BAB Ke-tujuh tentang Strategi Pelembagaan dan Industrialisasi. Bab delapan, merupakan terakhir memuat Simpulan dan Saran.
Buku yang diperuntukkan bagi akademisi, praktisi dan masyarakat luas ini, bertujuan sebagai informasi, edukasi dan strategi kebijakan konkret yang dapat diterapkan oleh multi stake holder, referensi bagi akademisi, peneliti dan masyarakat luas yang tertarik mengenai isu aktual hukum adat keujruen blang dan panglima Laôt di bidang pangan di Aceh.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan wabah Covid-19 itu sebagai bencana non alam dengan status sebagai bencana nasional berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Bencana Nasional. Pemerintah juga telah membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Kondisi tersebut disikapi oleh masing-masing pemerintah daerah telah membentuk satuan tugas untuk menangani wabah Covid-19. Perluasan sebaran Covid-19 tersebut berimplikasi terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat di bidang hukum, ekonomi yang di dalamnya termasuk kedaulatan pangan, sosial, dan budaya.
Sebaran Covid-19 semakin luas dan menghawatirkan. Jumlah kasus orang yang terpapar Covid-19 secara global terdata dari 219 negara, terkonfirmasi Covid-19 sejumlah
50.676.072 dan meninggal 1.261.075 jiwa. Negara Indonesia jumlah pasien positif Covid-19 sejumlah 444.348, sembuh 375.741 serta meninggal dunia 14.761 (Covid19.go.id, data diakses tanggal 10 November 2020). Provinsi Aceh, data pasien yang terpapar virus Covid-19, sejak kasus pertama diumumkan pada 27 Maret 2020 silam, jumlah akumulatif kasus Covid-19 Aceh terkonfirmasi sudah mencapai 8.106 orang. Penderita yang dirawat saat ini 1.129 orang, sembuh 6.676 orang, dan 301 orang meninggal dunia (https://dinkes.acehprov.go.id/, diakses tanggal 21 November 2020).
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi setiap rakyat Indonesia. Pada saat pandemic covid 19, ketersediaan pangan harus tersedia secara cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat. Untuk tujuan tersebut, sistem Pangan yang memberikan perlindungan, baik bagi pihak-pihak yang memproduksi maupun yang mengonsumsi pangan.
Ketersediaan bahan pangan pokok pada kondisi pandemi memegang peranan penting karena merupakan kebutuhan  dasar  manusia.  Dampak  pandemi  Covid-19
berpengaruh pada krisis pangan jika tidak dikelola dengan baik, apalagi kondisi pandemi Covid-19 menyebabkan terjadinya pembatasan sosial. (TNP2K, 2020).
Ketidaktahanan pangan di Provinsi Aceh terlihat dari tingginya prevalensi angka gizi buruk pada tahun 2013 yaitu 26,8%. Rata-rata nasional sebesar 19,6% (Kementerian Kesehatan 2014). Hal ini menunjukkan bahwa selain tingginya tingkat kemiskinan, Provinsi Aceh juga merupakan provinsi yang rawan pangan dan gizi. Jumlah Penduduk Miskin Aceh pada Maret 2020 sebanyak 814,91 ribu orang, bertambah 5,1 ribu orang dibanding September 2019 sebesar 809,76 ribu orang. Kondisi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin juga cenderung semakin besar (Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, 2020). Kebutuhan pangan diperkirakan dikonsumsi dalam kuantitas yang sama meskipun aktivitas masyarakat hukum adat lebih  terbatas.
Ketidaktahanan pangan di Provinsi Aceh juga terlihat dari jumlah konsumsi energi yang dikonsumsi dari beberapa bahan makanan. Konsumsi energi pada masyarakat Aceh
selama    periode    2008–2013    masih    belum    memenuhi kebutuhan yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 75 Tahun 2013, yaitu 2.150 kkal/kapita/hari. Rata-rata konsumsi energi di Provinsi Aceh hanya mencapai kebutuhan energi 1.823 kkal/kapita/ hari (BPS 2008−2014). Angka konsumsi energi merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat ketahanan pangan (Ilham et al. 2006; Rindayati et al. 2008; Baldos et al. 2014; Zakiah 2016).
Pengembangan pangan lokal berbasis kearifan lokal masyarakat adat dapat dijadikan alternatif solusi mencegah terjadinya krisis pangan di tengah pandemi Covid-19. Masyarakat hukum adat di bidang pertanian Provinsi Aceh, disebut dengan “Keujreun Blang.” Masyarakat hukum adat ini, memiliki kearifan dan pengetahuan lokal, mengatur, mengelola dan melakukan koordinasi pembagian air kepada petani, memimpin pelaksanaan gotong royong, memastikan terlaksananya berbagai kesepakatan adat, dan terlibat langsung dalam penyelesaian sengketa, hingga mendorong ketahanan pangan lokal.
Bentuk kearifan lokal dan pengetahuan tradisional lainnya di bidang sumberdaya perikanan, disebut masyarakat hukum adat laut yang dipimpin oleh “Panglima Laôt,” Masyarakat hukum adat laut memiliki hak ulayat laut, melakukan pengelolaan perikanan bersifat komunal, termasuk berwenang membuat aturan dan sanksi mengelola dan memanfaatkan sumberdaya perikanan. Keuntungan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat adat adalah rendahnya biaya transaksi dalam pengawasan dan penegakan aturan, karena adanya interdependensi antar anggota persekutuan masyarakat adat. Peran langsung persekutuan Hukum Adat laut dalam pengelolaan perikanan diperkuat sesuai kearifan lokal dan budaya setempat.
Pemberdayaan masyarakat hukum adat di Aceh dalam mewujudkan kedaulatan pangan, kenyataannya masih belum optimal dan cenderung kurang berkontribusi. Kebijakan yang ada masih menganggap pembangunan hanya bersifat pertumbuhan produksi semata. Saat ini, pangan lokal yang dihasilkan oleh petani, masyarakat adat dan nelayan
tradisional  mengalami  tekanan  besar  akibat perubahan iklim, perdagangan pangan yang tidak adil serta modernisasi pertanian yang melupakan kearifan lokal. Tak mengherankan Provinsi Aceh masih kesulitan memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri. Oleh karena itu, dibutuhkan konsep model kearifan dan pengetahuan lokal masyarakat hukum adat sebagai upaya perwujudan kedaulatan pangan di Aceh masa Covid-19 di era new normal.
Abstract: According to article 1 point 1 of the Indonesian law number 21 of 2008 concerning sharia banking and everything related to sharia banks and sharia business units, including institutional activities and its ways to do activities... more
Abstract: According to article 1 point 1 of the Indonesian law number 21 of 2008 concerning sharia banking
and everything related to sharia banks and sharia business units, including institutional activities and its ways to
do activities and processes. The trading system (Buying-selling) in Islamic banking have several benefits, one of
which is the capital provided consistently related to the real sector as the goods sold are the base for it. In
addition, the agreed price remain unchanged until the terms end, one of the examples is murabaha. In the
implementation of the murabaha,occasionally the customers breach the agreement with several consequences, in
effect, bank applies fines for late payment of installment. The purpose of this paper is to explain the
implementation of the fine in the murabaha agreement in Islamic banking in Banda Aceh. This type of research
uses primary data or empirical juridical research that examines law identification (unwritten) and research on the
effectiveness of law as an object of research. The approach used in this research is a qualitative approach and
presented in analytical descriptive form. The results showed high level of neglection among customers regarding
the principle of finesand some still signed the contract immediately without trying to understand the terms of the
contract. Moreover, lack of direct communication and supervision by the bank are other factors that prevent the
customers business to operate normally without installment payments being delayed.Based on the results of this
study, it is suggested to customers to understand and read the murabaha contract before it is signed so that they
can object to the payment of a fine when they are unable to pay. Furthermore, the bank should ensure and
continuously remind customers to read the entire contract, examine and supervise periodically customer's
business activities to avoid the case of unpaid installment.

Keywords: Implementation, Fines, Murabaha Agreements, Islamic Banking.
Subject to article 1234 The Civil Code says that, the alliance is intended to give something, to do something, or to do nothing, hereinafter section 1338 of the Civil Code says, all approvals made in accordance with the law apply as a law... more
Subject to article 1234 The Civil Code says that, the alliance is intended to give something, to do something, or to do nothing, hereinafter section 1338 of the Civil Code says, all approvals made in accordance with the law apply as a law to those who make it. The agreement is irrevocable in addition to the agreement of both parties, or for the reasons prescribed by the law. Consent must be exercised in good faith. In relation to the construction contract of the Keureuto Reservoir in North Aceh, the main contractor with the delay in payment of the executor of the implementation of some work has occurred. The first party, namely PT Hutama Karya, must pay some money to the second party, namely PT Sahrindo who has carried out irrigation excavation activities for the Keureuto Reservoir. At maturity for excavation Pembayan, it turns out that the first party does not fulfill its promise as referred to in the agreement. This type of approach is the method of normative juridical approach. This research uses primary and secondary legal materials by conducting structured interviews as well as unstructured interviews and discussions related to the study. Data is collected through field research and literature research. Data is analyzed in a qualitative analysis way. The results showed that, the default legal relationship of the working contract of the Keureutoe Reservoir in north Aceh between the Maincontractor and subcontractor, from the rights and obligations of the first Party and the second party has spawned a binding legal relationship between the two, so that it can produce provisions containing fines and also the implementation of the work of Keureuto Reservoir project in North Aceh. According to the interview results, in the contract date 05 April 2016 was agreed numbered: 014. SSP/HUTAMA-PRAPEN. JO/SJP/IV/2016, namely, land work, work threw out the proceeds on the project of the construction work of the Keureuto Kab. North ACEH between the parties, namely PT Hutama Prapen with PT Sarindo Jaya Perkasa has set up a subctance clearly with the law as a law for the parties.
Keywords: Due to Legal, Default, Contract Work Contracts.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantina Kesehatan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Instrumen ketiga tidak... more
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantina Kesehatan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Instrumen ketiga tidak terlalu lengkap dengan peraturan teknis di bawahnya, terutama UU 6 Tahun 2018. Hal ini menjadi perdebatan dan mendesak menjadi prioritas pemerintah. Pemerintah-pun telah melakukan pembagian bantuan untuk memutus mata rantai penularan virus Covid 19. Imbauan menggunakan topeng, rajin membawa tangan menggunakan sabun, jarak sosial, jarak fisik, WFH, SFH, beribadah di rumah, sampai dengan menggunakan PSBB. Namun demikian, tampaknya tidak sesuai dengan yang diharapkan, tetapi karena tidak diharapkan, harus ada yang mengeluarkan kebijakan yang diharapkan dari kebijakan yang ada. Menambah orang yang terpapar Covid 19 terus saja bertambah. Berdasarkan PAsal 18 B ayat (1) UUD 1945, maka Pemerintah Aceh membentuk Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Aceh dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Adapaun UU Kekhususan Aceh sebagai daerah Otonomi Khusus diatur oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, yang akhirnya dicabut oleh Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UU PA Tahun 2006). Sistem hukum yang berlaku di Aceh, adalah sistem hukum nasional dalam pengertian diversitas hukum yang terdiri dari sistem hukum negara, sistem hukum internasional yang telah diratifikasi, sistem hukum islam (hukum syariah), sistem hukum adat / hukum kebiasaan (hukum adat). Dengan demikian sistem hukum yang ada di Aceh bukan sebagai suatu kesatuan hukum yang tunggal, harus diakui sebagai diversitas kelompok sosial, dengan berbagai variasi norma sosial dan kebiasaan yang merupakan patokan keadilan, yang memberikan landasan bagi hukum, baik nasional maupun lokal sebagai sistem hukum nasional . Dalam perdebatannya menghindari dan menangkal merebak dan meluasnya virus Covid-19, tingkat partisipasi masyarakat menyetujui pemerintah pun bervariasi. Aceh terdiri dari berbagai suku di mana setiap suku memiliki budaya, bahasa dan pola pikir masing-masing.
RINGKASAN Setiap orang dilarang mengedarkan pangan yang mengandung racun, berbahaya atau dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia. Hal ini bertentangan dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No.... more
RINGKASAN
Setiap orang dilarang mengedarkan pangan yang mengandung racun, berbahaya atau dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia. Hal ini bertentangan dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No.  33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Undang-undang Pangan No. 18 Tahun 2012 tentang pangan dan berbagai produk aturan pelaksana lainnya yang menjamin dan mencegah keamanan pangan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu pilar ekonomi nasional yang menjadi katup pengaman perekonomian nasional diatur oleh UU Nomor 20 Tahun 2008. Oleh karena itu Pemerintah Aceh, dunia usaha, dan masyarakat perlu menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan serta daya saing UMKM menghadapi persaingan bebas Masyarakat Ekonomi Asean, sehingga pelaku UMKM di Aceh mampu bersaing tidak hanya di antara sesama pelaku usaha lokal tradisonal namun juga dengan pelaku usaha besar nasional dan pengusaha asing yang menerapkan model usaha waralaba. Provinsi Aceh memiliki keistimewaan penyelenggaraan pemeritahan berdasarkan syariat Islam, maka selain hukum hukum negara,  berlaku juga hukum Islam, hukum adat dan Ulama merupakan elemen penting dalam menetapkan kebijakan daerah. Dalam keterkaitan makanan dan minuman diterbitkan Qanun No. 8 Tahun 2016 Tentang Sistem Jaminan Produk Halal. Harapan lainnya, Aceh ingin menjadi Provinsi andalan destinasi Wisata Islami yang menjamin kehalalan setiap produk dan usaha perdagangan di wilayah Aceh. Dalam praktiknya, ditemukan berbagai pelanggaran peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas, dilakukan oleh pelaku UMKM bidang pangan di wilayah sampel yaitu Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Tengah, Kota Lhokseumawe dan Kota Banda Aceh.
Target penelitian pertama, bertujuan menganalisis dan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan produksi makanan dan minuman yang dipasarkan oleh pelaku UMKM di Aceh, belum memenuhi dan melindungi konsumennya sesuai dengan norma hukum positif di Indonesia. Kedua, menemukan dan merumuskan bentuk kebijakan konkret yang diterapkan oleh Pemerintah Aceh melindungi pelaku usaha makanan dan minuman UMKM dikaitkan dengan perlindungan konsumen. Ketiga, Menemukan  dan memberikan rekomendasi model rekonstruksi politik hukum dan penerapan asas perlindungan pelaku usaha makanan dan minuman lingkup UMKM, yang mandiri dan berdaya saing dalam pluralisme hukum di Aceh menghadapi trend global. Dua fokus target penelitian tersebut, ditujukan sebagai upaya mengahadapi ancaman dan tantangan arus globalisasi. Adapun target yang ingin dihasilkan pada fokus penelitian ketiga adalah menghadapi perdagangan era rovolusi industri 4.0, saat mana pelaku UMKM konvensional harus bersaing dengan pelaku usaha yang menggunakan digital dan online. Hasil Penelitian ini, sejalan dengan Rencana Induk Penelitian Universitas Syiah Kuala Tahap II (2018-2020), sub bidang unggulan Pembentukan Hukum di Aceh.
Jenis penelitian bersifat penelitian hukum yuridis sosiologis yang mengamati reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat dan apa yang ada di balik yang tampak dari berbagai penerapan berbagai peraturan perundang-undangan UMKM dan UU perlindungan Konsumen (behind the law) sehingga dapat direkonstruksi politik hukum UMKM di Aceh.  Pendekatan yang digunakan secara sosiologis dan kualitatif. Data primer penelitian dibangun dari fakta sosial, yang berkaitan dengan bekerjanya berbagai peraturan perundang-undangan UMKM dan perlindungan konsumen. Teknik pengumpulan data berdasarkan observasi dan kuesioner yang diperoleh dari responden dan informan melalui teknik purposive samping. Data sekunder (library reseach) berupa penelusuran berbagai literatur, dokumentasi dan peraturan perundang-undangan yang relevan, digunakan sebagai data awal pembanding mengkaji UMKM, perlindungan konsumen, jaminan produk halal. Data yang telah dikumpulkan diolah dengan menggunakan metode deskriptif analitis selanjutnya disajikan dalam bentuk kualitatif.

Kata Kunci: Rekonstruksi Politik Hukum, Asas Perlindungan, Pelaku Usaha Makanan dan Minuman, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Aceh.


SUMMARY
Everyone is prohibited from distributing food and drinks that contain poison, is prohibited because it can endanger human health and life. These actions, contrary to Law No. 8 of 1999 concerning Consumer Protection, Law No. 33 of 2014 concerning Guaranteed Halal Products, Law No. 7 of 2014 concerning Trade, Food Law No. 18 of 2012 concerning food and various other implementing regulations that guarantee and prevent food security from biological, chemical, and other pollution that can disturb, endanger human health, do not conflict with religion, beliefs and culture of the community, so that food and drinks are safe for consumption. Micro, Small and Medium Enterprises (MSMEs) is one of the pillars of the national economy which is a national economic safety valve, regulated by Law Number 20 of 2008. The Government of Aceh, the business community, and the community must work together to develop and improve the competitiveness of MSMEs who face free competition, so that MSMEs are able to compete not only between traditional local entrepreneurs but also with national big business actors and foreign entrepreneurs who apply the franchise business model. Aceh Province has a pluralistic legal system. In addition to State Law, Islamic Law and Customary Law are applied. Ulama is an important element in determining regional policies. therefore the obligation for every circulation and trade in goods originating from Aceh and from outside Aceh must be guaranteed halal products and halal certification carried out by LPPOM MPU Aceh, in accordance with Qanun No. 8 of 2016. In practice, various violations of the law were carried out by MSMEs without regard to consumer rights that must be protected. Violations of consumer rights were found in four sample areas, namely West Aceh District, Central Aceh District, Lhokseumawe and Banda Aceh.
The aim of the first research is to analyze and explain the MSME food and beverage factors in Aceh that do not protect their consumers according to positive legal norms in Indonesia. Second, find and formulate concrete forms of policy that can be implemented by the Government of Aceh to protect the MSME food and beverage business related to consumer protection. Third, the legal political reconstruction model is found and the application of the principles of food and beverage business protection within the scope of MSMEs, which are independent and competitive in legal pluralism in Aceh, faces global trends. The focus of these two research targets is intended as an effort to face the threats and challenges of globalization today. The objective to be achieved in the third research focus is to anticipate micro, small and medium trade in the 4.0 industrial revolution era, when conventional SMEs must compete with businesses that use digital and online. The results of this study are in line with the Phase II Research Master Plan at Syiah Kuala University (2018-2020), the main sub-sector of the Legal Formation in Aceh.
This type of research is sociological juridical legal research that observes the reactions and interactions that occur when the norm system works in the community and what lies behind the real implementation of various MSMEs and Consumer Protection Laws, so as to reconstruct the legal politics of MSMEs. in Aceh. The approach used is sociological and qualitative. Primary research data is built from social facts, which are related to the workings of various MSME laws and regulations and consumer protection in the community. Data collection techniques based on observations and questionnaires obtained from respondents and informants through purposive techniques. Secondary data were obtained from various literatures, documentation, and relevant laws. The data that has been collected is processed using descriptive analysis methods then presented in a qualitative form.
The results showed that micro and small businesses had difficulty getting capital, lack of knowledge, business development skills, lack of product innovation, difficulties in distributing goods, no product branding, no consumer loyalty program, lack of understanding of consumer protection laws and guarantees halal product. Business bookkeeping is still traditional, does not have a business license, lack of supervision by local governments, disharmony of regulatory products is an obstacle to consumer protection in Aceh. The concrete policy stipulated by the Government of Aceh is the ease of obtaining business licenses, the acceleration of ownership of non-paid halal certificates, especially for the processed food business produced by the home industry. Research recommendations are to establish a Dispute Settlement Agency (BPSK), Non-Government Protection Institutions (LPKSM) in each Regency / City, conduct socialization, education and promotion of halal product guarantees at various events, in collaboration with the private sector as a companion partner that can be used as a mentor for micro and small businesses to anticipate the industrial revolution 4.0.


Key Words : Political Reconstruction of Law, Principles of Protection, Food and Beverage Business Actors, Micro, Small and Medium Enterprises, Aceh
2006 concerning the Government of Aceh and various other regulations under the law. But the role and involvement and authority of women in solving problems that occur in society through customary justice is not optimal in terms of... more
2006 concerning the Government of Aceh and various other regulations under the law. But the role and involvement and authority of women in solving problems that occur in society through customary justice is not optimal in terms of access, roles and control. The reality is that
the role of women in the customary law system is still in a subordinated, marginalized position, bound to patriarchal culture, even though legal development has equal access dimensions in the rights and obligations between women and men which are regulated in the basic constitution of
the 1945 Constitution. These objectives are to explain, what is the role of customary justice in Aceh, how access, role and control of women in legal development in Aceh, the extent to which adat court decisions are obeyed and have benefits in communities in Aceh Province. This writing
uses a type of normative juridical research, The approach used through historical approaches, and conceptual approaches. The specification of descriptive analytical research is then analyzed based on qualitative juridical, and presented in the form of description. Women must be legal
subjects who have the same rights and obligations that are actively involved in resolving disputes in adat courts. This effort is important because it facilitates the communication process, is very helpful and necessary especially for women as victims. Community compliance with
judicial decisions is due to the influence of authority, position, social status, religion of customary judges.

Keywords: Access control and involvement of Women, Aceh, Customary Court, Dispute Settlement
AINON MARZIAH, SRI WALNY RAHAYU, IMAN JAUHARI This study aims to explain the proof of the minutes of auction for the winner of execution of mortgage rights, this research method is empirical juridical. Techniques for collecting data... more
AINON MARZIAH, SRI WALNY RAHAYU, IMAN JAUHARI

This study aims to explain the proof of the minutes of auction for the winner of execution
of mortgage rights, this research method is empirical juridical. Techniques for collecting
data through literature and field. Data were analyzed using a qualitative approach.
The results of the examination of the auction minutes for the winner of the execution
of the Meulaboh District Court’s mortgages Number: 08 / PDT.G / 2013 / PN MBO,
in practice the auction minutes issued by the State Wealth Service Office and Banda
Aceh Auction were based on auction procedures, after the Bank’s expiration was not get
compensation and the auction winner cannot control the auction object due to the claim
of the plaintiff in the Meulaboh District Court, the plaintiff is not willing to vacate
the object because the selling of the auction object is not in accordance with the deed of
Rp.600,000,000. then sold Rp. 454,000,000. And the auction winner could not destroy
the object, the auction winner should have the right to control the auction object. Judges’
decisions should pay attention to justice and benefits for the parties because the judge is
not a mouthpiece of law, according to Article 10 paragraph (1) of Law Number 49 of
2009 concerning judicial power.
Keywords: Proof, Minute of Auction, Execution of Mortgage
The purpose of this study is to explain how the sanitation requirements modeling concept has been implemented by the Government of Aceh for restaurants and hotels that support Islamic tourism potential, to explain the weaknesses and... more
The purpose of this study is to explain how the sanitation requirements modeling concept has been implemented by the Government of Aceh for restaurants and hotels that support Islamic tourism potential, to explain the weaknesses and challenges of law enforcement for consumer protection in the era of globalization, to explain the authority of the Institute for the Assessment of Food, Medicine and Cosmetics. The Aceh Ulama Consultative Assembly (LPPOM MPU Aceh) is related to the development and improvement of Islamic tourism in Aceh. The concept of tourism in Aceh Province must pay attention to the principles of Islam, justice, protection, certainty, protection, openness, effectiveness and efficiency, by prioritizing the economic interests of the people that uphold the prevailing norms in the Islamic community of Aceh in accordance with the Law. Number 44 of 1999 concerning Special Rights for the Implementation of the Special Province of Aceh. Another rule regarding the guarantee of administration of halal products is regulated by Law No. 33 of 2014 concerning Guaranteed Halal Products. The process of managing food and beverages traded by restaurants and hotels in Aceh must pay attention to sanitary hygiene requirements so as to provide comfort, security, safety, and certainty of the availability of halal products for domestic and foreign tourists visiting Aceh. Rules relating to sanitation hygiene are linked to halal products which are guaranteed to increase added value for businesses in supporting the potential of Islamic tourism in Aceh. Modeling sanitation cleanliness in the form of services and facilities to protect consumer rights in practice has not been carried out in accordance with applicable laws and regulations. This type of research is normative juridical, which uses primary data / library research as the main data. The source of the data comes from the legal materials of primary, secondary, and tertiary data. The research approach uses a conceptual approach and analytical approach. Both of these approaches are useful for normative juridical research that seeks positive legal concepts by examining the application of norms/rules in positive law. Empirical legal research is used through interview and observation techniques as a tool (hulp wetenschap), which does not change the nature of legal science to normative science.

Key Words : Model Of Hygiene Sanitation Concept, Restaurants And Hotels, Islamic  Tourism, Aceh.
Gagasan awal pengaturan otonomi daerah di Indonesia adalah, membangun demokrasi dengan partisipasi seluruh masyarakat, termasuk di dalamnya perempuan, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang selama ini terabaikan. Otonomi Daerah... more
Gagasan awal pengaturan otonomi daerah di Indonesia adalah, membangun demokrasi dengan partisipasi seluruh masyarakat, termasuk di dalamnya perempuan, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang selama ini terabaikan. Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada daerah-daerah di Indonesia dalam batas-batas tertentu agar leluasa mengatur wilayahnya sendiri. Daerah dianggap paling tahu isu-isu yang ada di wilayahnya sendiri.  Terdapat 3 (tiga) hal mendasar yang harus diperhatikan dalam keluaran produk Qanun-qanun di Provinsi Aceh. Ke-tiga hal tersebut adalah, (1) Materi Hukumnya  (content of law). Dalam materi hukum ingin dilihat apa yang diatur, untuk apa diatur, apa yang ingin diperoleh dari materi hukum tersebut setelah pemberlakukan Syariat Islam; (2) Budaya Hukum (culture of law). Bagaimana suatu nilai-nilai adat istiadat mempengaruhi proses hukum yang dibentuk dalam masyarakat di Aceh; (3) Struktur Hukum (Stucture of Law), berkenaan dengan aspek struktur berkaitan dengan ketimpangan gender ditandai masih rendahnya sensitivitas gender di lingkungan aparak penegak hukum . Mengacu ke-tiga dasar pemikiran tersebut maka dalam kaitan Aceh sebagai Provinsi istimewa dan otonomi khusus, menimbulkan berbagai persoalan terhadap perempuan sebagai subjek hukum berkaitan denga hak-hak sipilnya.
The development of franchise in Indonesia is not equipped by enough regulation. For the example, the Act Number 1 of 1967 concerning Foreign Investment prohibits food business by foreigner (Foreign Capital). The status of franchisor is... more
The development of franchise in Indonesia is not equipped by enough regulation. For the example, the Act Number 1 of 1967 concerning Foreign Investment prohibits food business by foreigner (Foreign Capital). The status of franchisor is imbalance with that of franchisee, and many people criticized for the inadequate regulation for franchise in Indonesia. Ideally, there is an existence of special regulation for franchise beside the Article 1320-1337, and 1320-1339, 1340the Civil Code . Besides, a guideline and an association are needed for franchisee activities in Indonesia
Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) yang mengatur kerangka kerja kepada instansi dan lembaga pemerintah di Tingkat Pusat dan Daerah, Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen,... more
Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) yang mengatur kerangka kerja kepada instansi dan lembaga pemerintah di Tingkat Pusat dan Daerah, Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Panglima Tentara Negara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Gubernur dan Bupati/Walikota, bertanggung jawab untuk menerapkan strategi PUG dalam lingkup kerja, fungsi, tingkat kewenangan serta memonitor dan mengevaluasi hasil-hasil kegiatan dalam lingkup kerja mereka.
Hasil pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG oleh Pimpinan Instansi dan Lembaga Pemerintah baik Pusat maupun Daerah tersebut dilaporkan kepada Presiden dengan tembusan kepada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Dalam Negeri.
Pengarusutamaan Gender (PUG) ditujukan agar semua program pembangunan dapat dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesempatan dan akses perempuan terhadap program pembangunan, dengan adanya kendali dan manfaat untuk perempuan. Hal ini menjadi lebih penting dengan adanya otonomi daerah, tantangan dan peluangnya juga makin besar. Pembangunan di provinsi, kabupaten, dan kota pada umumnya belum menempatkan pemberdayaan perempuan, kesetaraan dan keadilan gender, serta kesejahteraan dan perlindungan anak sebagai prioritas. Model PUG mengadopsi nilai Gender and Development (GAD). Pendekatan GAD  mengacu pada desain program yang mengintegrasikan dan mengarusutamakan aspirasi, kebutuhan, dan minat antara laki-laki dengan perempuan secara berimbang dalam hal akses, peran, kontrol dan manfaat pada semua aspek pembangunan. Kondisi riil kemiskinan perempuan yang terjadi di Povinsi Aceh selama puluhan tahun membutuhkan dukungan pendanaan dan program khusus yang diarahkan kepada rumah tangga yang dikepalai perempuan. Dukungan tersebut dapat berupa pelatihan, pembangunan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM), partisipasi yang berimbang di dalam organisasi berbasis masyarakat yang ada, dan dukungan material. Dengan demikian, pembentukan Gender Focal Point (GFP) dan Pokja PUG pada setiap SKPA sangat diperlukan untuk merealisasikan kebijakan/program yang melibatkan perempuan dalam berbagai aspek di sektor pertanian.
Urgensinya PUG dalam pelaksanaan pembangunan di sektor pertanian di Provinsi Aceh diperkuat berdasarkan data terdapat 70% masyarakat miskin. Dari angka tersebut, 49% adalah perempuan dan perempuan kepala keluarga. Di Provinsi Aceh, sektor pertanian merupakan matapencaharian dimana pelaku utamanya perempuan dan janda sebagai kepala keluarga. Perempuan dan janda sebagai kepala keluarga memerlukan akses, keselarasan dan kesetaraan untuk sumber-sumber pendukung lainnya seperti material, tanah, air, dana microfinance. (Report and Recommendation of the President ADB tentang Pengurangan Kemiskinan dan Strategi Sektor dan Rencana Aksi Gender).
Oleh karena itu, pelaksanaan PUG di sektor pertanian pada Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan, serta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian menjadi sangat penting dilakukan sehingga dapat mengatasi gender gap sektor pertanian di Provinsi Aceh.
Pembangunan hukum nasional tidak dapat dilepaskan dari hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law), baik berupa Hukum Adat, kebiasaan, hukum agama, maupun hukum lainnya yang merupakan pencerminan nilai-nilai yang berlaku dalam... more
Pembangunan hukum nasional tidak dapat dilepaskan dari hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law), baik berupa Hukum Adat, kebiasaan, hukum agama, maupun hukum lainnya yang merupakan pencerminan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat
tersebut. Landasan yuridis, konstitusional dan idealisme asas dan konsep Negara hukum secara konkret dan tujuannya diatur dalam alinea ke-II dan ke-IV Pembukaan UUD 1945.

Tujuan pembentukan Negara Indonesia sebagai Negara hukum dalam alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945 yaitu, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Hal lainnya Pembukaan UUD 1945 alinea ke-IV mengandung 4 (empat) pokok pikiran merupakan penjabaran nilainilai Pancasila yang berkeadilan, mencerminkan karakteristik serta corak masyarakat asli dan Hukum Adat masyarakat Indonesia.

Catatan Penulis. Untuk Penghargaan reputasi pencipta maka sebagian halaman sengaja dihilangkan sampai terbitnya edisi Revisi dari Buku ini. Terima Kasih.
DOI: 10.24815/kanun.v21i1.12412 ABSTRAK Pasal 4 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan disebutkan tujuan OJK agar keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan mampu melindungi konsumen antara lain di... more
DOI: 10.24815/kanun.v21i1.12412
ABSTRAK
Pasal 4 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan disebutkan tujuan OJK agar keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan mampu melindungi konsumen antara lain di bidang usaha asuransi. Aturan lainnya disebutkan dalam Pasal 51 dan Pasal 52 Peraturan OJK Nomor 1 tahun 2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan disebutkan dalam melindungi konsumen OJK melakukan pengawasan secara langsung maupun tidak langsung terhadap penerapan perlindungan konsumen yang dilakukan pelaku usaha secara berkala. OJK melindungi tertanggung apabila adanya pengaduan dengan hanya memfasilitasi penyelesaian pengaduan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (3) POJK No.1/2013. Upaya yang dilakukan yaitu mempertemukan para pihak untuk mengkaji ulang permasalahan yang timbul atas penolakan klaim. Apabila terjadinya kesepakatan maka kesepakatan dituangkan dalam Akta Kesepakatan. Namun, para pihak dapat menyelesaikan melalui pengadilan atau Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) jika tidak tercapainya kesepakatan.

Kata Kunci: penyelesaian sengketa; perlindungan konsumen; otoritas jasa keuangan.

ABSTRACT
The article 4 (c) of Law No. 21 of 2011 on Financial Services Authority (UU OJK) mentioned that the purpose of Financial Services Authority (OJK) is all of activities from all sector of OJK to be able to protect the consumers and society including insurance business sector. The other regulation which is mentioned in article 51 and article 52 of the regulation of Financial Services Authority (OJK) No. 1 of 2013 on the protection for the consumer of financial service sector mentioned that in term of protecting the consumer, the financial services authority (OJK) conducts direct and indirect supervision towards the implementation of consumer protection which is done by the business actors regularly. OJK protects the insured parties if there is a complaint by only facilitating the settlement of complaints as stipulated in Article 39 paragraph (3) POJK No.1 / 2013. The effort which is conducted is that to bring the parties together to review the problems arising from the rejection of claims. If an agreement occurs, the agreement should be stated in the deed of agreement. However, the parties could do the settlement through the court or the Indonesian Insurance Mediation and Arbitration Board (BMAI) if no agreement is reached.

Key Words: dispute settlement; consumer protection; financial services authority,
Sri Walny Rahayu Associate Professor at Faculty of Law, Syiah Kuala University, Banda Aceh Indonesia The purpose of this paper is to descriptively analyse the role and position of traditional justice as alternative dispute resolution in... more
Sri Walny Rahayu
Associate Professor at Faculty of Law, Syiah Kuala University, Banda Aceh Indonesia

The purpose of this paper is to descriptively analyse the role and position of traditional justice as alternative dispute resolution in the pluralism of indigenous peoples of Aceh and also to analyse the legal pluralism in Aceh. The originality of this paper is to map and perform inventorying the different ethnicities of the legal pluralism in Aceh, as well as the alternative dispute resolution in the diversity of indigenous people in Aceh. Moreover, the results show that The status and role of traditional justice as an alternative dispute resolution mechanism has not been specifically regulated in a specific law. Customary judicial practices in Aceh as a form of formal legal institutionalization are regulated by the Law of 2006 on Acehnese government, Qanun of Aceh, and Governor Regulation No. 60 of 2013. The binding strength and the reception of decision of customary justice in Aceh is respected and obeyed, because the epistemology of traditional authority and legal authority embodied in legal products in Aceh is sourced from laws and regulations under Qanun. Indigenous justice leadership is characterized by charismatic authority as alternative dispute resolution in the context of legal pluralism in Aceh.

Key words: alternative dispute resolution, customary court, legal pluralism, Aceh.

Cite this Article: Sri Walny Rahayu, Alternative Dispute Resolution Through Customary Tribunal in the Context of Legal Pluralism in Aceh. International Journal of Civil Engineering and Technology, 9(1), 2018, pp. 472-483. http://www.iaeme.com/IJCIET/issues.asp?JType=IJCIET&VType=9&IType=1
Copyright in Indonesia began to be regulated in the Dutch colonial era, called Austerswet 1912, which prevailed until independent Indonesia. Austerswet 1912 is repealed by Law No. 6 of 1982 on Copyright. The Copyright Law (UUHC) has... more
Copyright in Indonesia began to be regulated in the Dutch colonial era, called Austerswet 1912, which prevailed until independent Indonesia. Austerswet 1912 is repealed by Law No. 6 of 1982 on Copyright. The Copyright Law (UUHC) has repeatedly amended its norms until the last through Law Number 28 Year 2014 (UUHC Year 2014). UUHC Year 2014 revoked Law Number 19 Year 2002 regarding Copyright. Of the entire regime protected by IPR law, In principle, the arrangement equally has an exception, if the property of the individual protected by the law is intersect with the public interest, or for the benefit of education, the public interest takes precedence provided that "does not violate the reasonable interests" of the Creator. This principle is known as "Fair Use Doctrine." The UUHC of 2014 adopts it in Articles 43-51 on Copyright Restrictions, and Sections 84 -86 of the License. This means Indonesian copyright law permits a person to use or exploit a work without the author's permission, provided within reason.
On the basis of such arrangements the consequences of the use, copying or alteration of copyrights for educational purposes are exempt from copyright infringement. But to what extent is this exception? For example a private school / university owner overall use of his computer device using pirated software is allowed? Or the entire collection of books in school / university is a photocopied book? This causes learners do not want to buy the original book. The restriction rules against copyright infringement in UUHC 2014 caused a dilemma. How is the size or criteria to what extent "one can use or exploit a creation without the author's permission, provided within reasonable limits". How is the limitation of the requirement condition "for the benefit of education and research and so on as regulated by Article 44 UUHC" is permitted to take part or all of the substantial matters of copyright, which are the most important, characteristic parts of the Creation as long as the source is mentioned "?
This brief paper discusses the use of fair use doctrine in relation to respect for the reputation of the creator, Whether the size of exceptions based on the fair use doctrine so that its use still respects the economic rights and moral rights of the creator.

Keywords : Fair Use Doctrine, The Award reputation of Creator, Indonesia
Model Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis Berbasis Peradilan Adat Laut dan Komparasinya di Indonesia oleh Dr. Sri Walny Rahayu, S.H., M.Hum. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Jl. Putroe Phang No. 1 Darussalam - Banda... more
Model  Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis Berbasis Peradilan Adat Laut
dan Komparasinya di Indonesia
oleh
Dr. Sri Walny Rahayu, S.H., M.Hum.
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Jl. Putroe Phang No. 1 Darussalam - Banda Aceh
Email. ayoe_armans@unsyiah.ac.id

Abstrak
Model penyelesaian sengketa bisnis berbasis peradilan adat laut, telah lama ada pada masyarakat Aceh yang dipimpin oleh lembaga Panglima Laôt sebagai lembaga Alternatif  Penyelesaian Sengketa (APS). Pemilihan penyelesaian sengketa oleh Panglima Laôt dilakukan para pihak, turun-temurun, bersumberkan hukum adat laut yang berisi rangkaian filsafat hidup berupa, ukuran nilai baik atau buruk, diterima sukarela atau tanpa sengaja membentuk pola penyelesaian sengketa, disusun dan dibangun dari nilai, kaidah, dan norma yang disepakati, diyakini kebenarannya sehingga dijadikan standar bersenyawa melekat tidak dapat dipisahkan dari sistem masyarakatnya. Penyelesaian berbasis peradilan adat laut di Indonesia, terdapat juga di Maluku Tengah, disebut Hukum Sasi Laut,  awig-awig di Nusa Tenggara Barat merupakan pranata sistem eksploitasi sumber daya wilayah laut. Penyelesaian berbasis peradilan adat laut menciptakan situasi sosial ekonomi berkeadilan, tidak menggunakan kekerasan dengan nilai-nilai pengakuan peran masyarakat pada proses pengambilan keputusan, demokrasi dan pluralisme. Diskursus model peradilan adat laut apakah mampu bertahan, adaptif dengan perkembangan global atau tergerus oleh proses individualisasi yang mempengaruhi pola pikir masyarakatnya sehingga berpengaruh pada model penyelesaian alternatif yang dipilih ingin dikaji dalam tulisan ini berkaitan dengan pembaharuan penormaan prinsip penyelesaian sengketa berbasis pengakuan peran dalam pluralisme hukum. 
Tujuan penulisan ingin mengetahui dan menjelaskan kekuatan adaptif, kedudukan peradilan adat laut sebagai model alternatif penyelesaian sengketa bisnis berbasis pengakuan peran masyarakat dalam sistem pluralisme hukum di Aceh dan komparasinya di Indonesia. Tipologi penelitian bersifat yuridis normatif menggunakan bahan hukum primer, sekunder, tersier, melalui pendekatan penelitian sejarah, konseptual, perbandingan hukum. Selanjutnya disajikan dalam bentuk deskriptif analisis.

Kata Kunci :  Model Alternatif Penyelesaian Sengketa, Peradilan Adat Laut di Aceh, Perbandingannya di Indonesia

I.
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara peserta  GATT-WTO dan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tidak dipungkiri berkonsekuensi antara lain terhadap praktik bisnis dan model penyelesaian sengketa yang dipilih para pihak. Di Provinsi Aceh, model penyelesaian sengketa bisnis berbasis peradilan adat laut telah lama ada dan dipraktikkan sebagai suatu alternatif lembaga Penyelesaian Sengketa di luar peradilan negara. Peradilan Adat laut bersumberkan hukum adat laut sebagai suatu norma.  Norma tersebut merupakan rangkaian filsafat hidup berupa ukuran nilai baik atau buruk, diterima sukarela atau tanpa sengaja membentuk pola penyelesaian sengketa, disusun dan dibangun dari nilai, kaidah, dan norma yang disepakati, diyakini kebenarannya sehingga dijadikan standar bersenyawa melekat tidak dapat dipisahkan dari sistem masyarakatnya. Komunitas persekutuan masyarakat hukum adat laut dipimpin oleh Panglima Laôt yang bertahan sampai dengan sekarang bahkan diatur melalui peraturan perundang-undangan. Di Indonesia, model penyelesaian berbasis peradilan adat laut sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar peradilan Negara ditemukan juga di daerah Maluku Tengah, Haruku-Lease, Saparua. Model penyelesaian sengketa bernama "Hukum Sasi Laut" merupakan pranata sistem eksploitasi sumber daya wilayah laut. Lembaga yang sama ditemukan di Provinsi Nusa Tenggara Barat dikenal dengan awig-awig.
Model-model penyelesaian alternatif sengketa (APS) berbasis peradilan adat laut menciptakan situasi sosial ekonomi berkeadilan, tidak menggunakan kekerasan dengan nilai-nilai pengakuan peran masyarakat pada proses pengambilan keputusan, demokrasi dan pluralisme. Diskursus model peradilan adat laut apakah mampu bertahan, adaptif dengan perkembangan global atau tergerus oleh proses individualisasi yang mempengaruhi pola pikir masyarakatnya sehingga berpengaruh pada model penyelesaian alternatif yang dipilih.
Berdasarkan latar belakang pertanyaan penelitian ini adalah bagaimanakah kekuatan adaptif, kedudukan peradilan adat laut sebagai model alternatif penyelesaian sengketa bisnis berbasis pengakuan peran masyarakat dalam sistem pluralisme hukum di Aceh dan komparasinya di Indonesia?

II.
Studi Literatur
A. Peradilan Adat sebagai lembaga Penyelesaian Sengketa
Lembaga Penyelesaian Sengketa Adat bukanlah hal baru di Indonesia. Upaya penyelesaian sengketa adat telah ada di pulau-pulau Nusantara sejak abad ke-sembilan. Prasasti Bulai dari Rakai Garung dari Kerajaan Sriwijaya, tahun 860 M telah menyebutkan tentang penyelesaian sengketa adat untuk perkara perdata.  Hilman Hadikusuma memastikan, sebelum masuk dan dikenalnya agama kristen dan hukum gereja, praktik lembaga penyelesaian secara adat ini telah menjadi satu-satunya proses untuk menyelesaikan sengketa.
Model penyelesaian sengketa bisnis berbasis peradilan adat laut, telah lama ada pada masyarakat Aceh yang dipimpin oleh lembaga Panglima Laôt sebagai lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Pemilihan penyelesaian sengketa oleh... more
Model penyelesaian sengketa bisnis berbasis peradilan adat laut, telah lama ada pada masyarakat Aceh yang dipimpin oleh lembaga Panglima Laôt sebagai lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Pemilihan penyelesaian sengketa oleh Panglima Laôt dilakukan para pihak, turun-temurun,  bersumberkan hukum adat laut yang berisi rangkaian filsafat hidup berupa, ukuran nilai baik atau buruk, diterima sukarela atau tanpa sengaja membentuk pola penyelesaian sengketa, disusun dan dibangun dari nilai, kaidah, dan norma yang disepakati, diyakini kebenarannya sehingga dijadikan standar bersenyawa melekat tidak dapat dipisahkan dari sistem masyarakatnya. Penyelesaian berbasis peradilan adat laut di Indonesia, terdapat juga di Maluku Tengah, disebut Hukum Sasi Laut, awig-awig di Nusa Tenggara Barat merupakan pranata sistem eksploitasi sumber daya wilayah laut. Penyelesaian berbasis peradilan adat laut menciptakan situasi sosial ekonomi berkeadilan, tidak menggunakan kekerasan dengan nilai-nilai  pengakuan peran masyarakat pada proses pengambilan keputusan, demokrasi dan pluralisme. Diskursus model peradilan adat laut apakah mampu bertahan, adaptif dengan perkembangan global atau tergerus oleh  proses individualisasi yang mempengaruhi pola pikir masyarakatnya sehingga berpengaruh pada model  penyelesaian alternatif yang dipilih ingin dikaji dalam tulisan ini berkaitan dengan pembaharuan penormaan  prinsip penyelesaian sengketa berbasis pengakuan peran dalam pluralisme hukum. Tujuan penulisan ingin mengetahui dan menjelaskan kekuatan adaptif, kedudukan peradilan adat laut sebagai model alternatif penyelesaian sengketa bisnis berbasis pengakuan peran masyarakat dalam sistem pluralisme hukum di Aceh dan komparasinya di Indonesia. Tipologi penelitian bersifat yuridis normatif menggunakan bahan hukum primer, sekunder, tersier, melalui pendekatan penelitian sejarah, konseptual, perbandingan hukum. Selanjutnya disajikan dalam bentuk deskriptif analisis. Kata Kunci : Model Alternatif Penyelesaian Sengketa, Peradilan Adat Laut di Aceh, Perbandingannya di Indonesia
Islam establish with justice value, deliberation, equality, homogenous, tolerance and peace, contradiction and break the value of Islamic principle truly not appropriate with Islamic spirit " Rahmatan Lil Alamin " (God mercy for whole... more
Islam establish with justice value, deliberation, equality, homogenous, tolerance and peace, contradiction and break the value of Islamic principle truly not appropriate with Islamic spirit " Rahmatan Lil Alamin " (God mercy for whole nature).So far generally human right including woman right rule arranged in general human right instrument, but in reality especially about woman right not arranged on list of right that protected or not confess yet as apart of universal consensus. The consequences of it, breaking woman right continuously occur even personal, corporation or country not fully see this as apart of breaking human right. There is Convention on Elimination Discrimination Against Woman (CEDAW) that ratify by Indonesia In 1980 and the follow up of it's law Number 7/1984, that include specification about woman right in Indonesia. Real condition in Aceh after law Number 11/2006 about Aceh Government that eliminated law Number 18/2001 about special autonomy, the action to full fill woman right still avoid and not significantly participate in development woman not maximal involve in planning, implementation, monitoring, evaluation and using product of development, un justice and violence against woman still happen in domestic or public life, poverty, not optimal basic education for all, equality and gender justice (KKG) and woman empowerment, high baby mortality (AKB) how budget be apart to improve mother health, prevent from HIV-AIDS, malaria, disease. For this thing need gender study. Gender mean's way or analyze tool to understand social reality in relationship between woman and man, when got benefit equally in responsibility and social role that occur in society. This article try to explain wrong concept that occur in society, and through gender study try to find the way how woman and man can involve together and equal in NAD Province.
Research Interests:
The responsibility of a notary as a PPAT in the Article 16 section (1) letter f of Law Number 2 of 2014 concerning Amendments to Law Number 30 of 2004 concerning the Position of a Notary (henceforth referred to as LPN) states that a... more
The responsibility of a notary as a PPAT in the Article 16 section (1) letter f of Law Number 2 of 2014 concerning Amendments to Law Number 30 of 2004 concerning the Position of a Notary (henceforth referred to as LPN) states that a notary is obliged to keep "everything regarding a deed that is made and all information obtained for making the deed in accordance with the oath/promise of office, unless the law provides otherwise", but in practice, the provisions of these norms are not fully implemented by a notary as a PPAT that causes losses for the client. This study aims to find and explain the factors that must be considered by a notary as a PPAT in making land deeds to prevent violations of the law and code of ethics as well as to analyze and explain the legal responsibilities of a notary as a PPAT for disputed land deeds in Banda Aceh City. This study uses a sociological juridical method, namely legal research that will provide a complete understanding of the law in the context of norms and when applied in a social context with a legal sociology approach. The data obtained from the field research and the library research were analyzed using a qualitative research approach. The result of the first study indicates that the factors that PPAT must consider in making a land deed are prioritizing laws provisions, a code of ethics, and considering the formal and material requirements to avoid errors in the ratification of the deed by PPAT. The result of the second study is the legal responsibility of a notary as a PPAT to the client depends on the level of error committed by the PPAT, which afterward can be punished in the form of civil law, administrative law, or criminal law. The responsibility provides a sense of justice and legal protection to clients, where the severe punishment for mistakes made by PPAT is the dismissal of PPAT as a deed maker official. It is recommended to PPAT to be more liable in making deeds that are following the laws and regulations as well as their oath of office, and also to always pay attention to the rights and obligations of the parties who want to make the deed to prevent the risk of problems in the future.
This study aims to analyze how doctors open the medical records of COVID-19 patients based on bioethics principles and Minister of Health Regulation No. 36 of 2012 concerning Medical privacy. The research method used is a normative... more
This study aims to analyze how doctors open the medical records of COVID-19 patients based on bioethics principles and Minister of Health Regulation No. 36 of 2012 concerning Medical privacy. The research method used is a normative juridical research method with a statutory approach and a conceptual approach. With secondary data sources obtained from laws, books and other literature. The secondary data obtained were then arranged sequentially and systematically for further analysis using qualitative methods. The results of the first study showed that, There are 3 (three) main principles of bioethics applied in opening medical records of COVID-19 patients by doctors, the three principles are the principle of confidentiality, the principle of beneficence and the principle of non-maleficence. The principle of confidentiality underlies the relationship between the patient and the doctor to keep the information contained in the medical record as a medical privacy. The application of the principle of confidentiality to medical records is not absolute when dealing with the principles of beneficence and non-maleficence, where all things are measured based on considerations of benefit and harm. The principle of non-maleficence grants permission to open the medical records of COVID-19 patients considered an ethical action aimed at preventing and overcoming the COVID-19 outbreak so as not to pose a danger to the safety of the wider community. The results of the second study, Minister of Health Regulations no 36/2012 provides more detailed arrangements regarding the opening of medical records by mentioning 4 (four) reasons it is allowed. However, Minister of Health Regulations RK 36/2012 does not stipulate clear arrangements regarding the scope of medical records that can be opened during an outbreak. The Indonesian Doctors Association through the Honorary Council for Medical Ethics has issued Decree Number 015/PB/K.MK.K./03/2020 concerning Fatwa on Medical Ethics, Health Policy, and Research in the Context of the COVID-19 Pandemic. It is recommended to doctors, in opening the medical records of COVID-19 patients, doctors need to explain to patients about the certainty that their medical records will be given to the government to prevent and overcome the spread of COVID-19. Then to the public, it is hoped that the opening of the medical records of COVID-19 patients should not be responded to negatively socially so that it has an impact on the isolation of patients and even their families. COVID-19 is a disease not a curse or a criminal act against the patient's will. As well as the Decree of the Medical Ethics Honorary Council Number 015/PB/K.MKEK/03/2020 concerning the Fatwa of Medical Ethics, Health Policy, and Research in the Context of the COVID-19 Pandemic, it can be proposed as a law to deal with the possibility of the same epidemic, of a kind and others in the future.
Abstract Article 26 paragraph (1) of the Law of the Republic of Indonesia Number 19 of 2016 on Amendments to Law Number 11 of 2008 on Information and Electronic Transactions (Law No.19/2016) has mentioned that any use of a person's... more
Abstract
Article 26 paragraph (1) of the Law of the Republic of Indonesia Number 19 of 2016 on Amendments to Law Number 11 of 2008 on Information and Electronic Transactions (Law No.19/2016) has mentioned that any use of a person's personal data, must be done on the basis of the consent of the owner of personal data. In Financial Technology with paylater payment scheme that conducts borrowing activities by utilizing consumer personal data to transact in the form of Population Master Number as the main condition. The formulation of the issues studied is an aspect of the position of electronic system organizers as paylater providers in the protection of consumer personal data as well as arrangements on the guarantee of personal data protection according to the Law No.19/2016 and The Minister of Communication and Information Regulation No. 20 of 2016 on The Protection of Personal Data in Electronic Systems (Permenkominfo No.20/2016). Research methods use normative juridical through literature studies by studying and reviewing other legal materials sourced from primary and secondary legal materials. The results showed that there is no legal certainty regarding the position of Paylater providers in order to protect consumers' personal data, Article 19 paragraph (4) of Financial Services Authority Regulation No. 77/ POJK.01/2016 on Information Technology-Based Lending Services (POJK No. 77/POJK.01/2016) mentioned that consumer personal data is not included as access to information provided to lenders. In addition, the regulations governing personal data only contain the general understanding of personal data and have not accommodated concrete forms of protected personal data objects so that the Population Master Number and Sensitive Data have no legal basis as objects of consumer personal data. Therefore, more comprehensive legislation is needed that can regulate the position of paylater providers in protecting consumer personal data and concretely regulating the forms of consumer personal data objects as a form of legal certainty over privacy rights.
Keywords: consumer protection; data privacy; paylater
Abstrak
Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 19/2016) telah disebutkan bahwa setiap penggunaan data pribadi seseorang, harus dilakukan atas dasar persetujuan dari pemilik data pribadi. Pada Financial Technology dengan skema pembayaran paylater yang melakukan kegiatan pinjam-meminjam dengan memanfaatkan data pribadi konsumen untuk bertransaksi dalam bentuk Nomor Induk Kependudukan sebagai syarat utama. Rumusan masalah yang dikaji adalah aspek kedudukan penyelenggara sistem elektronik sebagai penyedia paylater dalam perlindungan data pribadi konsumen serta pengaturan tentang jaminan perlindungan data pribadi menurut UU No. 19/2016 dan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik (Permenkominfo No. 20/2016). Metode penelitian menggunakan yuridis normatif melalui studi kepustakaan dengan menelaah dan mengkaji materi bahan hukum lainnya yang bersumber dari bahan hukum primer dan sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belum adanya kepastian hukum terkait kedudukan penyedia paylater dalam rangka melindungi data pribadi konsumen, Pasal 19 ayat (4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (POJK No. 77/POJK.01/2016) disebutkan bahwa data pribadi konsumen tidak termasuk sebagai akses informasi yang diberikan kepada pemberi pinjaman. Selain itu, peraturan yang mengatur tentang data pribadi hanya memuat pengertian data pribadi secara umum dan belum mengakomodasikan bentuk-bentuk konkrit dari objek data pribadi yang dilindungi sehingga Nomor Induk Kependudukan serta Data Sensitif tidak memiliki dasar hukum sebagai objek data pribadi konsumen. Oleh karena itu, diperlukan Undang-undang yang lebih komprehensif yang dapat mengatur kedudukan pihak penyedia paylater dalam melindungi data pribadi konsumen serta mengatur dengan konkrit bentuk-bentuk dari objek data pribadi konsumen sebagai wujud dari kepastian hukum atas hak privasi.
Kata kunci: data pribadi; paylater; perlindungan konsumen
Background: Acquittal judgments and lenient punishment have a meaning that there is a difference in length of sentence in the case having similar characteristics. This is not a new phenomenon in the enforcement of corruption and it may... more
Background: Acquittal judgments and lenient punishment have a meaning that there is a difference in length of sentence in the case having similar characteristics. This is not a new phenomenon in the enforcement of corruption and it may harm its enforcement as it causes injustices in the society in seeking justice. The fact of its disparity in corruption cases is one of the factors causing the enactment of the Law on Corruption Suppression Number 31, 1999 in its criminal rules. Materials and Methods: This research is library research by looking at previous articles discussing the issue of corruption enforcement in Indonesia. This research applies the qualitative research method by relying upon its discussion from the relevant researches and existing statutes. Primary data are obtained from laws governing corruption and secondary data are obtained from works of literature that are relevant to this research. Results: The findings are the disparities that occurred in the enforcement of corruption in Aceh are caused by several factors that are laws it selves, judges, and the perpetrators themselves. Conclusion: The societies are worried as the disparities have caused a lack of justice or injustices, it has not provided deterrent effects towards the perpetrators and it undermines the justice process itself.
This paper aims to explain the causes of child trafficking in Indonesia and the efforts made by the Customary Institutions in preventing Child Trafficking in line with local wisdom values. This paper adopts normative juridical research by... more
This paper aims to explain the causes of child trafficking in Indonesia and the efforts made by the Customary Institutions in preventing Child Trafficking in line with local wisdom values. This paper adopts normative juridical research by using the data collected through library research on regulations for child trafficking. The approach used is the historical approach and the conceptual approach. The role of Customary Institutions in Aceh and community involvement to prevent acts of violence and child exploitation is provided in the local law. The position and function of the Aceh Customary Institutions are dominant and can be used as a model of prevention of trafficking in children. Local wisdom is traceable in society despite some of these basic values are fading due to globalization and consumerism.
The Special Province of Aceh government has legal pluralism in its administrations. In its governance system, Islamic law and customary law are also applied besides the state law. Ulama (Islam Scholars) also have... more
The  Special  Province  of  Aceh government has legal  pluralism in its administrations. In  its  governance  system, Islamic  law  and  customary  law  are  also applied besides  the  state  law. Ulama (Islam Scholars) also have important  roles in determining  regional  policies. Actually,  against  Islamic  law, the  process  of  food  and beverage  trade  by micro  and  small  business  actors  still  uses  hazardous  and  prohibited materials such as formaldehyde, borax and RhodamineB. This study aims to analyze and to explain  the  application of  protection  and  legal  certainty  of  food  consumers  and beverages marketed by Micro, Small and Medium Enterprises (MSMEs) associated with the halal product guarantee concept. It also explains the concrete policies adopted by the Government  of  Aceh  as  a  competitive  consumer  protection  standard.  This  type  of research  is  sociological  juridical, which observes reactions  and  interactions  when  the norm system relating to consumer protection and the guarantee of halal products works in  the  community.  The  approach was used  sociologically  and  qualitatively.  Primary research  data  wasgathered from  social facts processed by using  descriptive  analysis methods and  was presented  in  a  qualitative  form.  The research results show  factors  of the  lack  of  consumer’s  protection,  namely: business  actors’ difficultiesin obtaining capital, knowledge,  and  skills, lack  of  product  innovation,  difficulties  in  distributing goods, no product-branding, no consumer-loyalty program, lack of understanding of the rules  of  consumer  protection  and  halal  product  guarantees, the  traditionalaccounting records, not  having business  license,  lack  of  local  government  supervision  and the disharmonized  between laws  and  regulations.  Concrete  policies  stipulated  by  the Government  of  Aceh arethe ease of business  licensing  procedures and acceleration  of ownership  of non-paid  halal  certificates,  especially  for  processed  food  business  actors produced  by  home  industry.  Thus  it  is  recommended  to establish  a  Dispute  Settlement Agency    (BPSK),    Non-Governmental    Protection    Institutions    (LPKSM)    in    each regency/city;  to conduct socialization,  education as  well  as promotion  of  halal  product guarantees in various events; to collaborate with the private sector as an assisting partner that  can  be  used  as  a  mentor  for  micro  and  small business  actor  in anticipating the industrial revolution 4.0.

Keywords: Application of the protection and legal certainty principle, Consumer protection, Micro and small businesses, Halal product guarantee in Aceh.
Model penyelesaian sengketa bisnis berbasis peradilan adat laut, telah lama ada pada masyarakat Aceh yang dipimpin oleh lembaga Panglima Laôt sebagai lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Pemilihan penyelesaian sengketa oleh... more
Model penyelesaian sengketa bisnis berbasis peradilan adat laut, telah lama ada pada masyarakat
Aceh yang dipimpin oleh lembaga Panglima Laôt sebagai lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Pemilihan penyelesaian sengketa oleh Panglima Laôt dilakukan para pihak, turun-temurun, bersumberkan hukum adat laut yang berisi rangkaian filsafat hidup berupa, ukuran nilai baik atau buruk, diterima sukarela atau tanpa sengaja membentuk pola penyelesaian sengketa, disusun dan dibangun dari nilai, kaidah, dan norma yang disepakati, diyakini kebenarannya sehingga dijadikan standar bersenyawa melekat tidak dapat dipisahkan dari sistem masyarakatnya. Penyelesaian berbasis peradilan adat laut di Indonesia, terdapat juga di Maluku Tengah, disebut Hukum Sasi Laut, awig-awig di Nusa Tenggara Barat merupakan pranata sistem eksploitasi sumber daya wilayah laut. Penyelesaian berbasis peradilan adat laut menciptakan situasi sosial ekonomi berkeadilan, tidak menggunakan kekerasan dengan nilai-nilai pengakuan peran masyarakat pada proses pengambilan keputusan, demokrasi dan pluralisme. Diskursus model peradilan adat laut apakah mampu bertahan, adaptif dengan perkembangan global atau tergerus oleh proses individualisasi yang mempengaruhi pola pikir masyarakatnya sehingga berpengaruh pada model penyelesaian alternatif yang dipilih ingin dikaji dalam tulisan ini berkaitan dengan pembaharuan penormaan prinsip penyelesaian sengketa berbasis pengakuan peran dalam pluralisme hukum.
Tujuan penulisan ingin mengetahui dan menjelaskan kekuatan adaptif, kedudukan peradilan adat laut sebagai model alternatif penyelesaian sengketa bisnis berbasis pengakuan peran masyarakat dalam sistem pluralisme hukum di Aceh dan komparasinya di Indonesia. Tipologi penelitian bersifat yuridis normatif menggunakan bahan hukum primer, sekunder, tersier, melalui pendekatan penelitian sejarah, konseptual, perbandingan hukum. Selanjutnya disajikan dalam bentuk deskriptif analisis.
Kata Kunci : Model Alternatif Penyelesaian Sengketa, Peradilan Adat Laut di Aceh, Perbandingannya di Indonesia
Kedudukan peradilan adat, meskipun tidak memiliki tempat dalam sistem hukum Indonesia namun, perannya menyelesaikan sengketa merefleksikan hubungan negara dengan masyarakatnya. Di Aceh Peradilan Adat berperan sebagai peradilan adat bagi... more
Kedudukan peradilan adat, meskipun tidak memiliki tempat dalam sistem hukum Indonesia namun, perannya menyelesaikan sengketa merefleksikan hubungan negara dengan masyarakatnya. Di Aceh Peradilan Adat berperan sebagai peradilan adat bagi masyarakat yang dipimpinnya, yang mendapat pengakuan dalam sistem hukum di Indonesia mulai dari undang-undang sampai peraturan di bawahnya. Tulisan ini bertujuan menjelaskan Indepensi Peradilan Adat di Aceh sebagai lembaga APS masyarakat adat di Aceh, menjelaskan keberadaan dan fungsi Peradilan Adat dalam bingkai peraturang perundang-undangan, menjelaskan melalui pendekatan sosiologi kepatuhan masyarakat Aceh terhadap putusan yang dikeluarkan oleh peradilan Adat.
Kata Kunci: Peradilan Adat di Aceh, Kemandirian Sebagai lembaga, Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Key words : Indigenous justice in Aceh, independence as an institution, Alternatif Dispute resolution
This Abstract: This study will discuss whether a consumer in a house-buying and selling shop binding agreement has been covered by the Consumer Protection Act. The purpose of this study is to find out and analyze consumers in their home... more
This Abstract: This study will discuss whether a consumer in a house-buying and selling shop binding agreement has been covered by the Consumer Protection Act. The purpose of this study is to find out and analyze consumers in their home shop sales and purchase binding agreements have been protected by the Consumer Protection Act. The usefulness of research provides theoretical benefits, at least it can be useful as a donation of thought to the world of education. This type of research is normative research. The data analysis used in this study is the literature data or document study. The results of the research are known that consumer protection in the store-buying and selling of shop binding agreements is still not covered by Law No. 8 of 1999 on consumer protection, remembering many things that cause In the binding agreement of this home buying and selling shop, it should be avoided if the parties actually apply the principles and arrangements contained in the Law on consumer Protection.
Abstrak-Hak cipta merupakan hak ekslusif yang dimiliki oleh pencipta. Termasuk di dalamnya hak mandapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan. Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta 2014 menjelaskan, setiap orang dapat menggunakan ciptaan secara... more
Abstrak-Hak cipta merupakan hak ekslusif yang dimiliki oleh pencipta. Termasuk di dalamnya hak mandapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan. Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta 2014 menjelaskan, setiap orang dapat menggunakan ciptaan secara komersial dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta dengan membayar imbalan berupa royalti kepada pencipta. Namun dalam praktiknya, pelaku usaha restoran dan cafe tidak melakukan pembayaran royalti kepada pencipta lagu dan musik di Kota Banda Aceh sehingga mengakibatkan kerugian bagi pencipta. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan oleh pencipta lagu dan musik untuk melindungi hak ekonominya. Bagaimanakah penegakan hukum hak cipta oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Aceh dan penyebab belum dilakukannya pembayaran royalti oleh pelaku usaha serta apakah upaya-upaya yang dapat dilakukan agar pelaku usaha melaksanakan kewajibannya membayar royalti. Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analitis dengan memanfaatkan hasil-hasil penelitian ilmu empiris sebagai ilmu bantu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada upaya yang dilakukan oleh pencipta untuk melindungi hak ekonominya, tidak ada satu pun pencipta yang berupaya menagih royalti kepada pelaku usaha. Sementara itu, kurangnya pemahaman hukum mengenai menjadi sebab utama pelaku usaha tidak melaksanakan pembayaran royalti lagu dan musik. Kurangnya pemahaman ini dipengaruhi karena tidak ada sosialisasi mengenai royalti yang dilakukan oleh pemerintah. Upaya yang dapat dilakukan adalah upaya preventif agar tidak terjadi pelanggaran dengan memberikan pemahaman mengenai royalti kepada pencipta dan pelaku usaha, serta upaya represif untuk memberikan efek jera bagi pelanggar. Kepada pencipta disarankan untuk medaftar sebagai anggota Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) agar mempermudah proses pemungutan royalti. Pelaku usaha disarankan untuk menambah pengetahuannya mengenai royalti. Abstract-Copyright is an exclusive right owned by creator of an original work. This includes the right to obtain economic benefits for the creation. Article 23 paragraph (5) of the Copyright Act 2014 explains that anyone can commercially use creations in a show without permission from the creator by paying royalties to the creator. But in practice in Banda Aceh, restaurant and cafe owners are not paying royalties Aceh resulting in losses to the creators. Research aims to know the efforts made by creators to protect their economic rights. How is the enforcement of copyright law by the Regional Office of the Ministry of Law and Human Rights of the Province of Aceh and the cause of business owners not paying royalties as well as what efforts can be made to fulfill their obligations to pay royalties. Research type is normative juridical research which focused on reviewing the application of rules and norms. The approach used in this research is legislation and analytical approach with utilizing empirical researches as auxiliary science. Based on the results of the research, there is no effort made by the creators to protect their economic rights, none of them collects royalties from business owner. Meanwhile, the lack of legal understanding became the main cause of business owner not paying royalties. It is influenced by lack of royalties campaign organized by the government. Efforts that can be done is preventive efforts to avoid violations by providing an understanding of royalties to creators and business owner, and repressive efforts to give deterrent effect to offenders. It is recommended to creators to be a member of the National Collective Management Institute (LMKN) in order to facilitate royalties collection and business owner to increase their knowledge of royalties.
Abstrak-Pasal 4 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) disebutkan tujuan OJK agar keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan mampu melindungi konsumen dan masyarakat salah satunya sektor usaha... more
Abstrak-Pasal 4 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) disebutkan tujuan OJK agar keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan mampu melindungi konsumen dan masyarakat salah satunya sektor usaha asuransi. Aturan lainnya disebutkan dalam Pasal 51 dan Pasal 52 Peraturan OJK No.1/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan disebutkan dalam melindungi konsumen OJK melakukan pengawasan secara langsung maupun tidak langsung terhadap penerapan perlindungan konsumen yang dilakukan pelaku usaha secara berkala. Hal ini dilakukan agar tidak adanya kerugian yang diderita tertanggung selaku konsumen asuransi. Namun, dalam praktiknya di Provinsi Aceh ditemukan adanya pengaduan tertanggung yang mengalami kerugian akibat penolakan klaim. Abstract-mentioned in protecting OJK consumers to directly or indirectly supervise the application of consumer protection by business actors on a regular basis. This is done so that no losses suffered by the insured as an insurance consumer. However, in practice in Aceh Province found the existence of complaints of the insured who suffered losses due to rejection of claims.
Settlement of cases through a mediation process is an appropriate, effective and effective way of resolving disputes and can open wider access to the Parties to obtain satisfactory and fair resolution. With the issuance of the Republic of... more
Settlement of cases through a mediation process is an appropriate, effective and effective way of resolving disputes and can open wider access to the Parties to obtain satisfactory and fair resolution. With the issuance of the Republic of Indonesia Supreme Court Regulation No. 1 of 2016 concerning Mediation Procedures in the Court it is hoped that cases can be effectively resolved through the mediation process. But in reality the implementation of mediation is still less effective in resolving cases in the Court, this is evident from the few cases that were successfully resolved by mediation at the Syar'iyah Sigli Court. Of the 289 divorce cases registered in 2016, only 1 (one) case succeeded in mediation and in 2017, divorce cases registered reached 367 cases, only 2 (two) cases were able to be resolved through mediation. So that what becomes a legal issue is what factors that influence mediation cannot be carried out effectively in divorce cases in the Syar'iyah Sigli Court and what are the obstacles in the mediation process. The research was conducted using the sociological juridical research methods using the statute approach and case approach. The results showed that mediation could not be carried out properly as follows: First, the quality of judges appointed as mediators was not evenly distributed, there was only 1 (one) mediator judge who had mediator certificates who had participated in mediation training organized by the Supreme Court of the Republic of Indonesia. Second, mediation facilities and facilities at the Syar'iyah Sigli Court are still inadequate both in terms of mediation space and supporting facilities therein. Furthermore, the obstacles in mediating divorce cases in the Syar'iyah Sigli Court are the unpreparedness and proportionality of Human Resources (SMD) within the Syari'iyah Sigli Court to resolve the high number of divorce cases in the jurisdiction, and the unavailability of other human resources from the professions Psychosciences or other practitioners to facilitate settlement in the mediation process within the Syar'iyah Sigli Court.
Abstract: Discussion: Bank of Indonesia Regulation Number 19/12PBI/2017 on Financial Technology defines Financial Technology (fintech) as the technology-based financial system that develops products, services, technologies, and new... more
Abstract: Discussion:
Bank of Indonesia Regulation Number 19/12PBI/2017 on Financial Technology defines Financial
Technology (fintech) as the technology-based financial system that develops products, services, technologies, and new business models. Fintech also influenced the monetary stability, financial system stability, efficiency, continuity, safety, and reliability of the payment system. As the borrower to peer-to-peer (P2P) lending, consumers have the rights for legal protection in the form of contract, debt counselling, protection against interest rate fluctuation, and other additional fees. Consumer Protection for technology-based lending services is regulated in Article 1 Act Number 8 the Year 1999 on Consumer Protection; Article 1 BI Regulation Number 19/12PBI/2017; and Article 4 to Article 26 Financial Services Authority (OJK) Number 77/PJOK.01/2016. In P2P lending, there are several issues that the debtors faced: the increasing number of illegal fintech companies, debt collection via intimidation, high-interest rate, and personal data misuse. Article 26 OJK Regulation Number 77/PJOK.01/2016 states that the financial services providers must protect the privacy and confidentiality of consumer’s data. Article 6 to Article 8 explains that if a P2P company is not registered in OJK, such company will be perceived as illegal. During debt collection, The Indonesia Fintech Association (AFI) Code of Conduct
required all of the P2P companies to promote goodwill.
Research Method: This study utilizes juridical empirical research through a qualitative approach. A qualitative approach is a method of analysis that delivers descriptive data analysis—data from respondents which can be in writing, oral, or subject’s behaviours that are studied as a whole. The data were received from respondents and informants. This research refers to Act Number 8 the Year 1999 concerning Consumer Protection and Financial Service Authority Regulation Number 77/PJOK.01/2016 concerning Financial Technology Peer-to-Peer Lending.
Conclusion:
Key Word: fintech, Consumer Protection, Financial Services Authority
Date of Submission: 11-07-2020 Date of Acceptance: 27-07-2020
Article 1 paragraph 5 UUHT mentions that, "the granting of the right of liability shall be the certificate of PPAT which contains the granting of the right of liability to a particular creditor as a guarantee for the repayment of its... more
Article 1 paragraph 5 UUHT mentions that, "the granting of the right of liability shall be the certificate of PPAT which contains the granting of the right of liability to a particular creditor as a guarantee for the repayment of its holder". Furthermore, article 1 Figure 1 UUJN mentioned that, "notary is a general official authorized to make an authentic deed and have other powers as intended in this law or under other laws". But in practice, due to the loading of the rights that have not completed the process in Notary/PPAT The cover note is issued notary/PPAT to be a description that the deed is still in the process of completion by notary/PPAT, so that the creditors can directly provide a loan to the debtor on the basis of collateral for the cover note notary/PPAT. This research aims to explain the consequences of the bank credit agreement based on the cover note made by notary/PPAT that can be used as evidence has occurred to load the rights in the Bank credit agreement. This type of research approach uses normative juridical type of research, which is research aimed at researching legal systematics, legal synchronisation, legal history, and legal comparisons. The approach used by the authors in this thesis, namely by the approach of legislation (of approach), a case approach (of approaches). Conceptual approach (conseptual approach). Data is collected through the literature research study. Data is analyzed in a qualitative analysis way. The results showed that, due to the law of the Banking Credit agreement based on the cover note, if it can be canceled by the credit agreement bank then the debtor is obliged to return the disbursement of credit facilities given to the debtor, if the credit agreement is not cancelled by the bank, then the credit agreement remains valid so that the debtor remains obliged to fulfill the promised achievement in a , Flowers and others. Paid to the notary before issuing the cover note first checking the object of the warranty, so it is certain that the certificate is in a clean state. Notary is expected to be able to be careful about the warranty object that wants to be tied with the rights and poured in a cover note.
Notary is the sole public official authorized to make an authentic act, The existence of a notary as an official of the act is also related to the acts related to the syariah system, especially the Islamic law. As the only Province in... more
Notary is the sole public official authorized to make an authentic act, The existence of a notary as an official of the act is also related to the acts related to the syariah system, especially the Islamic law. As the only Province in Indonesia that implements the religious life-management system based on Islamic law, Every Muslim community in Aceh must run Muamalah in accordance with the guidance of the Islamic Sharia. The existence and task of a strategic and challenging notary that Aceh should be an area that embraces Islamic Sharia, it is necessary to understand how the position of a notary as an official of the deed in the making of a sharia contract in Aceh is important in ensuring the legal certainty of the sharia contract in Aceh.
This article describes contract as one of the essential elements in commercial law, one of which is the oil and gas sector. Therefore, in drafting the contract in the sector, requirements set in prevailing laws and regulation need to be... more
This article describes contract as one of the essential elements in commercial law, one of which is the oil and gas sector. Therefore, in drafting the contract in the sector, requirements set in prevailing laws and regulation need to be met. In practice, notaries are often involved as public officials in the process of contract drafting in accordance with Article 15 of Law No 2 of 2014 regarding the amendment for Law No 30 of 2004 regarding the Legal Constitution of Notary Public Profession, because they are state officials who are authorized to draft and ratify contracts. This research was aimed at explaining the role of a notary on the drafting and ratification of oil and gas production sharing contract in Indonesia. This research was normative legal research with a legal and philosophical approach, and the method was prescriptive analysis. The technique adopted for the current research was library research by applying the legal material analysis of secondary data. Abstrak Artikel ini membahas mengenai Kontrak sebagai salah satu instrumen penting dalam hukum bisnis, salah satunya bisnis di bidang Migas. Oleh karena itu dalam pembuatannya diperlukan syarat-syarat tertentu sehingga sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam praktik, proses pembuatan kontrak bisnis sering melibatkan Notaris sebagai pejabat umum sesuai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) yang memiliki kewenangan di bidang penyusunan dan/atau pengesahan kontrak-kontrak. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan hukum serta peran dan fungsi Notaris dalam penyusunan dan/atau pengesahan Kontrak Bagi Hasil Migas di Indonesia. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan filsafat dengan menggunakan metode analisa preskiptif. Dalam penelitian ini digunakan teknik penelitian kepustakaan dengan menerapkan teknik pengolahan bahan hukum melalui telaah kepustakaan yang diperoleh dari data sekunder.
Background: Notary is a public official who runs the profession based on principles of trust, honesty, thoroughly, independently, impartially, safeguarding the interests of those involved in law-drafting. As an independent profession... more
Background: Notary is a public official who runs the profession based on principles of trust, honesty, thoroughly, independently, impartially, safeguarding the interests of those involved in law-drafting. As an independent profession because it is free from interference from any party, cooperation between notaries and banks by binding themselves with a cooperation agreement, not only damages the authority of an independent notary profession, but also has the potential to prioritize the interests of banks as creditors compared to the community as debtors which both require the services of a notary service in drafting authentic deeds. Research Method: This research is an empirical legal research, the research approach of this research is a sociological juridical approach, which is an approach that is done by looking at the reality that exists in practice in the field.Sources of data used in this study were taken from primary, secondary and tertiary data. Primary data used in sociological juridical research are data obtained from field research/interviews. The data used to complete the primary data are derived from literature review, the material used is through acts, books, magazines, newspapers, articles, journals, and website along with other references that support this research.Tertiary data are supporting legal materials that provide guidance and explanations for primary and secondary legal materials. Tertiary legal material in the form of information sources, namely the legal dictionary, Indonesian dictionary and encyclopedia. Data were analyzed qualitatively to get a description of the partnership agreement between the notary and the bank in drafting the deed of the bank credit agreement. Results:Partnership agreement between public notary and banking is an act that is prohibited in the notary position law and notary ethics code.The agreement makes a notary not independent, thus affecting the disruption of services provided by the public notary. Conclusions: The partnership agreement between the notary public and the bank makes the notary not independent in carry out his professional obligations because he prioritizes services to the bank instead of those who do not cooperate with notary.
Key words : Notary, Independent, Authentic Deed
This Abstract: This study will discuss whether a consumer in a house-buying and selling shop binding agreement has been covered by the Consumer Protection Act. The purpose of this study is to find out and analyze consumers in their home... more
This Abstract: This study will discuss whether a consumer in a house-buying and selling shop binding agreement has been covered by the Consumer Protection Act. The purpose of this study is to find out and analyze consumers in their home shop sales and purchase binding agreements have been protected by the Consumer Protection Act. The usefulness of research provides theoretical benefits, at least it can be useful as a donation of thought to the world of education. This type of research is normative research. The data analysis used in this study is the literature data or document study. The results of the research are known that consumer protection in the store-buying and selling of shop binding agreements is still not covered by Law No. 8 of 1999 on consumer protection, remembering many things that cause In the binding agreement of this home buying and selling shop, it should be avoided if the parties actually apply the principles and arrangements contained in the Law on consumer Protection.
Keywords: Consumer, Agreement
Perjanjian baku diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen (UUPK), Pasal tersebut mengatur tentang larangan pembatasan tanggung jawab di dalam perjanjian baku. Perjanjian baku adalah... more
Perjanjian baku diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan konsumen (UUPK), Pasal tersebut mengatur tentang larangan pembatasan tanggung jawab di
dalam perjanjian baku. Perjanjian baku adalah perjanjian yang lahir berdasarkan Pasal 1338 Jo Pasal 1337 Jo
Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Namun, dalam Perjanjian Berlangganan Jasa
Telekomunikasi Seluler Telkomsel yang dibuat antara konsumen dan pihak PT Telkomsel terdapat klausula
baku yang memuat pembatasan tanggung jawab di dalam Pasal 5 perjanjian tersebut, yang merupakan
pelanggaran dari ketentuan Pasal 18 UUPK, yang dimanfaatkan oleh penyedia jasa untuk mengalihkan
tanggung jawab dalam perjanjian. Tujuan penulisan artikel ini adalah menjelaskan perlindungan hukum bagi
konsumen, dan bentuk-bentuk kerugian serta upaya hukum yang dapat ditempuh apabila mengalami kerugian
dalam melakukan perjanjian dengan klausula baku yang di dalamnya terdapat pembatasan tanggung jawab.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah yuridis normatif dan data lapangan sebagai
ilmu bantu untuk menjelaskan dan memahami permasalahan berdasarkan realitas yang ada. Jenis pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis. Dari hasil penelitian diketahui
bahwa perjanjian baku milik PT Telkomsel telah memuat hak dan kewajiban di dalamnya, sehingga dapat
menjadi suatu perlindungan hukum bagi konsumen, namun dirasakan tidak cukup karna didalam perjanjian
tersebut juga memuat pembatasan tanggung jawab yang terdapat pada Pasal 5 Perjanjian baku milik PT
Telkomsel tersebut. Dalam UUPK juga telah mengatur tentang hak dan kewajiban konsumen pada Pasal 4 dan 5
UUPK. Apabila konsumen tidak mendapatkan haknya sesuai dengan perjanjian, maka konsumen dapat
menuntut ganti kerugian. Bentuk kerugian yang dialami konsumen berupa mutu layanan yang tidak memenuhi
standar dan kualitas sinyal yang tidak sesuai janji. Kerugian tersebuta membuktikan bahwa pihak PT Telkomsel
tidak memenuhi kewajibannya dengan baik. Upaya hukum yang dapat ditempuh konsumen apabila mengalami
kerugian ada dua cara sesuai Pasal 45 UUPK yaitu melalui lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa
perlindungan konsumen seperti Badan Penyelesaian Sngketa Konsumen (BPSK) atau melalui peradilan yang
berada di lingkungan peradilan umum, namun konsumen tidak menuntut ganti rugi sesuai penjelasan Pasal 19
UUPK untuk mendapatkan hak-haknya kembali, sampai saat ini konsumen hanya melakukan komplain kepada
pihak PT Telkomsel. Disarankan kepada pengguna jasa agar memahami terlebih dahulu isi perjanjian yang
dibuat agar tidak dirugikan nantinya. Kepada pelaku usaha agar dapat terus meningkatkan kualitas mutu
layanannya. Kepada para pihak agar dapat menempuh jalur penyelesaian yang terbaik seperti negosiasi guna
menghindari biaya yang dikeluarkan dan waktu yang harus dikorbankan.

Kata Kunci: Pembatasan, Kontrak, Konstruksi.
Authors: Marlia Sastro, Tan Kamello, Azhari Yahya, Sri Walny Rahayu, This article studies the equity principle in conducting social and environmental responsibility of the Palm Oil Plantation Company in Aceh Province. The Equity... more
Authors: Marlia Sastro, Tan Kamello, Azhari Yahya, Sri Walny Rahayu,

This article studies the equity principle in conducting social and environmental responsibility of the Palm Oil Plantation Company in Aceh Province. The Equity principle is clearly stated in The Book of Civil Code Article 1339 and Article 74 Paragraph (2) Law Number 40 Year 2007 of the Limited Liability Company. Concretisation of the equity principle in implementing social and environmental responsibility is mandated in UUPT (Laws of a Limited Company), Plantation Statute, and of State-Owned Enterprise Laws (UU BUMN), and some Qanuns (Local Regulations) of a district/city in Aceh. Moreover, the concretisation of the equity principle of the Palm Oil Plantation Company in implementing social and environmental responsibility programs is in consideration of the financial capability of the company and the propriety applied in the Acehnese Community. The concretisation of the equity principle in the community is that social and environmental responsibility is based on the need for community and based on local community tradition. The concretisation of equity principles can be implemented based on a fair agreement between the company and the community in order to achieve justice for all parties.

Key words: Equity, Social and Environmental Responsibility, Aceh.
ABSTRAK Lagu-lagu tradisional Aceh merupakan bagian rezim hak cipta dan termasuk dalam ekspresi budaya tradisional masyarakat Aceh, kekayaan dan identitas bangsa. Untuk memajukan lagu-lagu tradisonal sebagai bagian kebudayaan Aceh,... more
ABSTRAK Lagu-lagu tradisional Aceh merupakan bagian rezim hak cipta dan termasuk dalam ekspresi budaya tradisional masyarakat Aceh, kekayaan dan identitas bangsa. Untuk memajukan lagu-lagu tradisonal sebagai bagian kebudayaan Aceh, diperlukan langkah strategis melalui perlin-dungan, pengembangan, pemanfaatan, pembinaan untuk mewu-judkan masyarakat Aceh yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam Kebudayaan. Hal lainnya, lagu-lagu tradisional Aceh merupakan hak milik yang dapat beralih melalui warisan. Dalam praktiknya ahli waris pencipta lagu-lagu Aceh tidak memahami dan belum mendapatkan hak ekonominya sebagai-mana diatur dalam Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Budaya masyarakat komunal berbeda pandang dengan filosofi konsep hak kekayaan Intelektual, bersifat eksklusif monopoli, dan lemahnya implementasi penegakan hukum hak cipta merupakan persoalan yang harus mendapat perhatian pemerintah di Aceh dalam melestarikan budaya tradisonalnya. Tujuan penulisan menjelaskan perlindungan hukum terhadap lagu tradisional Aceh yang merupakan ekspresi budaya tradisional, menjelaskan perlindungan kepada ahli waris pencipta lagu Aceh melalui warisan menurut Undang-Undang Hak Cipta, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan Hukum Islam menjelaskan kendala pengalihan pencipta hak ekonomi lagu-lagu tradisional Aceh melalui warisan. Jenis penelitian ini menggunakan data sekunder sebagai data utama, atau yang disebut penelitian yuridis normatif yang menguji norma hukum sebagai objek penelitian. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual dan pendekatan hukum komparatif. Tulisannya disajikan dalam bentuk analisis deskriptif. Kata Kunci: ekspresi budaya tradisional; lagu Aceh; perlindungan hukum; pewarisan. ABSTRACT Traditional Acehnese songs which are part of the copyright regimes are one part of the expression of traditional Acehnese culture, wealth and national identity. The promotion of Acehnese culture through traditional songs requires a strategic step through protection, development, utilization, and coaching to realize an Acehnese society that is politically sovereign, economically independent, and has a personality in culture. Other things Traditional Aceh songs are property rights that can be transferred through inheritance. In practice the heirs of Acehnese songs creators do not understand and obtain economic rights from the commercial use of Acehnese songs as stipulated in Article 16 paragraph (2) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. The communal society's culture is different from the philosophy of the concept of intellectual property rights that is exclusively monopoly and the weak
AEC in Indonesia takes effect December 31, 2015. Negative impacts arise include transnational crime in the various modus operandi of the new, sophisticated cross-border interState , e.g human trafficking involving women and children as... more
AEC in Indonesia takes effect December 31, 2015. Negative impacts arise include transnational crime in the various modus operandi of the new, sophisticated cross-border interState , e.g human trafficking involving women and children as victims is a serious transnational crime, organized crime, networking, and systematic. Crime mapping, among others, government was not optimal concern to children's issues, low levels of education, unemployment, poverty, child adoption motive, culture weaken the position of women and children, lifestyle, sensitivity deterrent power of individuals, families, communities in the prevention of child trafficking. This writing method normative juridical approach namely the main data test secondary data, through a historical approach, conceptual and comparative law. Specifications analytical descriptive study then analyzed based on qualitative juridical, presented in the form description. This paper explains the active role of Indigenous institutions and community-based local moral values contributed to the making of regulations in each area based on the Law on Local Government. The Indigenous institutions and communities understand the context of the crime that stems from its environment. The strategy used by the customs agency, as well as elements of society, including academia network as an agent of renewal of the values of local wisdom pattern, doing research, various forms of socialization, undertake mapping, inventorying the shape and value of local knowledge of each area in Indonesia that is not gender-biased, the media can be used to prevent trafficking in children, it can be used as a reference preparation of Qanun/Regional Regulation under budget primarily trafficking of children in Indonesia as a form of prevention against the effects of AEC.
Keywords : Indigenous Institutions, Local Wisdom Values, Child Trafficking Prevention Strategies
Aceh as a Province that implements Islamic Sharia is required so that every product circulating to be certified halal before being consumed by the public. The task was given to the Aceh Ulama Consultative Assembly through the Institute... more
Aceh as a Province that implements Islamic Sharia is required so that every product circulating to be certified halal before being consumed by the public. The task was given to the Aceh Ulama Consultative Assembly through the Institute for the Assessment of Food, Medicine and Cosmetics Aceh Ulama Consultative Assembly (LPPOM MPU) Aceh. In fact in 2017 the discovery of the same noodle products traded in the city of Banda Aceh and not halal certified. This study discusses to explain and analyze the causes of ineffective consumer protection by the Aceh Ulama Consultative Assembly on Samyang Noodle Product Halal Certification Certification. This research is an empirical juridical legal research using a legal sociology approach and a qualitative analysis approach using an inductive mindset. Based on the results of research that prove the obstacles-which cause less effective consumer protection by the Aceh Ulama Consultative Assembly on the certification of halal labels for Samyang noodles are that the Aceh Government has not issued a Governor Regulation which is a derivative of Qanun Number 8 of 2016 concerning the Halal Product Guarantee System. And the socialization of the Qanun has not been communicated to the wider community and business people

Aceh sebagai Provinsi yang melaksanakan syariat Islam diwajibkan agar setiap produk yang beredar untuk disertifikasi halal sebelum dikonsumsi oleh masyarakat. Tugas tersebut diberikan kepada Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh melalui LPPOM MPU Aceh.. Kenyataanya pada tahun 2017 ditemukannya produk mie samyang yang diperdagangkan di Kota Banda Aceh serta tidak bersertifikasi halal. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis hambatan yang menyebabkan kurang efektifnya perlindungan konsumen oleh Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Terhadap Sertifikasi Label Halal Produk mie Samyang. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis empiris dengan menggunakan pendekatan sosiologi hukum dan pendekatan analisis secara kualitatif menggunakan kerangka pikir induktif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa hambatan-hambatan yang menyebabkan kurang efektifnya perlindungan konsumen oleh Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh terhadap sertifikasi label halal produk mie Samyang yaitu, Pemerintah Aceh belum mengeluarkan Peraturan Gubernur yang merupakan turunan dari Qanun Nomor 8 Tahun 2016 tentang Sistem Jaminan Produk Halal. Dan belum tersosialisasinya Qanun tersebut kepada masyarakat luas dan para pelaku usaha.
Abstrak-Tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen diatur oleh Norma Pasal 19 UUPK Tahun 1999 tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha jo Pasal 3 Permenkes Nomor 43 Tahun 2010 Tentang Hygiene Sanitasi Depot Air Minum. Namun dalam praktiknya... more
Abstrak-Tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen diatur oleh Norma Pasal 19 UUPK Tahun 1999 tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha jo Pasal 3 Permenkes Nomor 43 Tahun 2010 Tentang Hygiene Sanitasi Depot Air Minum. Namun dalam praktiknya di Kota Banda Aceh ditemukan pelaku usaha depot air minum isi ulang belum memenuhi tanggung jawabnya dalam menerapkan kualitas standar mutu untuk melindungi hak konsumen. Tujuan penulisan skripsi ini untuk mengetahui dan menjelaskan tanggung jawab pelaku usaha depot air minum dalam penerapan kualitas standar mutu air minum isi ulang telah dilaksanakan oleh pelaku usaha depot air minum. Bentuk kerugian konsumen akibat pelaku usaha yang tidak menerapkan kualitas standar mutu air minum isi ulang, dan upaya yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh dalam melindungi hak-hak konsumen berkaitan dengan air minum isi ulang. Penelitian ini bersifat yuridis normatif, yaitu suatu pendekatan yang menggunakan konsep legal positif dengan cara mengkaji penerapan kaidah atau norma dalam hukum positif. Data penelitian yuridis normatif berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier didukung oleh data primer di lapangan sebagai ilmu bantu. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha depot air minum isi ulang belum memenuhi persyaratan hygiene sanitasi air minum di antaranya ada beberapa perlengkapan dan peralatan yang digunakan seperti kran pengisian air minum, kran pengisian galon sudah berkarat, tendon air minum sering terbuka, lantai hanya dilapisi karpet sehingga tidak kedap air, bangunan terbuat dari kayu sehingga tidak mudah untuk dibersihkan. Bentuk kerugian yang diderita konsumen karena tidak adanya penerapan kualitas standar mutu air minum isi ulang mengalami keracunan bakteri sehingga menyebabkan diare, gejala tifus, pusing. Upaya yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh seperti melakukan pengawasan, sosialisasi, dan pembinaan, namun pengawasan yang dilakukan belum maksimal sebagaimana dalam peraturan perundang-undangan seperti belum memberikan sanksi terhadap pelaku usaha yang belum memenuhi kualitas standar mutu, belum adanya data yang terpilah, belum adanya kerja sama yang bersinergi dengan Yayasan Perlindungan Konsumen Aceh (YAPKA), sehingga masih ditemukan pelaku usaha yang belum menerapkan kualitas standar mutu. Diharapkan kepada pelaku usaha depot air minum isi ulang di Kota Banda Aceh menyadari tanggung jawabnya karena akan menimbulkan resiko bagi konsumennya dan pelanggaran terhadap hal tersebut dikenakan sanksi dalam aturan yang berlaku, oleh karena itu perlu mengikuti berbagai bentuk pelatihan, sosialisasi, dan pembinaan. Disarankan kepada konsumen agar lebih cermat dan berhati-hati untuk memilih depot air minum isi ulang. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh adanya data terpilah mengenai pelaku usaha yang telah dan yang belum menerapkan kualitas standar mutu air minum isi ulang, berkoordinasi dan bersinergi kepada YAPKA, memberikan sanksi administratif seperti larangan distribusi air minum isi ulang kepada depot yang tidak menerapkan kualitas standar mutu. Abstract-The responsibility of businesses to consumers is governed by the norms of Article 19 of the Consumer Protection Law of 1999 on the responsibility of business operators in conjunction with Article 3 Health Ministers Regulation No. 43 Year 2010 on hygiene sanitation drinking water refill. However, in practice in Banda Aceh found businesses refill drinking water has not fulfilled its responsibility in applying quality standards to protect consumer rights. The purpose of this script to investigate and clarify the responsibility of business operators refill drinking water quality standards in the application of quality drinking water refills has been implemented by businesses refill drinking water. Forms of consumer losses due to businesses that do not implement quality standards of drinking water quality refill, and the efforts made by the City Health Office Banda Aceh in protecting consumer rights related to drinking water refills. This study is normative, ie an approach that uses positive legal concept by reviewing the application of the rules or norms in the positive law. Normative research data in the form of primary legal materials, secondary law, and tertiary legal materials supported by primary data in the field as an auxiliary science. Based on the survey results revealed that the responsibility of business operators refill drinking water do not meet the requirements of hygiene sanitation of
The practice of Gross Split and Cost Recovery contracts for oil and gas production sharing results in inconsistency in the concept of oil and gas production sharing contract. This inconsistency will contribute to inability to reach the... more
The practice of Gross Split and Cost Recovery contracts for oil and gas production sharing results in inconsistency in the concept of oil and gas production sharing contract. This inconsistency will contribute to inability to reach the natural resource management as mandated by the fourth paragraph of the preamble of the 1945 Constitution, related to Article 33, point (3) of the 1945 Constitution, related to Article 1 and 2 of the Agrarian Law, related to Article 4 of oil and gas law, related to Article 25 in point (1) of Government Regulation No 55 of 2009. The regulations for oil and gas production sharing contract which is public and private have not been integrated into one guideline, and thus private, and public laws are often used as the guideline. Based on the comparison of the two types of oil and gas production sharing contracts, Gross Split contract might degrade the principle of ownership by the state in managing oil and gas compared to Cost Recovery contract. This disadvantage is evident from the lack of government role in supervising and monitoring the management of oil and gas, and this lacking government role can reduce the chain effect of the national economy.

Key words : contract, oil and gas production sharing contract, Gross Split and Cost Recovery contracts
Kewajiban dan tanggung jawab pelaku usaha rumah makan dan restoran dalam penerapan persyaratan hygiene sanitasi diatur oleh norma Pasal 7 jo. Pasal 19 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 5 Kepmenkes RI... more
Kewajiban dan tanggung jawab pelaku usaha rumah makan dan restoran dalam penerapan persyaratan hygiene sanitasi diatur oleh norma Pasal 7 jo. Pasal 19 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 5 Kepmenkes RI Nomor 1098/MENKES/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran. Namun dalam praktiknya pelaku usaha rumah makan dan restoran di Kota Banda Aceh belum memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya untuk melindungi hak konsumen. Persyaratan hygiene sanitasi yang berbentuk pelayanan dan fasilitas yang menjadi hak konsumen dalam praktiknya belum terlaksana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan penulisan artikel ini untuk menjelaskan persyaratan hygiene sanitasi telah dilaksanakan oleh pelaku usaha rumah makan dan restoran, hambatan yang ditemukan pelaku usaha rumah makan dan restoran dalam memberikan pelayanan berdasarkan persyaratan hygiene sanitasi, dan upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh dalam penegakan perlindungan konsumen dan hygiene sanitasi. Penelitian ini bersifat yuridis normatif, yaitu suatu pendekatan yang menggunakan konsep legal positif dengan cara mengkaji penerapan kaidah atau norma dalam hukum positif. Data penelitian yuridis normatif berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier didukung oleh data primer di lapangan dengan melakukan wawancara terhadap responden dan informan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui fasilitas pelayanan konsumen seperti dapur yang sehat, peralatan makanan dan pengolahan makanan dan kenyamanan, keamanan dan keselamatan yang menjadi hak konsumen belum tersedia sesuai peraturan perundang-undangan persyaratan hygiene sanitasi. Hambatan pelayanan diidentifikasi berdasarkan 4 (empat) pilar, hambatan pelaku usaha meliputi kurangnya pemahaman hygiene sanitasi, modal yang tidak cukup, belum adanya Standar Operasional Prosedure, belum adanya pengawasan dari Dinkes Kota Banda Aceh, Dinkes Kota Banda Aceh dan YAPKA belum berfungsi optimal. Hambatan di pihak konsumen diketahui kurangnya kesadaran dan pemahaman tentang hak konsumen terkait dengan hygiene sanitasi. Dari pihak Dinkes Kota Banda Aceh diketahui hambatan pelayanan konsumen berupa anggaran yang tidak memadai, belum optimal koordinasi terpadu antara pihak Dinkes Kota Banda Aceh dan puskesmas, pelaku usaha belum menyadari kewajibannya dan belum terjalin hubungan yang bersinergi antara Dinkes Kota Banda Aceh, YAPKA, pelaku usaha, dan konsumen. Hambatan yang ditemukan dari YAPKA, tidak bersinerginya hubungan antara YAPKA dan Dinkes Kota Banda Aceh, YAPKA belum maksimal melindungi masyarakat karena belum tersedia sarana dan prasarana perlindungan konsumen dan tidak ada anggaran yang cukup bagi YAPKA. Upaya yang di lakukan Pemerintah Kota Banda Aceh berupa sosialisasi, pembinaan dan memberikan sanksi administratif. Diharapkan kepada pelaku usaha rumah makan dan restoran di Kota Banda Aceh untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disarankan kepada pihak-pihak yang berkaitan langsung dalam hal hygiene agar mempunyai hubungan kerjasama. Diharapkan kepada Dinkes Kota Banda Aceh dan KPPTSP Kota Banda Aceh dapat secara tegas menindak kepada pelaku usaha rumah makan dan restoran yang melakukan pelanggaran dalam penerapan persyaratan hygiene sanitasi. Abstract-Obligations and responsibilities of business actors a restaurant and restaurants in the application of hygiene sanitation requirements are governed by the norms of Article 7 jo. Article 19 the Act No. 8, 1999 on Consumer Protection jo. Article 5 Health Ministers Decision No. 1098/Menkes/SK/VII/2003 regarding Requirements Hygiene Sanitation a Restaurant and Restaurants. However, in practice businesses restaurant and restaurants in the city of Banda Aceh have not fulfilled their obligations and responsibilities to protect the rights of consumers. Hygiene sanitation requirements in the form of services and facilities to be the consumer's rights in practice has not been accomplished in accordance with the legislation in force. The purpose of this thesis to knowing and explain the requirements of sanitary hygiene has been implemented by businesses a restaurant and restaurants. Barriers were found to businesses a restaurant and restaurants to provide services
Berdasarkan ketentuan UUHC Tahun 2014 Pasal 8 Jo. Pasal 9 ayat (1) huruf i-ayat (2) Jo. Pasal 35 ayat (2) Jo. Pasal 40 ayat (1) huruf a UUHC Tahun 2014. Disebutkan bahwa buku, novel, dan komik merupakan ciptaan yang dilindungi dan bagi... more
Berdasarkan ketentuan UUHC Tahun 2014 Pasal 8 Jo. Pasal 9 ayat (1) huruf i-ayat (2) Jo. Pasal 35 ayat (2) Jo. Pasal 40 ayat (1) huruf a UUHC Tahun 2014. Disebutkan bahwa buku, novel, dan komik merupakan ciptaan yang dilindungi dan bagi penulis atau penerbit berhak menerima pembayaran royalti ketika ciptaannya digunakan secara komersial. Dalam praktiknya di Kota Banda Aceh penyewaan buku, novel, dan komik belum dilaksanakan sebagaimana ketentuan UUHC tersebut. Tujuan penulisan artikel ini untuk menjelaskan perlindungan hak ekonomi penulis atau penerbit terhadap penyewaan buku, novel,dan komik secara komersial di Kota Banda Aceh, hambatan yang ditemukan dalam pembayaran royalti pelaku usaha rental buku, novel, dan komik di Kota Banda Aceh, dan upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Kota Banda Aceh dalam penegakan pelaksanaan pembayaran royalti di Kota Banda Aceh. Penelitian ini bersifat yuridis normatif, menekankan pada penelitian kepustakaan dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder, tersier. Data lapangan berupa data primer diperoleh melalui wawancara kepada responden dan informan. Hal ini karena penelitian normatif dapat memanfaatkan hasil penelitian empiris sebagai ilmu bantu sehingga tidak mengubah hakikat ilmu hukum sebagai ilmu normatif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui perlindungan hak ekonomi penulis dan penerbit belum sesuai Pasal 8 Jo. Pasal 9 ayat (1) huruf i-ayat (2) Jo. Pasal 35 ayat (2) UUHC Tahun 2014, sehingga pembayaran royalti tidak dilaksanakan. Hambatan pembayaran royalti disebabkan karena berbagai faktor yaitu kurangnya kesadaran hukum pelaku usaha dan ingin mendapatkan keuntungan yang besar, upaya Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Aceh kurang maksimal, penulis atau penerbit tidak melakukan pengawasan terhadap hak ekonominya, serta tidak ada lembaga penarik royalti di Kota Banda Aceh. Adapun upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Aceh yaitu sosialisasi dan edukasi mengenai hak cipta secara umum, belum optimal dalam penegakan pelaksanaan pembayaran royalti. Serta kurang jelas dalam memberikan materi sosialisasi maupun edukasi dan kurang tepat dalam memilih peserta. sehingga tidak efektif dalam pelaksanaannya. Disarankan kepada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM bagian Pelayanan Hukum dan HKI lebih memperhatikan perlindungan hak ekonomi penulis dan penerbit dalam pelaksanaan pembayaran royalti. Kepada Penulis dan Penerbit untuk lebih memiliki inisiatif dan proaktif terhadap pengawasan hak ekonominya. Abstract-Under the provisions of Article 8 of Copyright Law of 2014 Jo. Article 9 paragraph (1) letter i-paragraph (2) Jo. Article 35 paragraph (2) Jo. Article 40 paragraph (1) letter a of Copyright Law of 2014. Mentioned that the books, novels, and comics are the creation of protected and for the author or publisher has the right to receive payment of royalties when his creations are used commercially. In practice, the rental of books, novels, and comics have not been implemented as the Copyright Law provisions in Banda Aceh. The purpose of this research was to explain the protection of economic rights of the author or publisher on the commercial rental of books, novels, and comics in Banda Aceh, the obstacles found in royalty payments in rental businesses of books, novels, and comics in the Banda Aceh, and efforts carried out by Banda Aceh Government in the enforcement of the implementation of the payment of royalties in Banda Aceh. This study employed a normative juridical approach, emphasizing on literature research using primary, secondary, and tertiary legal materials, Fieldwork data were primary data obtained through interviews with respondents and informants. This was because the normative research may use the results of empirical research as an auxiliary science that did not change the nature of law as a normative science. Based on the results it was found that the protection of economic rights of authors and publishers was not yet in line with the Article 8 Jo. Article 9 paragraph (1) letter i-paragraph (2) Jo. Article 35 paragraph (2) of UUHC of 2014, so that the royalty payments was not implemented. The obstacles found in the implementation of royalty payments was due to various factors, namely the lack of legal awareness of entrepreneurs and their desire to earn huge
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan bentuk perlindungan dan pelanggaran, hambatan perlindungan dan upaya-upaya yang telah ditempuh dalam penyelesaian sengketa para pihak terhadap pelanggaran hak moral dan hak... more
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan bentuk perlindungan dan pelanggaran, hambatan perlindungan dan upaya-upaya yang telah ditempuh dalam penyelesaian sengketa para pihak terhadap pelanggaran hak moral dan hak ekonomi ciptaan lagu dan/atau musik asing dalam praktiknya. Penelitian ini bersifat yuridis normatif, yaitu suatu pendekatan yang menggunakan konsep legal positif dengan cara mengkaji penerapan kaidah atau norma dalam hukum positif. Data penelitian yuridis normatif berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier didukung oleh data primer di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui pengaturan UUHC telah cukup baik memberikan perlindungan. Namun dalam praktiknya belum dilindungi karena UUHC menganut delik aduan. Implementasi perlindungan yang diberikan menempatkan baik pencipta lagu dan/atau musik asing maupun Indonesia harus inisiatif dan pro-aktif dalam melindungi hak ciptanya sendiri. Kondisi tersebut belum dilakukan karena sulit menjangkau bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan Indonesia. Hambatannya yaitu hambatan internal yang dirasakan pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Hak Kekayaan Intelektual di Kemenkum dan HAM Aceh yaitu tidak sesuainya tugas dan fungsi SDM sesuai basis profesionalitas keilmuan yang dimiliki, hambatan eksternal dari seniman-seniman lagu dan/atau musik di Aceh yang masih belum memahami UUHC Tahun 2014. Penyelesaian sengketa yang ditempuh para pihak yang ditemukan sampai saat ini di Aceh diselesaikan melalui alternatif penyelesaian sengketa dengan model mediasi. Diharapkan kepada Kanwil Hukum dan HAM harus melindungi ciptaan lagu dan/atau musik asing meskipun UUHC Tahun 2014 mengatur delik aduan. Pencipta dan pemegang hak cipta maupun AIRA harus lebih pro-aktif dalam melindungi ciptaannya. Disarankan bagi pejabat PPNS-HKI dan penyidik pejabat polri yang bertanggung jawab dalam perlindungan hak cipta mendapatkan program pelatihan pencegahan pelanggaran hak cipta. Diharapkan Konsultan HKI mampu membantu memberikan pemahaman mengenai mekanisme penyelesaian sengketa hak cipta terhadap pelanggaran hak cipta yang sudah diketahui terjadi pelanggaran. Abstract-The purpose to explain the forms of protection and infringement, barriers protection and measures that have been taken in the resolution of the dispute of the parties to the infringement of moral and economic rights of the creation of the song and / or foreign music in practice.
Abstrak-Perlindungan hukum hak cipta tarian tradisional sebagai ekspresi budaya tradisional telah diatur di dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f Jo. Pasal 31-38 Jo. Pasal 40 ayat (1) huruf e, o, dan q UUHC Tahun 2014. Dalam praktiknya... more
Abstrak-Perlindungan hukum hak cipta tarian tradisional sebagai ekspresi budaya tradisional telah diatur di dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f Jo. Pasal 31-38 Jo. Pasal 40 ayat (1) huruf e, o, dan q UUHC Tahun 2014. Dalam praktiknya perlindungan hukum hak cipta tarian tradisional tersebut belum terlaksana secara maksimal yaitu ditemukannya pelanggaran berupa penggunaan secara komersial terhadap tarian tradisional tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta, dan belum adanya inventarisasi berupa dokumen terhadap tarian-tarian tradisional yang ada di Provinsi Aceh sehingga sulit memperoleh perlindungan untuk melakukan pendaftaran. Alasan itulah penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan.Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai bentuk pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta tarian tradisional sebagai ekspresi budaya tradisional di Provinsi Aceh, mengenai hambatan yang ditemukan dalam pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta tarian tradisonal sebagai eskpresi budaya tradisional pada praktiknya, dan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Aceh dalam penegakan perlindungan hukum hak cipta tarian tradisional sebagai ekspresi budaya tradisional.Penelitian ini bersifat yuridis normatif yaitu suatu pendekatan yang menggunakan konsep legal positif dengan cara mengkaji penerapan kaidah atau norma dalam hukum hak cipta. Data penelitian yuridis normatif berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier dan didukung bahan hukum primer di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bentuk pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta tarian tradisional sebagai ekspresi budaya tradisional belum sesuai dengan ketentuan UUHC Tahun 2014. Hal ini diketahui penggunaan secara komersial terhadap tarian tradisional sering dilakukan tanpa mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta tarian tradisional di Aceh. Syarat pendaftaran untuk memperoleh hak cipta bersifat fakultatif. Hambatan sehingga tidak terlaksananya pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta tarian tradisional sebagai ekspresi budaya tradisional diakibatkan oleh pencipta atau pemegang hak cipta belum memahami secara utuh mengenai hak ekonomi dan hak moral yang terdapat pada hak cipta. Adapun upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Aceh yaitu mendaftarkan tarian-tarian tradisional sebagai Warisan Budaya Tak Benda kepada UNESCO, dan melakukan pembinaan berupa sosialisasi dan seminar tentang Hak Cipta. Disarankan kepada Kanwil Kemenkum dan HAM Provinsi Aceh, Disbudpar Provinsi Aceh, dan Pencipta atau Pemegang Hak Cipta tarian tradisional untuk lebih proaktif dalam melindungi dan menjaga kelestarian tarian tradisional di Provinsi Aceh dan diharapkan dapat mendaftarkan tarian-tarian tradisional tersebut ke Kanwil Kemenkum dan HAM dan mendaftarkan ke UNESCO. Abstract-The protection of copyright law of traditional dance as traditional cultural expressions has been regulated in Article 9 paragraph (1) point f stbld. Article 31-38 stbld. Article 40 paragraph (1) point e, o, and q of Copyright Law of 2014. In practice, the protection of copyright law of traditional dance has not been implemented optimally because there are still infringements which are found in the form of commercial use of the traditional dance without permission of the creator or copyright holder, and there is still no any inventory in the form of documents of the traditional dances in the province of Aceh so it is difficult to obtain the protection for registration.
Ainon Marziah, Sri Walny Rahayu, Iman Jauhari This study aims to explain the proof of the minutes of auction for the winner of execution of mortgage rights, this research method is empirical juridical. Techniques for collecting data... more
Ainon Marziah, Sri Walny Rahayu, Iman Jauhari

This study aims to explain the proof of the minutes of auction for the winner of execution of mortgage rights, this research method is empirical juridical. Techniques for collecting data through literature and field. Data were analyzed using a qualitative approach. The results of the examination of the auction minutes for the winner of the execution of the Meulaboh District court's mortgages number: 08 / PDT.g / 2013 / Pn MBo, in practice the auction minutes issued by the state Wealth service office and Banda Aceh Auction were based on auction procedures, after the Bank's expiration was not get compensation and the auction winner cannot control the auction object due to the claim of the plaintiff in the Meulaboh District court, the plaintiff is not willing to vacate the object because the selling of the auction object is not in accordance with the deed of rp.600,000,000. then sold rp. 454,000,000. And the auction winner could not destroy the object, the auction winner should have the right to control the auction object. Judges' decisions should pay attention to justice and benefits for the parties because the judge is not a mouthpiece of law, according to Article 10 paragraph (1) of Law number 49 of 2009 concerning judicial power. abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pembuktian risalah lelang bagi pemenang eksekusi hak tanggungan, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini metode yuridis empiris. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan dan lapangan. Data diperoleh dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuktian risalah lelang bagi pemenang eksekusi hak tanggungan pada kasus Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor: 08/PDT.G/2013/PN MBO, dalam praktiknya pembuktian terhadap risalah lelang yang dikeluarkan oleh KPKNL Banda Aceh sudah berdasarkan prosedur pelaksanaan lelang, setelah pelaksanaan berakhir tidak adanya kepastian hukum terhadap Bank tidak mendapatkan ganti kerugian atas penggugat wanprestasi dan pemenang lelang tidak dapat menguasai objek lelang disebabkan adanya gugatan penggugat di Pengadilan Negeri Meulaboh, penggugat tidak bersedia mengosongkan objeknya dikarenakan jual objek lelang tidak sesuai
MUHAMMAD YAFI ZHAFRAN, SRI WALNY RAHAYU, MUAZZIN Article 19 paragraph (1) of the Consumer Protection Law states that business actors are responsible for providing compensation for the damage, pollution and / or consumer loss due to the... more
MUHAMMAD YAFI ZHAFRAN, SRI WALNY RAHAYU,  MUAZZIN

Article 19 paragraph (1) of the Consumer Protection Law states that business actors are responsible
for providing compensation for the damage, pollution and / or consumer loss due to the consumption of goods
and or services produced or traded. Even though, the government has regulated the circulation of the drug of G
list (Gevaarlijk). In fact, the drug was found freely circulating in Banda Aceh City. The free circulation of the
drug of G list could potentially harm the society at large. The results of the study indicate that all losses suffered
by consumers as a result of the free circulation of hard drugs of G list are the responsibility of business actors
both criminal and civil law.Factors that make business actors ignore their responsibility to consumers are: first,
the high level of public demand for hard drug of G list at a low price. Second, the low level of knowledge,
bargaining power and consumers’ finance of their rights both must be received from business actors and the
rights that can be requested from business actors if there is a consumer loss. Then Third, pharmaceutical
business actors can’t be sued for the default, because selling the hard drugs listed G without a doctor's
prescription is an act that is contrary to the laws and regulations.
--------------------------------------------------------------------------------------
Alternative Dispute Resolution (ADR) is not new concept in Indonesia. The concept which prefer to utilize interest bargaining has been used in Indonesia in the settlement of customary law problems. In the United Sates, ADR was considered... more
Alternative Dispute Resolution (ADR) is not new concept in Indonesia. The concept which prefer to utilize interest bargaining has been used in Indonesia in the settlement of customary law problems. In the United Sates, ADR was considered as a legal development movement which started at the beginning of seventeenth and the fact showed excellencies and effectiveness in the settlement of business dispute. Courts were considered consumes more time and money in a dispute settlement process, therefore ADR was an alternative. In Indonesia the role of law in the settlement of dispute through ADR was still weak, therefore, a better political will from the government is needed.
More than one decade after Law Number 11/2006 on the Government of Aceh entered into force, the adaptive ability of adat justice and acehnese adat institutions survived because of their strong legal basis in indonesian laws and... more
More than one decade after Law Number 11/2006 on the Government of Aceh entered into force, the adaptive ability of adat justice and acehnese adat institutions survived because of their strong legal basis in indonesian laws and regulations. On the other hand, the implementation of the Asean Economy Community (AEC) since December 31, 2015, imposes threats like the emergence of various forms of transnational crime that crosses national boundaries, committed by perpetrators from two or more countries with modern modus operandi. The enactment of the AEC in Aceh poses a challenge to exploit the opportunities adat justice and adat institute to anticipate such crimes. Based on data from the Asean Plan of Action to Combat Transnational Crime (ASEAN-PACTC), There are eight (8) types of transnational organized crime, illicit drug trafficking, human trafficking, sea piracy, arms smuggling, money laundering, terrorism, international economic crime and cyber crime. This paper describes the adaptive ability of adat justice, and acehnese adat institute and intervention model of adat justice in aceh, the era of AEC in facing transnational crime. The power of adat justice and acehnese adat institutions should be expanded facing-the challenges-of transnational crime as a result of the implementation of the AEC in Indonesia ABSTRAK Lebih dari satu dekade setelah berlakunya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, kemampuan adaptif peradilan adat dan lembaga adat Aceh terus bertahan karena memiliki dasar legalitas penormaan yang kuat diatur dalam undang-undang dan peraturan di Indonesia. Di sisi lain jika dikaji, konsekuensi pelaksanaan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) efektif berlaku 31 Desember 2015 di Indonesia berpotensi menimbulkan ancaman seperti munculnya berbagai bentuk kejahatan transnasional yang melintasi perbatasan suatu negara, dilakukan oleh pelaku dari dua atau lebih negara dengan modus operandi modern. Berlakunya MEA bagi Aceh merupakan tantangan memanfaatkan peluang peradilan adat dan lembaga adat mengantisipasi kejahatan tersebut. Berdasarkan data dari ASEAN Rencana Aksi untuk memerangi kejahatan transnasional terdapat delapan bentuk kejahatan yaitu,
Abstrak Pengelolaan hasil laut dan perikanan di Indonesia rentan memunculkan sengketa karena laut bersifat open access. Dalam lingkup lokal, Provinsi Aceh memiliki lembaga alternatif penyelesaian sengketa (APS) adat laut yakni Panglima... more
Abstrak
Pengelolaan hasil laut dan perikanan di Indonesia rentan memunculkan sengketa karena laut bersifat open access. Dalam lingkup lokal, Provinsi Aceh memiliki lembaga alternatif penyelesaian sengketa (APS) adat laut yakni Panglima Laôt. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS (UU APS). Namun, sistem pendukung dari UU APS ini belum terbentuk sehingga penyelesaian sengketa melalui jalur alternatif lembaga APS adat laut Panglima Laôt tidak berjalan secara optimal sekalipun putusannya bersifat mengikat bagi para pihak.
Kata Kunci: lembaga penyelesaian sengketa adat laut, Panglima Laôt, alternaf penyelesaian sengketa, sistem hukum Indonesia, sistem pendukung. 

" Panglima Laôt " as Tradisional (adat) Dispute Resolution in Aceh as an Alternative Dispute Resolution in Indonesian Legal System

Abstract
The nature of the sea as an open access area potentially created a dispute especially concerning the management of marine and fisheries products. Locally, Aceh Province has established a tradiional law of the sea Alternative Dispute Resoluuon (ADR) body or so-called " Panglima Laôt ". Formerly, ADR has been regulated by the Law number 30 year 1999 concerning Arbitration and ADR. However, the supporting system of this regulation has not been created yet. That leads to inconsistency and ineffeccveness of the mechanism through ADR body " Panglima Laôt " , even though its decisions binding and applied to all parties.

Keywords: 'Adat' dispute resolution body, Panglima Laôt, alternative dispute resolution, Indonesian legal system, support system.
Progressive development in the field of science and technology, particularly in communication area, has caused sharply increase bribery, goods smuggling, illegal drug trading, corruption, illegal weapon trading, terrorism and various... more
Progressive development in the field of science and technology, particularly in communication area, has caused sharply increase bribery, goods smuggling, illegal drug trading, corruption, illegal weapon trading, terrorism and various other white collar crime, whether national or international level. Properties which obtained from such criminal, usually was being circulated prior to financial system including among of them banking system. By this way, it is expected the source of properties cannot be traced by lawyer. The effort of hiding properties that is obtained from criminal called money laundering. Nowadays, Indonesia has had Act Number 15 of the year 2002 on Money Laundering criminal, then changed by Act Number of the year 2003. This study to analyze money laundering criminal through banking in Indonesia after existing of regulation that regulate laundering criminal.
Modern society has succeeded in developing science and advanced technology to overcome problems in life, but on the other side of science and technology are not able to cultivate noble morality society. Countries Indonesia has a... more
Modern society has succeeded in developing science and advanced technology to overcome problems in life, but on the other side of science and technology are not able to cultivate noble morality society. Countries Indonesia has a philosophy of "mutual cooperation, empathy for others, is now experiencing a moral crisis. Values Honesty, truth, justice, sympathy and empathy for others turns into behavior deceitful, oppressive, squeeze and hurt each other even murder. They work together for the benefit group and in groups commit fraud, theft, oppression. the philosophy of science seeks to locate and restore the noble goals of science so that science invented in modern society, not be bomerang lead to the destruction of mankind, religious ties that are too rigid and structured to inhibit the development of science, but science intelligence that upholds freedom must pay attention to the value system of religion, so that the two are not contradictory. the purpose of this paper describes the role of the philosophy of science based on Islam, and describes the contribution and the function of the philosophy of science for modern society.
In Al-Quran (Koran), polygamy mention in Qs an-Nisa (4)’ verses 3, verses 20 and verses 129. Refer to an-Nisa’ (4) verses 3, literally give permitted for men to have four wive. This article usually use as a basic theology argument for... more
In Al-Quran (Koran), polygamy mention in Qs an-Nisa (4)’ verses 3, verses
20 and verses 129. Refer to an-Nisa’ (4) verses 3, literally give permitted for men to
have four wive. This article usually use as a basic theology argument for them that
agree with polygamy, but thi article means there are correlation between
commandments to take care of orphan by let them married more than one wife. The commentator (on the Koran) agree with nuzul asbab (history) of these
verses because wali (male relative legally responsible) not fair to the orphan under
there protected. Noticing prophet marital not because of sexsual desire but only for
religious proselytizing, education to struggle and to solve social and human
problem. The Legislation Number 1/1974 about Marriage principally monogamy,
even though arrange about polygamy but husband has to fulfil the requirements (1)
when wife can’t do her responsibility as a wife (2) wife handicap or gets ill that can’t
recover or can’t has the baby. Application from husband who wants to do polygamy
send to court and he has to fulfil the requirements (1) has permission from his wife
(2) husband can guarantee that he can earn his family (his wife and children). (3)
husband has to fair to his wife and children. After examine the rule found it that,
the rule still put wife in a lower position than husband and not give optimal
protection for women. The Al Quran, Qs an-Nisa [4],  want to examine about polygamy and find reference as an argument from Islamic point of view and the arrangement
in legislation Number 1/1974 about Marriage.
Keyword : Polygamy, Legislation Number 1/1974
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, merupakan bagian hak asasi setiap rakyat Indonesia. Pada saat pandemi covid 19, ketersediaan pangan harus lebih memberikan pelindungan, baik bagi pihak produsen maupun masyarakat... more
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, merupakan bagian hak asasi setiap rakyat Indonesia. Pada saat pandemi covid 19, ketersediaan pangan harus lebih memberikan pelindungan, baik bagi pihak produsen maupun masyarakat dengan tetap mmeperhatikan sistem pertanian berkelanjutan, ramah lingkungan, menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal masyarakat hukum adat. Perwujudan kedaulatan pangan oleh masyarakat adat di Provinsi Aceh, dirasakan belum optimal, cenderung kurang berkontribusi. Kebijakan yang ada masih menganggap pembangunan hanya bersifat pertumbuhan produksi semata sehingga Provinsi Aceh belum cukup mampu memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri.
Tujuan umum penelitian menjelaskan potensi keberdayaan kearifan dan pengetahuan lokal masyarakat hukum adat Aceh berkaitan dengan pangan sebagai daya ungkit perwujudan kedaulatan pangan. Tujuan khusus penelitian menjelaskan, mengidentifikasikan dan merumuskan potensi, kontribusi dan intervensi strategis model keberdayaan kearifan dan pengetahuan lokal masyarakat hukum adat sebagai daya ungkit perwujudan kedaulatan pangan di Aceh, selanjutya menjelaskan, menganalisis, faktor-faktor yang menjadi penghambat dan tantangan bagi masyarakat hukum adat dalam mewujudkan kedaulatan pangan di Aceh pada masa pandemi covid -19 serta era new normal, dan menemukan bentuk model kearifan dan pengetahuan lokal masyarakat hukum adat Aceh di bidang kedaulatan pangan.
Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis sosiologis, yang mengamati reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma bekerja di dalam masyarakat serta penerapan berbagai peraturan perundang- undangan mengenai masyarakat hukum adat dan ketahanan pangan di Aceh. Pendekatan yang digunakan secara sosiologis, komparatif dan kuantitatif. Data primer penelitian dibangun dari fakta sosial, yang berkaitan dengan bekerjanya berbagai peraturan perundang-undangan. Teknik pengumpulan data berdasarkan observasi dan kuesioner yang diperoleh dari responden dan informan melalui teknik purposive samping. Data sekunder (library reseach) berupa penelusuran berbagai literatur, dokumentasi dan peraturan perundang-undangan yang relevan, digunakan sebagai data awal pembanding, mengkaji masyarakat hukum adat dan ketahanan pangan. Data yang telah dikumpulkan diolah dengan menggunakan metode deskriptif analitis selanjutnya disajikan dalam bentuk kualitatif.  Kegiatan Penelitian dilakukan pada 5 (lima) lokasi sampel yang berada pada Provinsi Aceh yaitu Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Tengah serta Kabupaten Aceh Barat Daya. Pemilihan Lokasi penelitian didasarkan keterwakilan purposive sampling antar wilayah di Provinsi Aceh, yang diambil berdasarkan indikasi geografis kawasan Barat, Selatan, Tengah dan Utara, baik berada di wilayah daratan maupun pengunungan.
Hasil penelitian diketahui tingkat pemahaman, berupa skill dan kompetensi, kondisi lingkungan strategis, anggaran bagi Dinas terkait yang memadai, sangat berpengaruh terhadap potensi, kontribusi dan intervensi strategis model kearifan dan pengetahuan lokal masyarakat hukum adat sebagai daya ungkit kedaulatan pangan di Aceh. Hal ini kurang diperhatikan oleh Kepala daerah sampel ketika level kepala dinas di bidang pangan. Belum adanya penta helik dan saling bersinergi kebijakan program kepala daerah dengan DPRK. Faktor penghambat dan tantangan, intensitas pelibatan lembaga adat MAA, Keujruen Balang dan Panglima Laot belum maksimal dalam kebijakan program bidang pangan di daerah sampel. Harga bibit yang mahal, serta kondisi tanah yang tidak cocok bagi lahan pertanian, menyebabkan masyarakat kurang berminat melakukan cocok tanam padi. Area persawahan, area tambak terjadi alih fungsi lahan ke bangunan/gedung. Wilayah sampel tidak memiliki lumbung padi yang lengkap dengan lantai jemur. Rekomendasi penelitian dibutuhkan anggaran yang rasional memadai, SDM yang memiliki skill dan komptensi di bidang Ketahanan Pangan. Pelibatan Lembaga Adat, MAA, Keujruen Blang, Panglima Laot harus instensif, kontinyu dalam program kerja di bidang pangan di daerah. Dibutuhkan anggaran pelatihan berbasis keilmuan pangan bagi lembaga adat di bidang pangan, sehingga mereka sebagai penjaga adat dan hukum adat di bidang pangan, dapat berkontribusi dengan kompetensi ilmu yang dimilikinya. Kebijakan yang dihasilkan bersumber hukum adat di daerah, dapat menjadi sesuatu hal yang harmoni, dinamis dan adaptif berlaku menghadapi berbagai tantangan zaman dan kondisi, termasuk pada masa pandemi covid 19 dan era milineal revolusi industry yang bergrak ke arah 5.0.
Kata kunci : Model Kearifan Lokal Aceh, Masyarakat Hukum Adat, Kedaulatan Pangan, Covid19
Penerapan interaksi sosial kehidupan masyarakat hukum adat laut di Aceh tidak selamanya berjalan harmonis. Akibatnya lahirlah sengketa yang diselesaikan berdasarkan pandangan hidup yang dianut bertumpu pada eksistensi manusia yang berasal... more
Penerapan interaksi sosial kehidupan masyarakat hukum adat laut di Aceh tidak selamanya berjalan harmonis. Akibatnya lahirlah sengketa yang diselesaikan berdasarkan pandangan hidup yang dianut bertumpu pada eksistensi manusia yang berasal dari nilai, pola pikir, dan norma-norma yang adaptif dan bertahan di era revolusi industri 4.0. Keistimewaan dan Kekhususan Provinsi Aceh, memberikan kewenangan kepada Peradilan Adat laut menyelesaikan sengketa perdata dan pidana tindak pidana ringan. Tujuan penelitian ini menjelaskan prinsip keadilan yang dilaksanakan oleh peradilan adat laut di Aceh dalam menyelesaikan sengketa, menjelaskan ketaatan masyarakat adat terhadap putusan yang dikeluarkan lembaga peradilan adat laut era revolusi industri 4.0, menjelaskan upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat adat laut dalam pencegahan covid-19. Jenis penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif, dengan data utama adalah data kepustakaan. Pendekatan konseptual dan analisis digunakan dalam penelitian.Teknik pengumpulan data berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier dianalisis dengan cara berfikir deduktif. Penarikan kesimpulan bersifat umum dikerucutkan ke dalam permasalahan konkret untuk menemukan prinsip keadilan dalam penyelesaian sengketa kelautan di provinsi aceh. Uraian ditulis dalam bentuk deskriptif kualitatif.
Temuan: lembaga peradilan adat laut diatur dalam berbagai produk peraturan perundang- undangan berimplikasi kepada pemanfataan sumber daya alam (1) daerah harus tahu potensi perikanan daerahnya serta batas-batas sebagai dasar meregulasi pengelolaan sumberdaya alam, (2) daerah bertanggungjawab atas kelestarian lingkungan perikanan, (3) akses dan penguatan masyarakat hukum adat terlibat dalam pengelolaan sumber daya kelautan, (4) peradilan adat laut menggunakan tolok ukur asas keselarasan, kerukunan dan kepatutan. (5) Adanya suatu sistem hukum yang dapat menjamin setara seluruh kebutuhan tertib sosial dalam realitas sosial yang beragam. (6) Setiap persekutuan Hukum Adat memiliki kapasitas membangun otonomi sendiri termasuk menyelesaikan persoalan dan urusannya sendiri bertahan dan mencegah covid-19.
Kata kunci : Prinsip Keadilan, Peradilan Adat laut, Aceh
PRINSIP KEADILAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KELAUTAN DI PROVINSI ACEH Dr. Sri Walny Rahayu, S.H., M. Hum. Associate Professor, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh, Provinsi Aceh, Indonesia (23111) E-mail:... more
PRINSIP KEADILAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KELAUTAN DI PROVINSI ACEH
Dr. Sri Walny Rahayu, S.H., M. Hum.
Associate Professor, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh, Provinsi Aceh, Indonesia (23111)
E-mail: ayoe_armans@unsyiah.ac.id
ABSTRAK
Latar belakang: Penerapan interaksi sosial kehidupan masyarakat hukum adat laut di Aceh tidak selamanya berjalan harmonis. Akibatnya lahirlah sengketa yang diselesaikan berdasarkan pandangan hidup yang dianut bertumpu pada eksistensi manusia yang berasal dari nilai, pola pikir, dan norma-norma yang adaptif dan bertahan di era revolusi industri 4.0. Keistimewaan dan Kekhususan Provinsi Aceh, memberikan kewenangan kepada Peradilan Adat laut menyelesaikan sengketa perdata dan pidana tindak pidana ringan. Tujuan penelitian ini menjelaskan prinsip keadilan yang dilaksanakan oleh peradilan adat laut di Aceh dalam menyelesaikan sengketa, menjelaskan ketaatan masyarakat adat terhadap putusan yang dikeluarkan  lembaga peradilan adat laut era revolusi industri 4.0, menjelaskan upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat adat laut dalam pencegahan covid-19. 
Metotologi Penelitian: Jenis penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif, dengan data utama adalah data kepustakaan. Pendekatan konseptual dan analisis digunakan dalam penelitian.Teknik pengumpulan data berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier dianalisis dengan cara berfikir deduktif. Penarikan kesimpulan bersifat umum dikerucutkan ke dalam permasalahan konkret untuk menemukan prinsip keadilan dalam penyelesaian sengketa kelautan di provinsi aceh. Uraian ditulis dalam bentuk deskriptif kualitatif.
Temuan: lembaga peradilan adat laut diatur dalam berbagai produk peraturan perundang-undangan berimplikasi kepada pemanfataan sumber daya alam (1) daerah harus tahu potensi perikanan daerahnya serta batas-batas sebagai dasar meregulasi pengelolaan sumberdaya alam, (2) daerah bertanggungjawab atas kelestarian lingkungan perikanan,  (3) akses dan penguatan masyarakat hukum adat terlibat dalam pengelolaan sumber daya kelautan, (4) peradilan adat laut menggunakan tolok ukur asas keselarasan, kerukunan dan kepatutan. (5) Adanya suatu sistem hukum yang dapat menjamin setara seluruh kebutuhan tertib sosial dalam realitas sosial yang beragam. (6) Setiap persekutuan Hukum Adat memiliki kapasitas membangun otonomi sendiri termasuk menyelesaikan persoalan dan urusannya sendiri bertahan dan mencegah covid-19.

Kata kunci : Prinsip Keadilan, Peradilan Adat laut, Aceh
PRINSIP KEADILAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KELAUTAN DI PROVINSI ACEH Dr. Sri Walny Rahayu, S.H., M. Hum. Associate Professor, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh, Provinsi Aceh, Indonesia (23111) E-mail:... more
PRINSIP KEADILAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KELAUTAN DI PROVINSI ACEH
Dr. Sri Walny Rahayu, S.H., M. Hum.
Associate Professor, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh, Provinsi Aceh, Indonesia (23111)
E-mail: ayoe_armans@unsyiah.ac.id

ABSTRAK
Latar belakang: Penerapan interaksi sosial kehidupan masyarakat hukum adat laut di Aceh tidak selamanya berjalan harmonis. Akibatnya lahirlah sengketa yang diselesaikan berdasarkan pandangan hidup yang dianut bertumpu pada eksistensi manusia yang berasal dari nilai, pola pikir, dan norma-norma yang adaptif dan bertahan di era revolusi industri 4.0. Keistimewaan dan Kekhususan Provinsi Aceh, memberikan kewenangan kepada Peradilan Adat laut menyelesaikan sengketa perdata dan pidana tindak pidana ringan. Tujuan penelitian ini menjelaskan prinsip keadilan yang dilaksanakan oleh peradilan adat laut di Aceh dalam menyelesaikan sengketa, menjelaskan ketaatan masyarakat adat terhadap putusan yang dikeluarkan  lembaga peradilan adat laut era revolusi industri 4.0, menjelaskan upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat adat laut dalam pencegahan covid-19. 
Metotologi Penelitian: Jenis penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif, dengan data utama adalah data kepustakaan. Pendekatan konseptual dan analisis digunakan dalam penelitian.Teknik pengumpulan data berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier dianalisis dengan cara berfikir deduktif. Penarikan kesimpulan bersifat umum dikerucutkan ke dalam permasalahan konkret untuk menemukan prinsip keadilan dalam penyelesaian sengketa kelautan di provinsi aceh. Uraian ditulis dalam bentuk deskriptif kualitatif.
Temuan: lembaga peradilan adat laut diatur dalam berbagai produk peraturan perundang-undangan berimplikasi kepada pemanfataan sumber daya alam (1) daerah harus tahu potensi perikanan daerahnya serta batas-batas sebagai dasar meregulasi pengelolaan sumberdaya alam, (2) daerah bertanggungjawab atas kelestarian lingkungan perikanan,  (3) akses dan penguatan masyarakat hukum adat terlibat dalam pengelolaan sumber daya kelautan, (4) peradilan adat laut menggunakan tolok ukur asas keselarasan, kerukunan dan kepatutan. (5) Adanya suatu sistem hukum yang dapat menjamin setara seluruh kebutuhan tertib sosial dalam realitas sosial yang beragam. (6) Setiap persekutuan Hukum Adat memiliki kapasitas membangun otonomi sendiri termasuk menyelesaikan persoalan dan urusannya sendiri bertahan dan mencegah covid-19.

Kata kunci : Prinsip Keadilan, Peradilan Adat laut, Aceh
Kemajuan Teknologi dan Industri memperkuat perbedaan pola hidup masyarakat tradisional ke arah ke modern. Masyarakat modern memproduksi barang secara masal (Mass consumer consumption). dalam konteks tersebut, perlindungan hak konsumen... more
Kemajuan Teknologi dan Industri memperkuat perbedaan pola hidup masyarakat tradisional ke arah ke modern. Masyarakat modern memproduksi barang secara masal (Mass consumer consumption). dalam konteks tersebut, perlindungan hak konsumen memiliki kaitan dengan globalisasi perdagangan, industri, aktifitas perekonomian suatu wilayah di Negara, atau antar Negara. Hal lainnya adalah terciptanya suatu hubungan konsumen dengan Pelaku usaha yang luas, kompleks bahkan rumit. Bertemunya dua sistem Hukum abahkan lebih dari negara-negara dalam aktifitas perdagangan tersebut, meluasnya sarana penggunaan internet, perdagangan secara elektronik (e-commerce), terciptanya suatu model bisnis modern non-face (tidak menghadirkan pelaku bisnis secara fisik) dan non-sign (tidak memakai tanda tangan asli) yang dilakukan melalui jejaring berbgai bentuk aplikasi di media sosial. Perjanjian dalam transaksi bisnis e-commerce, praktis tanpa kertas (paperless) dan tidak bertemu secara langsung (face to face) penjual selaku pelaku usaha dengan pembeli sebagai konsumennya. hal ini memunculkan Financial Technology (Fintech), seperti OVO, Dana, Go Pay, Link Aja dan lain-lain yang menawarkan berbagai kemudahan, discount serta kepratiktisan dalam suatu transaksi yang dilakukan.
Penetapan Pancasila sebagai idiologi negara/cara pandang Bangsa Indonesia merupakan kompromi yang paling rasional dan secara historis mampu menjadi alat pemersatu bangsa. Meskipun tidak dapat dipungkiri adanya gesekan berbagai perbedaan... more
Penetapan Pancasila sebagai idiologi negara/cara pandang Bangsa Indonesia merupakan kompromi yang paling rasional dan secara historis mampu menjadi alat pemersatu bangsa. Meskipun tidak dapat dipungkiri adanya gesekan berbagai perbedaan ikatan primordial. Dan masih ditemukan pandangan berdasarkan status/kelas serta prinsip patriarkhi.

Penerimaan kebenaran nilai-nilai luhur Pancasila sehingga Pancasila dijadikan sumber dari segala sumber hukum merupakan sebagai paradigma dalam pelaksanaan pembangunan nasional berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, pertahanan dan keamanan dalam praktiknya masih perlu terus-terusan diuji

Ideologi Pancasila berperan sebagai prinsip dasar motivasi bagi kepentingan nasional dan kemaslahatan seluruh masyarakat termasuk dalam pembangunan hukum pluralis di Aceh, yang diperoleh karena Keistimewaan Aceh dalamkonteks penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan UU nomor 44 Tahun 1999 dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Key Words : Peradilan Adat, Akses Keadilan, Perempuan
RINGKASAN Setiap orang dilarang mengedarkan pangan yang mengandung racun, berbahaya, dapat merugikan, membahayakan kesehatan atau jiwa manusia. Hal ini bertentangan dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 33... more
RINGKASAN
Setiap orang dilarang mengedarkan pangan yang mengandung racun, berbahaya, dapat merugikan, membahayakan kesehatan atau jiwa manusia. Hal ini bertentangan dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No.  33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Undang-undang Pangan No. 18 Tahun 2012 tentang pangan dan berbagai produk aturan pelaksana lainnya yang menjamin dan mencegah keamanan pangan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) diatur oleh UU Nomor 20 Tahun 2008 dan aalam konteks otonomi daerah Pemerintah Aceh, dunia usaha, dan masyarakat perlu menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan serta daya saing UMKM menghadapi persaingan bebas MEA, sehingga pelaku UMKM mampu bersaing tidak hanya di antara sesama pelaku usaha lokal tradisonal, tetapi juga dengan pelaku usaha besar nasional serta pengusaha asing yang menerapkan model usaha waralaba. Provinsi Aceh memiliki keistimewaan penyelenggaraan pemeritahan berdasarkan syariat Islam. Selain hukum hukum negara,  berlaku juga hukum Islam, hukum adat dan Ulama merupakan elemen penting dalam menetapkan kebijakan daerah. Dalam keterkaitan makanan dan minuman diterbitkan Qanun No. 8 Tahun 2016 Tentang Sistem Jaminan Produk Halal. Harapan lainnya, Aceh ingin menjadi Provinsi andalan destinasi Wisata Islami yang menjamin kehalalan setiap produk dan usaha perdagangan di wilayah Aceh. Dalam praktiknya, ditemukan berbagai pelanggaran peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas, dilakukan oleh pelaku UMKM bidang pangan di wilayah sampel yaitu Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Tengah, Kota Lhokseumawe dan Kota Banda Aceh.
Target penelitian pertama, bertujuan menganalisis dan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan produksi makanan dan minuman yang dipasarkan oleh pelaku UMKM di Aceh, belum memenuhi dan melindungi konsumennya sesuai dengan norma hukum positif di Indonesia. Kedua, menemukan dan merumuskan bentuk kebijakan konkret yang diterapkan oleh Pemerintah Aceh melindungi pelaku usaha makanan dan minuman UMKM dikaitkan dengan perlindungan konsumen. Ketiga, Menemukan dan memberikan rekomendasi model rekonstruksi politik hukum dan penerapan asas perlindungan pelaku usaha makanan dan minuman lingkup UMKM, yang mandiri dan berdaya saing dalam pluralisme hukum di Aceh menghadapi trend global. Dua fokus target penelitian tersebut, ditujukan sebagai upaya mengahadapi ancaman dan tantangan arus globalisasi. Adapun target yang ingin dihasilkan pada fokus penelitian ketiga adalah menghadapi perdagangan era rovolusi industri 4.0, saat mana pelaku UMKM konvensional harus bersaing dengan pelaku usaha yang menggunakan digital dan online. Hasil Penelitian ini, sejalan dengan Rencana Induk Penelitian Universitas Syiah Kuala Tahap II (2018-2020), sub bidang unggulan Pembentukan Hukum di Aceh.
Jenis penelitian bersifat penelitian hukum yuridis sosiologis yang mengamati reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat dan apa yang ada di balik yang tampak dari berbagai penerapan berbagai peraturan perundang-undangan UMKM dan UU perlindungan Konsumen (behind the law) sehingga dapat direkonstruksi politik hukum UMKM di Aceh.  Pendekatan yang digunakan secara sosiologis dan kualitatif. Data primer penelitian dibangun dari fakta sosial, yang berkaitan dengan bekerjanya berbagai peraturan perundang-undangan UMKM dan perlindungan konsumen. Teknik pengumpulan data berdasarkan observasi dan kuesioner yang diperoleh dari responden dan informan melalui teknik purposive samping. Data sekunder (library reseach) berupa penelusuran berbagai literatur, dokumentasi dan peraturan perundang-undangan yang relevan, digunakan sebagai data awal pembanding mengkaji UMKM, perlindungan konsumen, jaminan produk halal. Data yang telah dikumpulkan diolah dengan menggunakan metode deskriptif analitis selanjutnya disajikan dalam bentuk kualitatif.
Hasil penelitian ditunjukkan UMKM mengalami kesulitan mendapatkan modal, kurangnya pengetahuan, keterampilan pengembangan usaha, kurangnya inovasi produk, kesulitan dalam mendistribusikan barang, tidak ada branding produk, tidak ada program loyalitas konsumen, kurangnya pemahaman tentang undang-undang perlindungan konsumen dan jaminan halal produk. Pembukuan bisnis masih tradisional, tidak memiliki izin usaha, kurangnya pengawasan oleh pemerintah daerah, ketidakharmonisan produk peraturan merupakan hambatan bagi perlindungan konsumen di Aceh. Kebijakan konkret ditetapkan oleh Pemerintah Aceh berupa kemudahan mendapatkan izin usaha, percepatan kepemilikan sertifikat halal tidak berbayar, bisnis makanan olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga. Rekomendasi penelitian adalah untuk membentuk Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK), Lembaga Perlindungan Non-Pemerintah (LPKSM) di setiap Kabupaten/Kota, melakukan sosialisasi, pendidikan dan promosi jaminan produk halal di berbagai acara, bekerjasama dengan sektor swasta sebagai pendamping mitra yang dapat digunakan sebagai mentor untuk usaha mikro dan kecil untuk mengantisipasi revolusi industri 4.0.
Kata Kunci: Rekonstruksi Politik Hukum, Asas Perlindungan, Pelaku Usaha Makanan dan Minuman, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Aceh.
RINGKASAN Setiap orang dilarang mengedarkan pangan yang mengandung racun, berbahaya, dapat merugikan, membahayakan kesehatan atau jiwa manusia. Hal ini bertentangan dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 33... more
RINGKASAN
Setiap orang dilarang mengedarkan pangan yang mengandung racun, berbahaya, dapat merugikan, membahayakan kesehatan atau jiwa manusia. Hal ini bertentangan dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No.  33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Undang-undang Pangan No. 18 Tahun 2012 tentang pangan dan berbagai produk aturan pelaksana lainnya yang menjamin dan mencegah keamanan pangan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) diatur oleh UU Nomor 20 Tahun 2008 dan aalam konteks otonomi daerah Pemerintah Aceh, dunia usaha, dan masyarakat perlu menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan serta daya saing UMKM menghadapi persaingan bebas MEA, sehingga pelaku UMKM mampu bersaing tidak hanya di antara sesama pelaku usaha lokal tradisonal, tetapi juga dengan pelaku usaha besar nasional serta pengusaha asing yang menerapkan model usaha waralaba. Provinsi Aceh memiliki keistimewaan penyelenggaraan pemeritahan berdasarkan syariat Islam. Selain hukum hukum negara,  berlaku juga hukum Islam, hukum adat dan Ulama merupakan elemen penting dalam menetapkan kebijakan daerah. Dalam keterkaitan makanan dan minuman diterbitkan Qanun No. 8 Tahun 2016 Tentang Sistem Jaminan Produk Halal. Harapan lainnya, Aceh ingin menjadi Provinsi andalan destinasi Wisata Islami yang menjamin kehalalan setiap produk dan usaha perdagangan di wilayah Aceh. Dalam praktiknya, ditemukan berbagai pelanggaran peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas, dilakukan oleh pelaku UMKM bidang pangan di wilayah sampel yaitu Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Tengah, Kota Lhokseumawe dan Kota Banda Aceh.
Target penelitian pertama, bertujuan menganalisis dan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan produksi makanan dan minuman yang dipasarkan oleh pelaku UMKM di Aceh, belum memenuhi dan melindungi konsumennya sesuai dengan norma hukum positif di Indonesia. Kedua, menemukan dan merumuskan bentuk kebijakan konkret yang diterapkan oleh Pemerintah Aceh melindungi pelaku usaha makanan dan minuman UMKM dikaitkan dengan perlindungan konsumen. Ketiga, Menemukan dan memberikan rekomendasi model rekonstruksi politik hukum dan penerapan asas perlindungan pelaku usaha makanan dan minuman lingkup UMKM, yang mandiri dan berdaya saing dalam pluralisme hukum di Aceh menghadapi trend global. Dua fokus target penelitian tersebut, ditujukan sebagai upaya mengahadapi ancaman dan tantangan arus globalisasi. Adapun target yang ingin dihasilkan pada fokus penelitian ketiga adalah menghadapi perdagangan era rovolusi industri 4.0, saat mana pelaku UMKM konvensional harus bersaing dengan pelaku usaha yang menggunakan digital dan online. Hasil Penelitian ini, sejalan dengan Rencana Induk Penelitian Universitas Syiah Kuala Tahap II (2018-2020), sub bidang unggulan Pembentukan Hukum di Aceh.
Jenis penelitian bersifat penelitian hukum yuridis sosiologis yang mengamati reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat dan apa yang ada di balik yang tampak dari berbagai penerapan berbagai peraturan perundang-undangan UMKM dan UU perlindungan Konsumen (behind the law) sehingga dapat direkonstruksi politik hukum UMKM di Aceh.  Pendekatan yang digunakan secara sosiologis dan kualitatif. Data primer penelitian dibangun dari fakta sosial, yang berkaitan dengan bekerjanya berbagai peraturan perundang-undangan UMKM dan perlindungan konsumen. Teknik pengumpulan data berdasarkan observasi dan kuesioner yang diperoleh dari responden dan informan melalui teknik purposive samping. Data sekunder (library reseach) berupa penelusuran berbagai literatur, dokumentasi dan peraturan perundang-undangan yang relevan, digunakan sebagai data awal pembanding mengkaji UMKM, perlindungan konsumen, jaminan produk halal. Data yang telah dikumpulkan diolah dengan menggunakan metode deskriptif analitis selanjutnya disajikan dalam bentuk kualitatif.
Hasil penelitian ditunjukkan UMKM mengalami kesulitan mendapatkan modal, kurangnya pengetahuan, keterampilan pengembangan usaha, kurangnya inovasi produk, kesulitan dalam mendistribusikan barang, tidak ada branding produk, tidak ada program loyalitas konsumen, kurangnya pemahaman tentang undang-undang perlindungan konsumen dan jaminan halal produk. Pembukuan bisnis masih tradisional, tidak memiliki izin usaha, kurangnya pengawasan oleh pemerintah daerah, ketidakharmonisan produk peraturan merupakan hambatan bagi perlindungan konsumen di Aceh. Kebijakan konkret ditetapkan oleh Pemerintah Aceh berupa kemudahan mendapatkan izin usaha, percepatan kepemilikan sertifikat halal tidak berbayar, bisnis makanan olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga. Rekomendasi penelitian adalah untuk membentuk Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK), Lembaga Perlindungan Non-Pemerintah (LPKSM) di setiap Kabupaten/Kota, melakukan sosialisasi, pendidikan dan promosi jaminan produk halal di berbagai acara, bekerjasama dengan sektor swasta sebagai pendamping mitra yang dapat digunakan sebagai mentor untuk usaha mikro dan kecil untuk mengantisipasi revolusi industri 4.0.

Kata Kunci: Rekonstruksi Politik Hukum, Asas Perlindungan, Pelaku Usaha Makanan dan Minuman, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Aceh.
Kemajuan Teknologi dan Industri mmeperkuat perbedaan pola hidup masyarakat tradisional ke modern. Perlindungan Konsumen memiliki kaitan dengan globalisasi perdagangan, industri, aktifitas perekonomian suatu Negara, atau antar Negara.... more
Kemajuan Teknologi dan Industri mmeperkuat perbedaan pola hidup masyarakat tradisional ke modern. Perlindungan Konsumen memiliki kaitan dengan globalisasi perdagangan, industri,  aktifitas perekonomian suatu Negara, atau antar Negara. Hubungan Konsumen dan Pelaku usaha menjadi luas, atau kompleks bahkan rumit. Muncullah persoalan-persoalan seperti bagaimana jika Bertemunya sistem Hukum antar negara, (choice of law), Choice of Jurisdiction, Bagaimana perkembangan syarat sahnya perjanjian Pasal 1320-1337 KUH Perdata dan akibat perjanjian sebagaimana diatur dalam PAsal 1338 sampai 1341 KUH Perdata, di era revolusi industri 4.0. Munculnya masalah mengenai belum adanya UU tentang Perlindungan data Pribadi, Meluasnya penggunaan sarana penggunaan internet ---e-commerce menyebabkan model bisnis modern non-face (tidak menghadirkan pelaku bisnis secara fisik) dan non-sign (tidak memakai tanda tangan asli, melalui jejaring media sosial. E-commerce  adalah transaksi bisnis yang seriing digunakan saat ini dalam praktik bisnis, praktis tanpa kertas (paperless) dan tidak bertemu secara langsung (face to face), sehingga hadirnya Financial Technology (Fintech). Misalnya OVO, Dana, Go Pay, Link Aja. Fintech sebenarnya bersinggungan dengan pengambilalihan fungsi perbankan. Hal ini tentu saja sangat berkaitan dengan masalah-masalah konsumen. Oleh karena itu peran BPSK selaku lembaga APS konsumen di luar pengadilan harus lebih mengakomodir tantangan zaman dan perubahan signifikan transaksi bisnis melalui elektronik.
Key words: BPSK, APS, Konsumen, Revolusi Industri 4.0
The purpose of this study is to describe, illustrate the binding power of the Gampong Customary Court in resolving Customary disputes in Aceh. The other objective is to explain the decision-making mechanism by the gampong adat justice... more
The purpose of this study is to describe, illustrate the binding power of the Gampong Customary Court in resolving Customary disputes in Aceh. The other objective is to explain the decision-making mechanism by the gampong adat justice judge in resolving disputes, and to explain the role and involvement of women in the decision-making mechanism. The study is important because the traditional gampong justice is the first alternative chosen by the parties in resolving community disputes in Aceh. The authority to prosecute is not explicitly regulated in the 1945 Constitution of the Indonesian Constitution, even though the traditional judicial arrangements are found. However, as a province that has special features and specialties, the authority of the Customary Courts in this case the Gampong Customary Courts does not conflict with the provisions of the 1945 Constitution which is the highest hierarchy of statutory regulations in Indonesia. Customary Courts in Aceh including the Gampong customary courts, legislation is regulated in the special context of Aceh starting from the level of the law, the Aceh Qanun to the governor's regulations There are 18 Types of petty crimes which become the authority of the Aceh / Gampong Traditional Courts. The 18 Types of minor crimes regulate norms for resolving violations in the field of private law and public law. This is because the special characteristics of customary law do not explicitly separate the two fields of law.

Key words:  Gampong Customary Court, Alternative in Resolving Misdimeanor, Aceh.
One of the purposes of the law is to protect Traditional Cultural Expressions (TCE), including traditional songs and dances since they are created with the sacrifice of energy, time and even expense. Traditional songs and dances, entered... more
One of the purposes of the law is to protect Traditional Cultural Expressions (TCE), including traditional songs and dances since they are created with the sacrifice of energy, time and even expense. Traditional songs and dances, entered into the copyright regime, are regulated by Law No. 28 of 2014 concerning Copyright (Copyright Act). The linkage of copyright with the cultural works under the concept of traditional knowledge, on the other hand, have been against international protection instrument intangible cultural heritage that it requires a comprehensive assessment. However, in practice, the Aceh Government has not optimally developed the promotion of traditional songs and dances which are expressions of its people even though TCE can be Aceh's superior potential in developing the economic sector, the cultural industry which is the nation's wealth and identity. Besides, the copyright of traditional Acehnese songs and dances are property rights that can be transferred through inheritance. In practice, many heirs have not understood and have not obtained the economic right to commercial use of traditional Acehnese songs and dances as regulated in Article 16 paragraph (2) of the Copyright Act. The culture of communal society differs from the philosophy of the concept of Intellectual Property Rights which is exclusively monopolistic and the weak implementation of copyright law enforcement is an issue that should receive the attention of the government, especially in Aceh to preserve the Aceh TCE. The writing aims to explain the efforts legal protection of traditional Acehnese songs and dances and explain the implementation of the inheritance of traditional Acehnese songs and dances based on the Indonesian legal system. This type of research is normative juridical by using secondary data as primary data. It examines legal norms as research objects. The approach used is a conceptual approach and comparative legal approach. The data were collected deductively by concluding a general problem towards the concrete problems faced. Data were obtained from the libraries which are then analyzed using qualitative analysis methods, which provide an overview of the problems that exist with normative juridical research.
ABSTRACT The Special Province of Aceh government has legal pluralism in its administrations. In its governance system, Islamic law and customary law are also applied besides the state law. Ulama (Islam Scholars) also have important roles... more
ABSTRACT
The Special Province of Aceh government has legal pluralism in its administrations. In its governance system, Islamic law and customary law are also applied besides the state law. Ulama (Islam Scholars) also have important roles in determining regional policies. Actually, against Islamic law, the process of food and beverage trade by micro and small business actors still uses hazardous and prohibited materials such as formaldehyde, borax and Rhodamine B. This study aims to analyze and to explain the application of protection and legal certainty of food consumers and beverages marketed by Micro, Small and Medium Enterprises (MSMEs) associated with the halal product guarantee concept. It also explains the concrete policies adopted by the Government of Aceh as a competitive consumer protection standard. This type of research is sociological juridical, which observes reactions and interactions when the norm system relating to consumer protection and the guarantee of halal products works in the community. The approach was used sociologically and qualitatively. Primary research data was gathered from social facts processed by using descriptive analysis methods and was presented in a qualitative form. The research results show factors of the lack of consumer’s protection, namely: business actors’ difficulties in obtaining capital, knowledge, and skills, lack of product innovation, difficulties in distributing goods, no product-branding, no consumer-loyalty program, lack of understanding of the rules of consumer protection and halal product guarantees, the traditional accounting records, not having business license, lack of local government supervision and the disharmonized between laws and regulations. Concrete policies stipulated by the Government of Aceh are the ease of business licensing procedures and acceleration of ownership of non-paid halal certificates, especially for processed food business actors produced by home industry. Thus it is recommended to establish a Dispute Settlement Agency (BPSK), Non-Governmental Protection Institutions (LPKSM) in each regency/city; to conduct socialization, education as well as promotion of halal product guarantees in various events; to collaborate with the private sector as an assisting partner that can be used as a mentor for micro and small business actor in anticipating the industrial revolution 4.0.

Keywords: Application of the Protection and Legal Certainty Principle, Consumer Protection, Micro and Small Businesses, Halal Product Guarantee in Aceh.
Abstract The legal relationship between doctors and patients as consumers is bound by therapeutic agreements that provide professional medical services. Likewise, the rights of consumers of beauty clinic patients before starting action,... more
Abstract
The legal relationship between doctors and patients as consumers is bound by therapeutic agreements that provide professional medical services. Likewise, the rights of consumers of beauty clinic patients before starting action, consumers are required to know the treatment procedures performed by doctors, including risks arising from methods of beauty care, and other alternatives that consumers can take in selected beauty treatments. however in practice when losses arise due to errors and negligence of beauty clinic doctors, consumers are often in a weak position due to difficulties in getting access to information so that consumer rights are not optimally protected. The purpose of this paper explains the legal basis for the use of Informed Consent in therapeutic agreements by doctors of beauty clinics related to the right to information of patients as consumers, explaining things that cause therapeutic agreements have not been optimal in protecting consumer rights.This type of research is normative legal research, which places the law as a norm system, in the form of laws and regulations, through a legal approach and analysis approach. The main data from this study is library research sourced from primary, secondary and tertiary legal materials. Scientific writing is analyzed qualitatively descriptive.
Key words: Informed Consent, Therapeutic Agreement, Beauty Clinic, Consumer Protection.

Abstrak
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien selaku konsumennya diikat dalam perjanjian terapeutik yang memberikan pelayanan medis secara profesional. Begitupun dengan hak konsumen pasien klinik kecantikan sebelum memulai suatu tindakan konsumen wajib mengetahui prosedur perawatan yang dilakukan oleh dokter, termasuk risiko-risiko yang muncul akibat metode perawatan kecantikan, dan alternatif-alternatif lain yang dapat ditempuh konsumen dalam perawatan kecantikan yang dipilihnya. Persetujuan setelah mendapatkan informasi selengkapnya ini disebut informed consent. Namun Dalam praktiknya ketika muncul kerugian dari kesalahan dan kelalaian dokter klinik kecantikan, konsumen sering berada pada posisi yang lemah karena sulitnya mendapatkan akses informasi sehingga hak konsumen belum optimal dilindungi. Tujuan penulisan ini menjelaskan dasar hukum penggunaan Informed Consent dalam perjanjian terapeutik oleh dokter klinik kecantikan dikaitkan dengan hak atas informasi pasien selaku konsumennya, menjelaskan hal-hal yang menyebabkan perjanjian terapeutik belum optimal melindungi hak konsumennya. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu meletakkan hukum sebagai bangunan sistem norma  berupa asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan melalui pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis. Data utama penelitian adalah penelitian kepustakaan yang bersumber dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Tulisan selanjutnya disajikan dalam bentuk deskriptif analisis kualitatif.
Kata kunci : Informed Consent, Perjanjian Terapeutik, Klinik Kecantikan, Perlindungan Konsumen.
IImplementation of the kaffah Islamic Shariah in Aceh as a special privilege and a recognized and respected as stipulated by Article 18 B (1) 1945. It obliges the Government of Aceh to supervise the circulation and trade of halal food... more
IImplementation of the kaffah Islamic Shariah in Aceh as a special privilege and a recognized and respected as stipulated by Article 18 B (1) 1945. It obliges the Government of Aceh to supervise the circulation and trade of halal food products and guaranteed hygiene sanitation when traded and reached consumers. However, in practice, Banda Aceh City Government has not been maximally carried out the supervision of food businesses with standardized halal guarantee in hygiene sanitation and following applicable laws and regulations. Whereas since 2016, the city of Banda Aceh has been used as a halal tourism destination. The purposes of the study are to explain the implementation of the arrangement and supervision of the obligations of entrepreneurs in providing halal food product guarantees in Banda Aceh and to explain the constraints of food businesses in implementing hygiene sanitation related to food production and processing associated with the implementation of Islamic Sharia. This research is normative juridical, focusing on examining the application of positive law. Normative juridical research, in the 21st century, can and must utilize the results of empirical research studies. However, its status as an auxiliary science (hulp wetenschap), which is intended for the analysis and explanation of law without changing the character of law as a normative science. The main research data is called secondary data from the research library, with a conceptual approach. Secondary data collection techniques (primary, secondary and tertiary legal material) are done by deductive-qualitative thinking that produces descriptive data, which provides an overview of the facts in practice. Conclusions are drawn from the general nature of being concrete, answering the problem of the obligations of business operators to guarantee halal food products and the application of hygiene sanitation in Banda Aceh, as well as recommendations on these problems.
Keywords:  Obligations of Entrepreneurs, Halal Food, Hygiene Sanitation, Banda Aceh.
Settlement of customary disputes by customary courts in Aceh is regulated in Law Number 11 of 2006 concerning the Government of Aceh and various other regulations under the law. But the role and involvement and authority of women in... more
Settlement of customary disputes by customary courts in Aceh is regulated in Law Number 11 of 2006 concerning the Government of Aceh and various other regulations under the law. But the role and involvement and authority of women in solving problems that occur in society through customary justice is not optimal in terms of access, roles and control. The reality is that the role of women in the customary law system is still in a subordinated, marginalized position, bound to patriarchal culture, even though legal development has equal access dimensions in the rights and obligations between women and men which are regulated in the basic constitution of the 1945 Constitution. These objectives are to explain, what is the role of customary justice in Aceh, how access, role and control of women in legal development in Aceh, the extent to which adat court decisions are obeyed and have benefits in communities in Aceh Province. This writing uses a type of normative juridical research, The approach used through historical approaches, and conceptual approaches. The specification of descriptive analytical research is then analyzed based on qualitative juridical, and presented in the form of description. Women must be legal subjects who have the same rights and obligations that are actively involved in resolving disputes in adat courts. This effort is important because it facilitates the communication process, is very helpful and necessary especially for women as victims. Community compliance with judicial decisions is due to the influence of authority, position, social status, religion of customary judges.


Key words: Access control and involvement of Women, Dispute Settlement, the Customary Court, Aceh
Tujuan penelitian ini menjelaskan dasar hukum penggunaan informed consent dalam perjanjian terapeutik oleh dokter yang bekerja di klinik kecantikan dikaitkan dengan hak atas informasi pasien selaku konsumennya, menjelaskan apakah yang... more
Tujuan penelitian ini menjelaskan dasar hukum penggunaan informed consent dalam perjanjian terapeutik oleh dokter yang bekerja di klinik kecantikan dikaitkan dengan hak atas informasi pasien selaku konsumennya, menjelaskan apakah yang menyebabkan perjanjian terapeutik belum optimal melindungi hak konsumennya,  menjelaskan penguatan model perjanjian terapeutik dalam konsep perjanjian baku berkeadilan sebagai upaya perlindungan konsumen kecantikan. Dalam sistem hukum Indonesia, hubungan hukum antara dokter dengan pasien selaku konsumennya diikat dalam perjanjian terapeutik yang memberikan pelayanan medis secara profesional, didahului oleh adanya persetujuan tindakan dokter terhadap pasien yaitu Informed Consent. Dasar hukum perjanjian tersebut terdapat dalam Pasal 1233, 1234, 1313, Pasal 1320-1337, Pasal 1338-1341 KUH Perdata, Pasal 1601 KUH Perdata tentang perjanjian melakukan jasa tertentu yang diatur oleh ketentuan khusus dengan syarat yang diperjanjikan. Aturan lainnya yang mengatur hal tersebut adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik. Dalam praktiknya ketika muncul kerugian dari kesalahan dan kelalaian dokter klinik kecantikan, konsumen sering berada pada posisi yang lemah karena sulitnya mendapatkan akses informasi sehingga hak konsumen belum optimal dilindungi.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yang meletakkan hukum sebagai bangunan sistem norma berupa asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan melalui pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis. Data utama penelitian adalah penelitian kepustakaan yang bersumber dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Penelitian ini menggunakan ilmu empiris sebagai ilmu bantu (hulp wetenschap) yang tidk mengubah hakikat ilmu hukum sebagai ilmu normatif.Tulisan selanjutnya disajikan dalam bentuk deskriptif analisis kualitatif.

Kata kunci :  Informed Consent, Perjanjian Terapeutik, Klinik Kecantikan, Akses Informasi Konsumen.
SRI WALNY RAHAYU The purpose of this paper is to look for, explain the model of protection and development of Traditional Cultural Expressions (EBT) in the era of the industrial revolution 4.0, explain the authority and role of the Aceh... more
SRI WALNY RAHAYU

The purpose of this paper is to look for, explain the model of protection and development of Traditional Cultural Expressions (EBT) in the era of the industrial revolution 4.0, explain the authority and role of the Aceh regional government, preserve and promote EBT and explain the obstacles and challenges in preserving Aceh's EBT in the national context and global. The reason for writing is that customary life is one of the characteristics of Aceh Province which is regulated by law. Traditional Aceh ceremonies such as peusijuek, samadiyah, meugang, tulak bala, peutron aneuk, khanduri blang, khanduri laot, are EBT's hereditary part of Acehnese society which are inherited and protected by Law No. 28 of 2014 concerning Copyright. In practice, the rules regarding EBT in Indonesia are inadequate in the face of advances in information technology in the industrial revolution era 4.0. Various critical points such as changes in mindset and values that live and develop in Acehnese society have ups and downs. The structure and legal system that must be capable and professional, acceptable and competitive in the future, as well as the roles, strategies that must be developed and owned by the Province of Aceh as a Special Region and special autonomy in protecting EBT at national and international levels, becomes an urgent problem must be prepared at this time. This paper uses a type of sociological juridical research, which observes the reactions and interactions that occur when the norm system works in the community, and what lies behind the actual implementation of various laws and regulations relating to EBT protection in Aceh, so that the Model of EBT protection can be found. in the face of the industrial revolution 4.0. This approach is used sociologically and qualitatively. The data that has been collected is processed using descriptive analysis methods then presented in a qualitative form.
Kemajuan Teknologi dan Induatri memperkuat perbedaan pola hidup amsyarakat tradisional dengan modern. Masyarakat modern memproduksi barang secara masal (mass consumer consuption). Perlindungan konsumen memiliki kaitan dengan globalisasi... more
Kemajuan Teknologi dan Induatri memperkuat perbedaan pola hidup amsyarakat tradisional dengan modern. Masyarakat modern memproduksi barang secara masal (mass consumer consuption). Perlindungan konsumen memiliki kaitan dengan globalisasi perdagangan, industri, aktifitas suatu negara, atau antar negara. Kondisi yang terjadi saat ini adalah konsumen masih rentan secara ekonomi dan sosial. UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen belum optimal dilakukan sosialisasi dan edukasi. Elemen penting mengambil peran dalam perlindungn dan penegakan hak-hak konsumen khususnya di Aceh, antara lain oleh pihak-pihak antara lain Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) BBPOM, MPU LPPOM/MUI, Dinskes, Dinas Perindag dan Industri atau Dinas Koperasi, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), OJK, BPSK dan Perguruan Tinggi. Adanya aturan-aturan yang melindungi konsumen harus disertai Standar Etika  bagi pelaku usaha yang mengatur jaminan keamanan dan keselamatan serta kehalalan produk yang diproduksi pelaku usaha. hal lainnya makanan selain berfungsi sebagai sumber energi, zat pembangun dan zat pengatur, berperan dalam penyebaran penyakit. Oleh karena itu dibutuhkan Sanitasi bagi konsumen.
Prinsip dasar sanitasi makanan sangat diperlukan agar konsumen dapat dilindungi kesehatannya dari bahaya kontaminasi makanan dan organisme penyakit menular. Untuk memperoleh makanan dan minuman yang memenuhi syarat kesehatan, maka perlu diadakan pengawasan terhadap higiene dan sanitasi pengolahan utamanya adalah usaha diperuntukkan untuk umum seperti restoran, rumah makan, ataupun pedagang kaki lima mengingat bahwa makanan dan minuman adalah media yang potensial dalam penyebaran penyakit
Perlindungan Kreditor dalam Perusaahan Pembiayaan Konsumen menerapkan menerapkan prinsip umum dalam perkreditan yaitu, 4P (personality, Purpose, prospect, 5C (collateral, capacity, character, capital, condition of economy). Secara umum... more
Perlindungan Kreditor dalam Perusaahan Pembiayaan Konsumen menerapkan
menerapkan prinsip umum dalam perkreditan yaitu, 4P (personality, Purpose, prospect,
5C (collateral, capacity, character, capital, condition of economy). Secara umum prinsip ini sering disebut sebagai prinsip kehati-hatian (prudential principle). Prinsip tersebut
selanjutnya personality, Perusahaan  PK  harus mencari data secara lengkap mengenai kepribadian calon konsumen (CV, terkena black list/bad debitor). hal tersebut merupakan
Purpose, Perusahaan PK yang harus mencari data, tujuan penggunaan barang oleh calon konsumen/Debitor. Mekanisme lainnya adalah Payment, Perusahaan PK harus mengetahui dengan jelas mengenai kemampuan dari calon debitor untuk melunasi hutangnya dalam jumlah dan jangka waktu yang telah ditentukan.

SEBI No. 15/40/DKMP tanggal 23 September 2013, mengatur syarat uang muka ?DP Kendraan Bermotor melalui bank minimal 25 % utk roda dua. 30 % utk roda 3 atau lebih untuk tujuan non produktif. Syarat uang muka 20 % utk roda 3 atau lebih untuk keperluan produktif.

Kementerian Keuangan mengeluarkan peraturan melarang perushaan pembiayaan (PK dll) untuk menarik secara paksa kenderaan dari nasabah yang menunggak kredit. (Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.010/2012 tentang pendaftaran fidusia bagi perusahaan pembiayaan. Perusahaan pembiayaan dikeluarkan tangal 7 Oktober 2012.
UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia mengatur definisi Fidusia adalah
suatu proses mengalihkan hak milik atas suatu benda dengan dasar kepercayaan dimana benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut, masih dalam penguasaan pihak yang mengalihkan. Pada Fidusia, pendaftaran merupakan kewajiban dalam perjanjian kredit Pembiayaan Konsumen berdasarkan Pasal 11 UU Jaminan Fidusia tahun UU No., 42 Tahun 1999. Pihak PK wajib membuat setiap transaksi kredit dengan akta notaris terhadap perjanjian fidusia dan harus didaftarkan. Perjanjian fidusia melindungi aset konsumen. Pihak perusahaan PK tidak dapat menarik kenderaan yang tidak mampu melakukan pembayaran, namun harus melaporkan ke pengadilan.  Pengadilan mengeluarkan surat keputusan penyitaan kenderaan, untuk dilelang melunasi pembayaran utang ke perusahaan PK, sisanya diberikan kepada debitor.
This study aims to explain the extent to which laws and regulations guarantee that halal products have provided comfort, security, safety and certainty in the availability of halal food and beverage products for the people in Aceh,... more
This study aims to explain the extent to which laws and regulations guarantee that halal products have provided comfort, security, safety and certainty in the availability of halal food and beverage products for the people in Aceh, explained the authority of the Institute for Food, Drug and Cosmetic Studies and the Aceh Ulama Consultative Assembly (LPPOM-MPU) to carry out Halal Product certification in accordance with Sharia guidelines that support the development of Islamic tourism, explaining the obstacles and challenges for law enforcement that guarantee halal products in Aceh. Scientific studies are very important to write because, Aceh is a special province that applies Islamic law, has the potential to become one of the leading Islamic tourist destinations in Indonesia, even in the world. The development of Islamic tourism must have tourism services that provide, among other things, standardized food and beverages and halal certification, not only from food and beverage raw materials, but there must be halal guarantees of equipment and processing based on Islamic law. Halal food and beverage products must be free from prohibited elements, for example containing elements of pigs, worms, materials from human organs, blood, animal waste, food and beverage materials from slaughtered animals that are not based on Islamic sharia. The critical point of halal food processing products is in slaughterhouses, coffee shops, restaurants, hotels, bakery and cake and local beverage factories, traditional salt-making, and making vinegar from water nira. In terms of legal norms, Indonesia has Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection, Law Number 33 of 2014 concerning Guaranteed Halal Products, and Aceh has Qanun Number 8 of 2016 concerning Halal Product Guarantee System, giving authority to LPPOM- MPU to conduct halal certification products according to sharia guidelines. The type of research used in this paper is normative juridical, focusing on secondary data as the main data, which comes from primary, secondary, and tertiary legal materials. The object of this study examines legal norms, rules or rules that contain values through a legislative approach and analysis approach. Subsequent writing is presented in the form of descriptive qualitative analysis.
Key words: Halal Label Certification, LPPOM MPU, Islamic Tourism, Aceh.
This study aims to explain the extent to which laws and regulations guarantee that halal products have provided comfort, security, safety and certainty in the availability of halal food and beverage products for the people in Aceh,... more
This study aims to explain the extent to which laws and regulations guarantee that halal products have provided comfort, security, safety and certainty in the availability of halal food and beverage products for the people in Aceh, explained the authority of the Institute for Food, Drug and Cosmetic Studies and the Aceh Ulama Consultative Assembly (LPPOM-MPU) to carry out Halal Product certification in accordance with Sharia guidelines that support the development of Islamic tourism, explaining the obstacles and challenges for law enforcement that guarantee halal products in Aceh. Scientific studies are very important to write because, Aceh is a special province that applies Islamic law, has the potential to become one of the leading Islamic tourist destinations in Indonesia, even in the world. The development of Islamic tourism must have tourism services that provide, among other things, standardized food and beverages and halal certification, not only from food and beverage raw materials, but there must be halal guarantees of equipment and processing based on Islamic law. Halal food and beverage products must be free from prohibited elements, for example containing elements of pigs, worms, materials from human organs, blood, animal waste, food and beverage materials from slaughtered animals that are not based on Islamic sharia. The critical point of halal food processing products is in slaughterhouses, coffee shops, restaurants, hotels, bakery and cake and local beverage factories, traditional salt-making, and making vinegar from water nira. In terms of legal norms, Indonesia has Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection, Law Number 33 of 2014 concerning Guaranteed Halal Products, and Aceh has Qanun Number 8 of 2016 concerning Halal Product Guarantee System, giving authority to LPPOM- MPU to conduct halal certification products according to sharia guidelines. The type of research used in this paper is normative juridical, focusing on secondary data as the main data, which comes from primary, secondary, and tertiary legal materials. The object of this study examines legal norms, rules or rules that contain values through a legislative approach and analysis approach. Subsequent writing is presented in the form of descriptive qualitative analysis.

Key words: Halal Label Certification, LPPOM MPU, Islamic Tourism, Aceh.
Provinsi Aceh melegal-formalkan hasil produksi kearifan lokal ke dalam peraturan perundang-undangan. Model pengakuan dan penerimaan putusan peradilan adat di Aceh diatur secara institusionalisasi dan non- institusionalisasi. Putusan yang... more
Provinsi Aceh melegal-formalkan hasil produksi kearifan lokal ke dalam peraturan perundang-undangan. Model pengakuan dan penerimaan putusan peradilan adat di Aceh diatur secara institusionalisasi dan non- institusionalisasi. Putusan yang berasal dari institusionalisasi melalui proses pengakuan atau legislasi berupa Qanun-qanun Aceh dan Qanun Kabupaten/Kota. Proses pengakuan institutionalisi lainnya dalam bentuk keputusan ketua pengadilan, kesepakatan antara lembaga adat dengan aparat penegak hukum, adanya peraturan bersama antar lembaga eksekutif dan yudikatif. Formalisasi mempengaruhi perubahan nilai dan tatacara peradilan adat di Aceh yang mengikuti standar-standar peradilan formal, seperti asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), persamaan di handapan hukum (equality before the law). Tindakan institusionalisasi merupakan cara yang tidak tergantung kepada ada tidaknya pengakuan dari negara terhadap keberadaan peradilan adat. Pendekatan non-instusi lebih mengutamakan kesadaran masyarakat, untuk memilih peradilan adat bagi mereka dalam menyelesaikan sengketa dibandingkan dengan pengadilan negara. Kewenangan Peradilan adat di Aceh mengadili 18 jenis tindak pidana ringan (petty crime). Selanjutya kekuatan mengikat peradilan adat dipatuhi dan ditaati, karena, hakim peradilan adat memiliki otoritas tradisonal dan otoritas legal menyatu dalam produksi hukum di Aceh mulai dari UU, Qanun dan peraturan di bawahnya. Otoritas kharismatik kepemimpinan peradilan adat sebagai alternatif penyelesaian sengketa masih menebal dalam konteks pluralisme hukum di Aceh.
Traditional Acehnese songs which are part of the copyright regime are one part of the expression of traditional Acehnese culture, wealth and national identity. The promotion of Acehnese culture through traditional songs requires a... more
Traditional Acehnese songs which are part of the copyright regime are one part of the expression of traditional Acehnese culture, wealth and national identity. The promotion of Acehnese culture through traditional songs requires a strategic step through protection, development, utilization, and coaching to realize an Acehnese society that is politically sovereign, economically independent, and has a personality in culture. Other things Traditional Aceh songs are property rights that can be transferred through inheritance. In practice the heirs of Acehnese songs creators do not understand and obtain economic rights from the commercial use of Acehnese songs as stipulated in Article 16  paragraph (2) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. The communal society's culture is different from the philosophy of the concept of intellectual property rights that is exclusively monopoly and the weak implementation of copyright law enforcement is an issue that must be gotten the attention of the government, especially in Aceh to preserve the traditional Acehnese culture which is the expression of its people. The purpose of writing is to explain the legal protection of traditional Acehnese songs which are expressions of Acehnese cultural identity, explain the protection to the heirs of the creators of Aceh songs through inheritance according to the 2014 UUHC, the Civil Code and Islamic  Law and explain what constitutes obstacles to the transfer of rights economic creator of traditional  Acehnese songs through inheritance. This type of research uses secondary data as the main data, or so-called normative juridical research that tests legal norms as the object of research. The approach used is the conceptual approach and comparative legal approach.
Keywords : Expressions of Traditional Culture, Acehnese Songs and Legal Protection
Traditional Acehnese songs which are part of the copyright regime are one part of the expression of traditional Acehnese culture, wealth and national identity. The promotion of Acehnese culture through traditional songs requires a... more
Traditional Acehnese songs which are part of the copyright regime are one part of the expression of traditional Acehnese culture, wealth and national identity. The promotion of Acehnese culture through traditional songs requires a strategic step through protection, development, utilization, and coaching to realize an Acehnese society that is politically sovereign, economically independent, and has a personality in culture. Other things Traditional Aceh songs are property rights that can be transferred through inheritance. In practice the heirs of Acehnese songs creators do not understand and obtain economic rights from the commercial use of Acehnese songs as stipulated in Article 16 paragraph (2) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. The communal society's culture is different from the philosophy of the concept of intellectual property rights that is exclusively monopoly and the weak implementation of copyright law enforcement is an issue that must be gotten the attention of the government, especially in Aceh to preserve the traditional Acehnese culture which is the expression of its people. The purpose of writing is to explain the legal protection of traditional Acehnese songs which are expressions of Acehnese cultural identity, explain the protection to the heirs of the creators of Aceh songs through inheritance according to the 2014 UUHC, the Civil Code and Islamic Law and explain what constitutes obstacles to the transfer of rights economic creator of traditional Acehnese songs through inheritance. This type of research uses secondary data as the main data, or so-called normative juridical research that tests legal norms as the object of research. The approach used is the conceptual approach and comparative legal approach. ABSTRAK Lagu-lagu Tradisional Aceh merupakan bagian rezim hak cipta dan salah satu bagian Ekspresi Budaya tradisional (EBT) masyarakat Aceh, kekayaan dan identitas bangsa. Pemajuan lagu-lagu tradisonal kebudayaan Aceh, diperlukan langkah strategis melalui perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan untuk mewujudkan masyarakat Aceh yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam Kebudayaan. Hal lainnya lagu-lagu Tradisional Aceh merupakan hak milik yang dapat beralih melalui warisan. Dalam praktiknya ahli waris pencipta lagu-lagu Aceh tidak memahami dan belum mendapatkan hak ekonominya sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC 2014). Budaya masyarakat komunal berbeda pandang dengan filosofi konsep hak kekayaan Intelektual, bersifat ekslusif monopoli dan lemahnya implementasi penegakan hukum hak cipta merupakan persoalan yang harus mendapat perhatian pemerintah di Aceh untuk melestarikan budaya tradisonal Aceh. Tujuan penulisan untuk menjelaskan perlindungan hukum terhadap lagu tradisional Aceh yang merupakan EBT Aceh, menjelaskan perlindungan kepada ahli waris pencipta lagu Aceh melalui warisan menurut UUHC 2014, KUHPerdata dan Hukum Islam dan menjelaskan apa yang menjadi kendala pengalihan pencipta hak ekonomi lagu-lagu tradisional Aceh melalui warisan. Jenis penelitian ini menggunakan data sekunder sebagai data utama, atau yang disebut penelitian yuridis normatif yang menguji norma hukum sebagai objek penelitian. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual dan pendekatan hukum komparatif.
Abstrak Model penyelesaian sengketa bisnis berbasis peradilan adat laut, telah lama ada pada masyarakat Aceh yang dipimpin oleh lembaga Panglima Laôt sebagai lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Pemilihan penyelesaian sengketa... more
Abstrak Model penyelesaian sengketa bisnis berbasis peradilan adat laut, telah lama ada pada masyarakat Aceh yang dipimpin oleh lembaga Panglima Laôt sebagai lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Pemilihan penyelesaian sengketa oleh Panglima Laôt dilakukan para pihak, turun-temurun, bersumberkan hukum adat laut yang berisi rangkaian filsafat hidup berupa, ukuran nilai baik atau buruk, diterima sukarela atau tanpa sengaja membentuk pola penyelesaian sengketa, disusun dan dibangun dari nilai, kaidah, dan norma yang disepakati, diyakini kebenarannya sehingga dijadikan standar bersenyawa melekat tidak dapat dipisahkan dari sistem masyarakatnya. Penyelesaian berbasis peradilan adat laut di Indonesia, terdapat juga di Maluku Tengah, disebut Hukum Sasi Laut, awig-awig di Nusa Tenggara Barat merupakan pranata sistem eksploitasi sumber daya wilayah laut. Penyelesaian berbasis peradilan adat laut menciptakan situasi sosial ekonomi berkeadilan, tidak menggunakan kekerasan dengan nilai-nilai pengakuan peran masyarakat pada proses pengambilan keputusan, demokrasi dan pluralisme. Diskursus model peradilan adat laut apakah mampu bertahan, adaptif dengan perkembangan global atau tergerus oleh proses individualisasi yang mempengaruhi pola pikir masyarakatnya sehingga berpengaruh pada model penyelesaian alternatif yang dipilih ingin dikaji dalam tulisan ini berkaitan dengan pembaharuan penormaan prinsip penyelesaian sengketa berbasis pengakuan peran dalam pluralisme hukum. Tujuan penulisan ingin mengetahui dan menjelaskan kekuatan adaptif, kedudukan peradilan adat laut sebagai model alternatif penyelesaian sengketa bisnis berbasis pengakuan peran masyarakat dalam sistem pluralisme hukum di Aceh dan komparasinya di Indonesia. Tipologi penelitian bersifat yuridis normatif menggunakan bahan hukum primer, sekunder, tersier, melalui pendekatan
Research Interests:
Sudut Pandang Dalam Penulisan Ini Beranjak Dari Fakta-fakta Sosial Yang Terjadi Di Provinsi Aceh, Peran Perempuan Masih Berada Posisi Tersubordinasi, Termarginalisasi, Terikat Dengan Budaya Patriarkhis, Meskipun Pembangunan Hukum Telah... more
Sudut Pandang Dalam Penulisan Ini Beranjak Dari Fakta-fakta Sosial Yang Terjadi Di Provinsi Aceh,
Peran Perempuan Masih Berada Posisi Tersubordinasi, Termarginalisasi, Terikat Dengan Budaya Patriarkhis, Meskipun  Pembangunan Hukum Telah Memiliki Dimensi Akses Setara Dalam Hak Dan Kewajiban Antara Perempuan Dengan Laki Yang Diatur Dalam Konstitusi Dasar UUD 1945 Serta Peraturan Perundang-undang Konteks Ke-aceh-an.
Penyelesaian Sengketa Adat Oleh Peradilan Adat Di Aceh Diatur Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Serta Berbagai Peraturan Lainnya Di Bawah Undang-undang.
Namun Peran Dan Keterlibatan Dan Kewenangan Perempuan Dalam Menyelesaikan Persoalan Yang Terjadi Dalam Masyarakat Melalui Peradilan Adat, Belum Optimal Dari Segi Akses, Peran Dan Kontrolnya.
Research Interests:
Settlement of customary disputes by customary courts in Aceh is regulated in Law Number 11 of 2006 concerning the Government of Aceh and various other regulations under the law. But the role and involvement and authority of women in... more
Settlement of customary disputes by customary courts in Aceh is regulated in Law
Number 11 of 2006 concerning the Government of Aceh and various other regulations
under the law. But the role and involvement and authority of women in solving problems
that occur in society through customary justice is not optimal in terms of access, roles and control. The reality is that the role of women in the customary law system is still in a
subordinated, marginalized position, bound to patriarchal culture, even though legal
development has equal access dimensions in the rights and obligations between women
and men which are regulated in the basic constitution of the 1945 Constitution. These
objectives are to explain, what is the role of customary justice in Aceh, how access, role
and control of women in legal development in Aceh, the extent to which adat court
decisions are obeyed and have benefits in communities in Aceh Province. This writing
uses a type of normative juridical research, The approach used through historical
approaches, and conceptual approaches. The specification of descriptive analytical
research is then analyzed based on qualitative juridical, and presented in the form of
description. Women must be legal subjects who have the same rights and obligations that are actively involved in resolving disputes in adat courts. This effort is important because it facilitates the communication process, is very helpful and necessary especially for women as victims. Community compliance with judicial decisions is due to the influence of authority, position, social status, religion of customary judges.

Key words: Access control and involvement of Women, Aceh, Customary Court,
Dispute Settlement.
Tingginya tingkat pelanggaran Ekspresi Budaya Tradisional-EBT (folklore) karena keberadaan negara-negara berkembang termasuk Indonesia semakin terdesak oleh negara maju, sehingga Indonesia tidak memiliki daya tawar dalam perdagangan... more
Tingginya tingkat pelanggaran Ekspresi Budaya Tradisional-EBT (folklore) karena keberadaan negara-negara berkembang termasuk Indonesia semakin terdesak oleh negara maju, sehingga Indonesia tidak memiliki daya tawar dalam perdagangan bebas. Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat besar dengan negara maju, diantaranya adalah ketergantungan teknologi dan permodalan. Kondisi ini memprihatinkan, karena karya EBT lambat laun menjadi hilang. Oleh karena itu timbulah suatu permasalahan yang fundamental, bagaimana seharusnya perlindungan yang tepat bagi EBT dan peran Pemda Aceh melindungi EBT (folklore) ?
Abstrak Model penyelesaian sengketa bisnis berbasis peradilan adat laut, telah lama ada pada masyarakat Aceh yang dipimpin oleh lembaga Panglima Laôt sebagai lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Pemilihan penyelesaian sengketa... more
Abstrak Model penyelesaian sengketa bisnis berbasis peradilan adat laut, telah lama ada pada masyarakat Aceh yang dipimpin oleh lembaga Panglima Laôt sebagai lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Pemilihan penyelesaian sengketa oleh Panglima Laôt dilakukan para pihak, turun-temurun, bersumberkan hukum adat laut yang berisi rangkaian filsafat hidup berupa, ukuran nilai baik atau buruk, diterima sukarela atau tanpa sengaja membentuk pola penyelesaian sengketa, disusun dan dibangun dari nilai, kaidah, dan norma yang disepakati, diyakini kebenarannya sehingga dijadikan standar bersenyawa melekat tidak dapat dipisahkan dari sistem masyarakatnya. Penyelesaian berbasis peradilan adat laut di Indonesia, terdapat juga di Maluku Tengah, disebut Hukum Sasi Laut, awig-awig di Nusa Tenggara Barat merupakan pranata sistem eksploitasi sumber daya wilayah laut. Penyelesaian berbasis peradilan adat laut menciptakan situasi sosial ekonomi berkeadilan, tidak menggunakan kekerasan dengan nilai-nilai pengakuan peran masyarakat pada proses pengambilan keputusan, demokrasi dan pluralisme. Diskursus model peradilan adat laut apakah mampu bertahan, adaptif dengan perkembangan global atau tergerus oleh proses individualisasi yang mempengaruhi pola pikir masyarakatnya sehingga berpengaruh pada model penyelesaian alternatif yang dipilih ingin dikaji dalam tulisan ini berkaitan dengan pembaharuan penormaan prinsip penyelesaian sengketa berbasis pengakuan peran dalam pluralisme hukum. Tujuan penulisan ingin mengetahui dan menjelaskan kekuatan adaptif, kedudukan peradilan adat laut sebagai model alternatif penyelesaian sengketa bisnis berbasis pengakuan peran masyarakat dalam sistem pluralisme hukum di Aceh dan komparasinya di Indonesia. Tipologi penelitian bersifat yuridis normatif menggunakan bahan hukum primer, sekunder, tersier, melalui pendekatan penelitian sejarah, konseptual, perbandingan hukum. Selanjutnya disajikan dalam bentuk deskriptif analisis. Kata Kunci : Model Alternatif Penyelesaian Sengketa, Peradilan Adat Laut di Aceh, Perbandingannya di Indonesia
Research Interests:
Abstract The purpose of this paper is to examine how to maximize the potential of custom which is full of local wisdom as one of prevention strategy of child trafficking in Indonesia. This is because Indonesia's geographical location and... more
Abstract

The purpose of this paper is to examine how to maximize the potential of custom which is full of local wisdom as one of prevention strategy of child trafficking in Indonesia. This is because Indonesia's geographical location and other factors such as poverty, weak individual and family vulnerability, an expensive education system, and a multicultural culture that weakens the position of women and children make women and children the target of trafficking for exploitation sexually or otherwise (forced labour). Potential customs and local wisdom or local genis, in Indonesia could be used as alternative to prevent child trafficking. The type of research in this paper is the normative juridical emphasis on secondary data as the main data, through the comparative approach degan way of comparing the potential of customs and the value of local wisdom owned in several regions in Indonesia. The research specification is analytical descriptive and then analyzed based on qualitative juridical, presented in the form of description.

Key words: Customs and Local Wisdom, Prevention, Child Trafficking
Aborsi yang terjadi karena adanya kelainan-kelainan yang dialami oleh perempuan yang berkaitan dengan masalah kesehatan reproduksinya (aborsi spontan). Jenis aborsi ini dari perspektif hak asasi manusia maupun dari perspektif hukum sama... more
Aborsi yang terjadi karena adanya kelainan-kelainan yang dialami oleh perempuan yang berkaitan dengan masalah kesehatan reproduksinya (aborsi spontan). Jenis aborsi ini dari perspektif hak asasi manusia maupun dari perspektif hukum sama sekali tidak menumbulkan permasalahan. Kondisi ini artinya seorang perempuan terpaksa harus melakukan aborsi karena keputusan medis. Pengakhiran kehamilan harus dilakukan karena alasan bahwa kehamilan yang terjadi membahayakan ibunya atau alasan kondisi janin cacat (aborsi provokatus terapetikus).
Permasalahan akan muncul apabila menyangkut aborsi provokatus di mana terjadi aborsi yang dilakukan dengan sengaja.
Tulisan singkat yang ditujukan untuk kuliah umum ini bertujuan menjelaskan peran dan kedudukan peradilan adat sebagai mekanisme APS dan Otonomi Peradilan Adat Sebagai Lembaga APS yang putusannnya dipatuhi, mengikat dan diterima para pihak.
Research Interests:
Pada umumnya masyarakat termasuk anak-anak menganggap bahwa kekerasan dianggap wajar dan diperlukan sebagai bagian dari proses belajar untuk mengajarkan kedisiplinan dan kepatuhan pada anak-anak. Kekerasan terhadap anak merupakan bagian... more
Pada umumnya masyarakat termasuk anak-anak menganggap bahwa kekerasan dianggap wajar dan diperlukan sebagai bagian dari proses belajar untuk mengajarkan kedisiplinan dan kepatuhan pada anak-anak. 
Kekerasan terhadap anak merupakan bagian dari konstruksi sosial dan berkaitan dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat  dan telah membudaya. Sehingga tanpa disadari bahwa konstruksi sosial tersebut justru menumbuhsuburkan perilaku kekerasan anak.
Berdasarkan hasil tabulasi data melalui kuesioner tentang masalah perlindungan anak terhadap 350 responden anak di Aceh Besar dalam penjaringan aspirasi untuk drafting Qanun Perlindungan Anak, Plan Aceh, Desember 2006  70 % dari 350 responden anak di 7 Kabupaten di Nangroe Aceh Darussalam mengatakan bahwa mereka pernah mengalami  kekerasan di sekolah
Research Interests:
Islam establish with justice value, deliberation, equality, homogenous, tolerance and peace, contradiction and break the value of Islamic principle truly not appropriate with Islamic spirit " Rahmatan Lil Alamin " (God mercy for whole... more
Islam establish with justice value, deliberation, equality, homogenous, tolerance and peace, contradiction and break the value of Islamic principle truly not appropriate with Islamic spirit " Rahmatan Lil Alamin " (God mercy for whole nature).So far generally human right including woman right rule arranged in general human right instrument, but in reality especially about woman right not arranged on list of right that protected or not confess yet as apart of universal consensus. The consequences of it, breaking woman right continuously occur even personal, corporation or country not fully see this as apart of breaking human right. There is Convention on Elimination Discrimination Against Woman (CEDAW) that ratify by Indonesia In 1980 and the follow up of it's law Number 7/1984, that include specification about woman right in Indonesia. Real condition in Aceh after law Number 11/2006 about Aceh Government that eliminated law Number 18/2001 about special autonomy, the action to full fill woman right still avoid and not significantly participate in development woman not maximal involve in planning, implementation, monitoring, evaluation and using product of development, un justice and violence against woman still happen in domestic or public life, poverty, not optimal basic education for all, equality and gender justice (KKG) and woman empowerment, high baby mortality (AKB) how budget be apart to improve mother health, prevent from HIV-AIDS, malaria, disease. For this thing need gender study. Gender mean's way or analyze tool to understand social reality in relationship between woman and man, when got benefit equally in responsibility and social role that occur in society. This article try to explain wrong concept that occur in society, and through gender study try to find the way how woman and man can involve together and equal in NAD Province.
Research Interests:
FILSAFAT KETUHANAN BERPERSPEKTIF ISLAM SEBAGAI ALTERNATIF PENGKAJIAN PERKEMBANGAN ILMU BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setelah cukup lama mempelajari dan menggeluti ilmu Barat sekuler, maka ada 2 (dua) jenis reaksi timbul dalam alam... more
FILSAFAT KETUHANAN BERPERSPEKTIF ISLAM SEBAGAI ALTERNATIF PENGKAJIAN PERKEMBANGAN ILMU

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Setelah cukup lama mempelajari dan menggeluti ilmu Barat sekuler, maka ada 2 (dua) jenis reaksi timbul dalam alam fikir kita, yang berbeda satu sama lainnya. Pertama, akan muncul rasa nyaman sehingga merasa kagum dengan ilmu Barat sekuler tersebut. Kekaguman tersebut, karena pemaparan ilmu Barat sekuler dikembangkan berdasarkan patokan-patokan atau hukum-hukum logika yang ramping, tegas dan lugas, sehingga ilmu itu dapat berfungsi dalam menentukan tingkat kebenaran dan kesalahan. Dengan kata lain kebenaran suatu ilmu terdapat didalam proses berpikir (nalar) yang ada di dalam tubuh ilmu itu sendiri. Alasan-alasan tersebut menimbulkan kekaguman terhadap ilmu yang berasal Barat, dan mengira bahwa hanya patokan-patokan yang digunakan sebagai dasar ilmu Barat Sekuler itulah yang merupakan kebenaran yang mutlak dan sejati. Jika bertentangan dengan alasan keilmuwan tersebut merupakan suatu kekeliruan. Berdasarkan sejarahnya, perkembangan suatu ilmu, dari ilmu alamiah mengalami peningkatan dari pra-Newtonian ke Newtonian, dan
Metode Penelitian suatu ilmu tergantung konsep yang dianut suatu disiplin ilmu. Sebagai sebuah disiplin Ilmu, disiplin hukum memerlukan metode dalam pengembangan dinamikanya. Objek Ilmu Hukum adalah Hukum itu sendiri. Hukum merupakan... more
Metode Penelitian suatu ilmu tergantung konsep yang dianut suatu disiplin ilmu. Sebagai sebuah disiplin Ilmu, disiplin hukum memerlukan metode dalam pengembangan dinamikanya. Objek Ilmu Hukum adalah Hukum itu sendiri. Hukum merupakan salah satu NORMA yang sarat akan nilai. Oleh karena itu Ilmu Hukum tidak dapat digolongkan ke dalam ILMU SOSIAL. ILMU SOSIAL berkaitan dengan Kebenaran EMPIRIKAL SEMATA. Berbagai literatur paradigma/teori/ konsep perspektif ilmu hukum di Indonesia saat ini mengalami  pergeseran cara pandang, bergeser dari mazhab positivisme abad ke -19 menuju ke konsep hukum modern yang berasal dari Ajaran Hukum di Anglo Saxon Amerika Serikat di abad ke-20.
Mazhab yang dirujuk adalah Functional Jurisprudensce atau Critical Legal Studies. dengan demikian dewasa ini penelitian hukum normatif tidak hanya mengkaji norma/dogma murni semata. Kritik terhadap Mazhab Positivistik adalah, sesungguhnya temuan ilmiah tidak bersifat mutlak. Namun bersifat "mungkin benar" atau "relatif". Temuan ilmiah harus terus-menerus difalsifikasi. Prosedur metode ilmiah, mencakup tindakan pikiran, pola kerja, tata lamgkah dan cara teknis memperoleh pengetahuan baru atau mengembang pengetahuan yang telah ada sebelumnya.
Ajaran Mazhab Positivisme, pendekatan hukumnya dibatasihanya keada hukum yang tertulis saja sebagai kaidah/norma. Cara pandang seperti ini akan sulit memecahkan persoalan yang multi kompleks di era global. Oleh karena itu,  metode penelitian hukum normatif tidak hanya bersandarkan keada data hukum saja, akan tetapi dapat bahkan wajib menggunakan data non hukum jika dibutuhkan dalam analisisnya.
Setelah cukup lama mempelajari dan menggeluti ilmu Barat sekuler, maka terdapat 2 (dua) jenis reaksi timbul dalam alam fikir kita, yang berbeda satu sama lainnya. Pertama, akan muncul rasa nyaman sehingga merasa kagum dengan ilmu Barat... more
Setelah cukup lama mempelajari dan menggeluti ilmu Barat sekuler, maka terdapat 2 (dua) jenis reaksi timbul dalam alam fikir kita, yang berbeda satu sama lainnya. Pertama, akan muncul rasa nyaman  sehingga merasa kagum dengan ilmu Barat sekuler tersebut. Kekaguman tersebut, karena pemaparan ilmu Barat sekuler dikembangkan berdasarkan rujukan atau hukum-hukum logika yang ramping, tegas dan lugas, sehingga ilmu itu dapat berfungsi dalam menentukan tingkat kebenaran dan kesalahan. Dengan kata lain kebenaran suatu ilmu terdapat di dalam proses berpikir (nalar) yang ada di dalam tubuh ilmu itu sendiri. Alasan-alasan tersebut menimbulkan kekaguman terhadap ilmu yang berasal Barat, dan mengira bahwa hanya patokan-patokan yang digunakan sebagai dasar ilmu Barat Sekuler itulah yang merupakan kebenaran yang mutlak dan sejati. Jika bertentangan dengan alasan keilmuwan tersebut merupakan suatu kekeliruan.
Globalisasi perdagangan menyebabkan dunia menjadi sebuah perkampungan besar, sehingga batas-batas negara menjadi sangat kabur. Sementara itu, ekonomi global mengikuti logikanya sendiri. Dalam proses tersebut, dunia dimanfaatkan serta... more
Globalisasi perdagangan menyebabkan dunia menjadi sebuah perkampungan besar, sehingga batas-batas negara menjadi sangat  kabur. Sementara itu, ekonomi global mengikuti logikanya sendiri. Dalam proses tersebut, dunia dimanfaatkan serta terjadi intensifikasi kesadaran terhadap dunia sebagai satu kesatuan utuh. Namun demikian, proses globalisasi yang memungkinkan adanya arus informasi bebas hambatan melalui internet.  peningkatan lalu lintas arus barang dan personalia secara internasional serta keanggotaan di dalam berbagai organisasi dunia, secara potensial memunculkan persoalan-persoalan hukum yang berdampak bagi masyarakat, yang mau tidak mau harus ditangani oleh para ahli hukum. Perkembangan transaksi perdagangan secara elektronik (e- commerce) tidak terlepas dari laju pertumbuhan internet karena e- commerce berjalan melalui jaringan internet. Dalam transaksi e-commerce diciptakan transaksi bisnis yang lebih praktis tanpa kertas (paperless), penjual dan pembeli  tidak bertemu secara langsung (face to face),  e-commerce menjadi penggerak ekonomi baru dalam bidang teknologi. Selain keuntungan tersebut, aspek negatif dari pengembangan e-commerce  berkaitan dengan persoalan keamanan dalam bertransaksi.  Munculnya bentuk penyelewengan-penyelewengan yang cenderung merugikan konsumen dan menimbulkan berbagai permasalahan hukum dalam melakukan transaksi e-commerce.
Tantangan positif transaksi e-commerce memberikan manfaat bagi konsumen dengan tidak mengeluarkan banyak energi untuk memilih dan memiliki kebebasan menentukan jenis dan kualitas barang/jasa yang diinginkannya. Namun, paling tidak 3 (tiga) hal  yang harus diperhatikan terkait perlindungan konsumen melalui transaksi e-commerce,. Pertama, tanggung jawab produsen (baca: penjual/pelaku usaha) terhadap barang yang dipasarkan yaitu berdaya saing tinggi. Kedua, barang/jasa yang ditawarkan/dijual bermutu. Ketiga barang/jasa tersebut bernilai tambah atau berdaya guna tinggi.
Ketiga hal tersebut memiliki muatan tanggungjawab  hukum (product liability) yang berakibat pada sikap kehati-hatian (precoison) baik dalam menjaga kualitas produk, penggunaan bahan maupun memenuhi apa yang telah di sepakati dalam perjanjian.
dalam praktiknya,  transaksi  jual  beli e- commerce ditunjukkan dengan pelaku usaha yang tidak memberikan kewajibannya kepada konsumen dalam bertransaksi.
Salah satu ciri yang membedakan Agama Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap ilmu (sains). Al-Quran dan Al-Sunnahmengajak kaum muslim untuk mencari dan mendapatkan ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang yang... more
Salah satu ciri yang membedakan Agama Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap ilmu (sains). Al-Quran dan Al-Sunnahmengajak kaum muslim untuk mencari dan mendapatkan ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang yang berpengetahuan pada derajat yang tinggi.
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS KELAUTAN DIKAITKAN PERSEKUTUAN HUKUM ADAT LAUT LEMBAGA PANGLIMA LAÔT SEBAGAI UPAYA PENGEMBANGAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA MARINE BUSSINESS DISPUTE RESOLUTION ASSOCIATED... more
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS KELAUTAN DIKAITKAN PERSEKUTUAN HUKUM ADAT LAUT LEMBAGA PANGLIMA LAÔT SEBAGAI UPAYA PENGEMBANGAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

MARINE BUSSINESS DISPUTE RESOLUTION ASSOCIATED WITH THE INDIGENOUS COMMUNITY OF PANGLIMA LAOT AS DEVELOPMENT EFFORTS OF ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION IN THE INDONESIAN LEGAL SYSTEM

ABSTRAK
Penyelesaian sengketa di peradilan perdata menimbulkan kritik dan kelemahan sehingga dibentuk UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). UU ini bertujuan menyelesaikan sengketa bisnis cepat, murah, putusannya bersifat win-win solution. Kenyataannya, UU tersebut belum berfungsi sesuai filosofi tujuan pembentukan APS. Pengaturan APS sangat sumir hanya 3 Pasal dari 82 Pasal yang ada. 79 Pasal lainnya mengatur tentang Arbitrase. Provinsi Aceh memiliki lembaga Panglima Laôt sebagai APS bisnis kelautan sejak abad ke-16 dan bertahan sampai sekarang. Indonesia Negara kepulauan memiliki wilayah lautan dan perikanan diatur UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan namun belum mampu memberikan perlindungan terhadap pengelolaan perikanan serta tindakan penegakan hukum bagi pelanggarannya. Peradilan perikanan tidak berfungsi dengan baik sebagaimana kritik terhadap peradilan perdata. Untuk itu perlu dilakukan penelitian bagaimanakah kedudukan persekutuanhukum adat laut lembaga Panglima Laôt dalam sistem Hukum di Indonesia, bagaimanakah kekuatan hukum penyelesaian sengketa bisnis kelautan lembaga Panglima Laôt dalam rangka pengembangan sistem Hukum APS di Indonesia, Bagaimanakah perspektif Panglima Laôt sebagai bentuk pengembangan Hukum APS bisnis kelautan berdasarkan keadilan dalam Sistem Hukum di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan cara meneliti terhadap data sekunder, melalui penelitian sejarah, konseptual dan perbandingan hukum. Spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis memberikan data, fakta-fakta disertai analisis akurat penyelesaian sengketa bisnis kelautan lembaga Panglima Laôt, serta kontribusinya bagi pengembangan bentuk hukum APS di Indonesia. Teknik Pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan data lapangan melalui wawancara. Analisis data dilakukan dengan cara menarik kesimpulan berdasarkan bahan hukum sekunder dan primer dianalisis untuk mencari sistem APS yang berasal dari nilai dan konsep masyarakat asli Indonesia tanpa meninggalkan kepastian hukumnya kemudian dianalisis dengan yuridis kualitatif, disajikan berbentuk deskripsi.Kedudukan Panglima Laôt sebagai lembaga APS bisnis kelautan terdapat dalam Pasal 98ayat (1), (2) ayat (3) huruf i, ayat (4) serta Pasal 162 ayat (2) huruf e UU No. 11 Tahun 2006, Qanun-qanun Aceh dan peraturan pelaksana di bawahnya, merupakan subjek sarana pembaharuan persekutuan hukum adat laut diakui dalam sistem hukum di Indonesia. Kekuatan hukum Panglima Laôt mengikat para pihak, karena lembaganya otonom memahami adat laut dan pesisir yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Keputusannya berdasarkan aturan Hukum Adat Laut merupakan nilai yang hidup dalam masyarakatnya tidak mempermalukan salah satu pihak. Panglima Laôt sebagai lembaga APS bisnis kelautan merupakan lembaga ajudikasi non adversarial menggunakan bentuk mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli sebagaimana mekanisme APS dalam sistem hukum di Indonesia. Panglima Laôt dapat mengisi kekosongan hukum APS, mengurangi tumpukan penyelesaian kasus kelautan di pengadilan perdata khususnya pengadilan perikanan, menjadi model APS bisnis kelautan bagi provinsi lainnya dan pengembangan bentuk Hukum Alternatif Penyelesaian Sengketa bidang kelautan di Indonesia. Disarankan dibutuhkan pembuatan UU tentang Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Diperlukan dokumentasi pola penyelesaian sengketa adat bisnis kelautan melalui riset laboratoris bagi penyusunan HukumAPS di Indonesia. Keberadaan Hukum APS memerlukan sistem pendukung seperti sosialisasi, keahlian SDM, Institusionalisasi, peran hakim, pengacara, membuka kesempatan Iuas mediasisebelum ke Pengadilan. Disarankan pengaturan lembaga penyelesaian sengketa adat oleh Negara dengan pembatasan kewenangan dan pokok sengketa yang dapat diselesaikan sebagai upaya mengurangi tumpukan kasus di pengadilan perdata secara umum dan pengadilan perikanan secara khusus.

ABSTRACT
Dispute resolution on civil court led to criticism and weakness so that Act. No 30 year 1999 about Arbitration and Alternative Dispute Resolution (ADR) was formed, the purpose of this law was to conduct the business dispute resolution quickly, cheap, and win-win solutions for both parties. But the fact was, this law has not yet functional based on its philosophical formed as the purpose of it, because the ADR was so short and its only set in 3 articles out of 82 articles. Other 79 articles were only explain about arbitration. The Aceh province has Panglima Laôt institutions agency of ADR marine business since the 16th century and survived until now. Indonesian is an archipelago country that have oceans and fisheries areas where it is regulated in Act. No 45 year 2009 onFisheries, but have not been able to provide protection for fisheries management and enforcement action for violation, and judicial fishery does not function well as a critique of civil justice. For so, it is necessary to study how the position of indigenous fellowship of sea Panglima Laôt institutions in theIndonesian legal system, how is the power of law in dispute resolution marine business on this institution in order to develop ADR in Indonesia, How Panglima Laôt perspective as a form of development alternative Law marine business dispute resolution based on justice in the Indonesian legal system.This study used a normative juridical approach by examining the secondary data, through historical research, conceptual and comparative law. Specifications analytical descriptive study provided data, facts accompanied by an accurate analysis of business dispute resolution marine Panglima Laôt institutions, as well as its contribution to the development of the legal form of ADR in Indonesia. Data collection techniques through the study of literature and field data through interviews. Data analysis done by drawing conclusions based on primary and secondary legal materials analyzed for ADR system derived from the values and concepts without leaving the indigenous Indonesian legal certainty then analyzed with qualitative juridical, presented in the form description.The position of Panglima Laôt institutions as ADR agencies contained in Article 98 paragraph (1),(2) paragraph (3) letter i, paragraph (4) and Article 162 paragraph (2) letter e Law. No.11 year 2006,the Aceh Qanun and the implementing regulations under it, was the tool to renew the fellowship of the sea society in the Indonesian legal system. The power of law of Panglima Laôt institutions was legal and binding for the parties, because it is the autonomous agency of indigenous marine and coastal society, regulated by the Law on the Aceh regulation in 2006. The decision rules basedIndigenous Sea was the value of living law in a society. Panglima Laôt institutions as disputes marine business is non-adversarial adjudication using form of mediation, conciliation, or expert evaluation as a mechanism of ADR in the Indonesian legal system. Panglima Laôt can fill the legal emptiness of ADR marine business in Indonesia, reducing the backlog of cases in the fisheries courts, it can be used as a model marine business for other provinces and the development of forms of Alternative Dispute Resolution Law marine business in Indonesia. Suggested necessary legislation on Indigenous community. Required documentation of customary dispute settlement patterns of marine business through research laboratories for the preparation of the ADR law inIndonesia. ADR law requires the existence of support systems such as socialization, human resource expertise, institutionalization, the role of judges, lawyers, the opportunity is wide open to mediation before the Court. It is recommended setting the customary dispute resolution by the State with authority limits and principal disputes can be resolved in an attempt reduce the backlog of cases in the civil courts in general and the courts in particular fisheries.
Sharia certification guarantees the ummah's need for Islamic standardized health services, including food services for hospital patients. Nutrition management includes planning, organizing, implementing nutrition services, supervising... more
Sharia certification guarantees the ummah's need for Islamic standardized health services, including food services for hospital patients. Nutrition management includes planning, organizing, implementing nutrition services, supervising nutrition services, and evaluating. YARSI Hospital has received sharia certification from the National Certification Council-Majelis Ulama Indonesia, hoping to benefit hospitals and users of halal, safe and tayyib nutrition services and social transformation for the community. This research aims to analyze the impact of Sharia certification on nutrition management at YARSI Hospital, which consists of planning, organizing, implementing nutrition services, supervising nutrition services, and evaluating. Descriptive analytics followed by a different "Wilcoxon Signed Ranks Test" test with a cross-sectional approach. The sample for filling out the questionnaire was 24 respondents, and for the interview was 1 respondent. Respondents are the man...
Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman MTB (mycobacterium tuberculosis) yang selama ini diatasi dengan menggunakan antibiotik. Penggunaan antibiotik  dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan efek... more
Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman MTB (mycobacterium tuberculosis) yang selama ini diatasi dengan menggunakan antibiotik. Penggunaan antibiotik  dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan efek samping. Pemeriksaan sedimen  urine merupakan pemeriksaan yang penting untuk mengetahui adanya kelainan ginjal atau saluran kemih serta berat ringannya suatu penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran hasil pemeriksaan sedimen urine pada pasien tuberculosis. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Makassar (BKPMM) pada bulan april 2020. Jenis penelitian adalah deskriptif. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 16 sampel pasien tuberculosis, dengan menggunakan data sekunder hasil pemeriksaan pasien. Setelah dilakukan penelitian, didapatkan variasi yang representatif terhadap hasil pemeriksaan sedimen urine pasien tuberculosis dengan ditemukannya beberapa unsur sedimen dalam urine seperti unsur organik : eritr...
RINGKASAN Setiap orang dilarang mengedarkan pangan yang mengandung racun, berbahaya atau dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia. Hal ini bertentangan dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No.... more
RINGKASAN Setiap orang dilarang mengedarkan pangan yang mengandung racun, berbahaya atau dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia. Hal ini bertentangan dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Undang-undang Pangan No. 18 Tahun 2012 tentang pangan dan berbagai produk aturan pelaksana lainnya yang menjamin dan mencegah keamanan pangan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu pilar ekonomi nasional yang menjadi katup pengaman perekonomian nasional diatur oleh UU Nomor 20 Tahun 2008. Oleh karena itu Pemerintah Aceh, dunia usaha, dan masyarakat perlu menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan serta daya saing UMKM menghadapi persaingan bebas Masyarakat Ekonomi Asean, sehingga pelaku UMKM di Aceh mampu bersaing tidak hanya di antara sesama pelaku usaha lokal tradisonal namun juga dengan pelaku usaha besar nasional dan pengusaha asing yang menerapkan model usaha waralaba. Provinsi Aceh memiliki keistimewaan penyelenggaraan pemeritahan berdasarkan syariat Islam, maka selain hukum hukum negara, berlaku juga hukum Islam, hukum adat dan Ulama merupakan elemen penting dalam menetapkan kebijakan daerah. Dalam keterkaitan makanan dan minuman diterbitkan Qanun No. 8 Tahun 2016 Tentang Sistem Jaminan Produk Halal. Harapan lainnya, Aceh ingin menjadi Provinsi andalan destinasi Wisata Islami yang menjamin kehalalan setiap produk dan usaha perdagangan di wilayah Aceh. Dalam praktiknya, ditemukan berbagai pelanggaran peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas, dilakukan oleh pelaku UMKM bidang pangan di wilayah sampel yaitu Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Tengah, Kota Lhokseumawe dan Kota Banda Aceh. Target penelitian pertama, bertujuan menganalisis dan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan produksi makanan dan minuman yang dipasarkan oleh pelaku UMKM di Aceh, belum memenuhi dan melindungi konsumennya sesuai dengan norma hukum positif di Indonesia. Kedua, menemukan dan merumuskan bentuk kebijakan konkret yang diterapkan oleh Pemerintah Aceh melindungi pelaku usaha makanan dan minuman UMKM dikaitkan dengan perlindungan konsumen. Ketiga, Menemukan dan memberikan rekomendasi model rekonstruksi politik hukum dan penerapan asas perlindungan pelaku usaha makanan dan minuman lingkup UMKM, yang mandiri dan berdaya saing dalam pluralisme hukum di Aceh menghadapi trend global. Dua fokus target penelitian tersebut, ditujukan sebagai upaya mengahadapi ancaman dan tantangan arus globalisasi. Adapun target yang ingin dihasilkan pada fokus penelitian ketiga adalah menghadapi perdagangan era rovolusi industri 4.0, saat mana pelaku UMKM konvensional harus bersaing dengan pelaku usaha yang menggunakan digital dan online. Hasil Penelitian ini, sejalan dengan Rencana Induk Penelitian Universitas Syiah Kuala Tahap II (2018-2020), sub bidang unggulan Pembentukan Hukum di Aceh. Jenis penelitian bersifat penelitian hukum yuridis sosiologis yang mengamati reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat dan apa yang ada di balik yang tampak dari berbagai penerapan berbagai peraturan perundang-undangan UMKM dan UU perlindungan Konsumen (behind the law) sehingga dapat direkonstruksi politik hukum UMKM di Aceh. Pendekatan yang digunakan secara sosiologis dan kualitatif. Data primer penelitian dibangun dari fakta sosial, yang berkaitan dengan bekerjanya berbagai peraturan perundang-undangan UMKM dan perlindungan konsumen. Teknik pengumpulan data berdasarkan observasi dan kuesioner yang diperoleh dari responden dan informan melalui teknik purposive samping. Data sekunder (library reseach) berupa penelusuran berbagai literatur, dokumentasi dan peraturan perundang-undangan yang relevan, digunakan sebagai data awal pembanding mengkaji UMKM, perlindungan konsumen, jaminan produk halal. Data yang telah dikumpulkan diolah dengan menggunakan metode deskriptif analitis selanjutnya disajikan dalam bentuk kualitatif. Kata Kunci: Rekonstruksi Politik Hukum, Asas Perlindungan, Pelaku Usaha Makanan dan Minuman, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Aceh. SUMMARY Everyone is prohibited from distributing food and drinks that contain poison, is prohibited because it can endanger human health and life. These actions, contrary to Law No. 8 of 1999 concerning Consumer Protection, Law No. 33 of 2014 concerning Guaranteed Halal Products, Law No. 7 of 2014 concerning Trade, Food Law No. 18 of 2012 concerning food and various other implementing regulations that guarantee and prevent food security from biological, chemical, and other pollution that can disturb, endanger human health, do not conflict with religion, beliefs and culture of the community, so…
Copyright in Indonesia began to be regulated in the Dutch colonial era, called Austerswet 1912, which prevailed until independent Indonesia. Austerswet 1912 is repealed by Law No. 6 of 1982 on Copyright. The Copyright Law (UUHC) has... more
Copyright in Indonesia began to be regulated in the Dutch colonial era, called Austerswet 1912, which prevailed until independent Indonesia. Austerswet 1912 is repealed by Law No. 6 of 1982 on Copyright. The Copyright Law (UUHC) has repeatedly amended its norms until the last through Law Number 28 Year 2014 (UUHC Year 2014). UUHC Year 2014 revoked Law Number 19 Year 2002 regarding Copyright. Of the entire regime protected by IPR law, In principle, the arrangement equally has an exception, if the property of the individual protected by the law is intersect with the public interest, or for the benefit of education, the public interest takes precedence provided that "does not violate the reasonable interests" of the Creator. This principle is known as "Fair Use Doctrine." The UUHC of 2014 adopts it in Articles 43-51 on Copyright Restrictions, and Sections 84 -86 of the License. This means Indonesian copyright law permits a person to use or exploit a work without the author's permission, provided within reason. On the basis of such arrangements the consequences of the use, copying or alteration of copyrights for educational purposes are exempt from copyright infringement. But to what extent is this exception? For example a private school / university owner overall use of his computer device using pirated software is allowed? Or the entire collection of books in school / university is a photocopied book? This causes learners do not want to buy the original book. The restriction rules against copyright infringement in UUHC 2014 caused a dilemma. How is the size or criteria to what extent "one can use or exploit a creation without the author's permission, provided within reasonable limits". How is the limitation of the requirement condition "for the benefit of education and research and so on as regulated by Article 44 UUHC" is permitted to take part or all of the substantial matters of copyright, which are the most important, characteristic parts of the Creation as long as the source is mentioned "? This brief paper discusses the use of fair use doctrine in relation to respect for the reputation of the creator, Whether the size of exceptions based on the fair use doctrine so that its use still respects the economic rights and moral rights of the creator. Keywords : Fair Use Doctrine, The Award reputation of Creator, Indonesia
Aceh as a Province that implements Islamic Sharia is required so that every product circulating to be certified halal before being consumed by the public. The task was given to the Aceh Ulama Consultative Assembly through the Institute... more
Aceh as a Province that implements Islamic Sharia is required so that every product circulating to be certified halal before being consumed by the public. The task was given to the Aceh Ulama Consultative Assembly through the Institute for the Assessment of Food, Medicine and Cosmetics Aceh Ulama Consultative Assembly (LPPOM MPU) Aceh. In fact in 2017 the discovery of the same noodle products traded in the city of Banda Aceh and not halal certified. This study discusses to explain and analyze the causes of ineffective consumer protection by the Aceh Ulama Consultative Assembly on Samyang Noodle Product Halal Certification Certification. This research is an empirical juridical legal research using a legal sociology approach and a qualitative analysis approach using an inductive mindset. Based on the results of research that prove the obstacles-which cause less effective consumer protection by the Aceh Ulama Consultative Assembly on the certification of halal labels for Samyang noodle...
Mawardi Ismail : Cermin akademisi yang menguasai ilmu hukum seutuhnya. Pengalamannya memberikan pendapat hukum melalui makalah dan artikel di surat kabar, dan narasumber dalam berbagai pertemuan ilmiah, Posisi Mawardi Ismailsebagai... more
Mawardi Ismail : Cermin akademisi yang menguasai ilmu hukum seutuhnya. Pengalamannya memberikan pendapat hukum melalui makalah dan artikel di surat kabar, dan narasumber dalam berbagai pertemuan ilmiah, Posisi Mawardi Ismailsebagai sedikit akademisi yang pernah berpengalaman di kekuatan politik dan legislatif. Dengan Pengalaman ini, membuat Mawardi Ismail tidak hanya memeahami posisi hukum pada aras teori, melainkan juga praktek pembentukan hukum.
Article 19 paragraph (1) of the Consumer Protection Law states that business actors are responsible for providing compensation for the damage, pollution and / or consumer loss due to the consumption of goods and or services produced or... more
Article 19 paragraph (1) of the Consumer Protection Law states that business actors are responsible for providing compensation for the damage, pollution and / or consumer loss due to the consumption of goods and or services produced or traded. Even though, the government has regulated the circulation of the drug of G list (Gevaarlijk). In fact, the drug was found freely circulating in Banda Aceh City. The free circulation of the drug of G list could potentially harm the society at large. The results of the study indicate that all losses suffered by consumers as a result of the free circulation of hard drugs of G list are the responsibility of business actors both criminal and civil law.Factors that make business actors ignore their responsibility to consumers are: first, the high level of public demand for hard drug of G list at a low price. Second, the low level of knowledge, bargaining power and consumers’ finance of their rights both must be received from business actors and the ...
Settlement of cases through a mediation process is an appropriate, effective and effective way of resolving disputes and can open wider access to the Parties to obtain satisfactory and fair resolution. With the issuance of the Republic of... more
Settlement of cases through a mediation process is an appropriate, effective and effective way of resolving disputes and can open wider access to the Parties to obtain satisfactory and fair resolution. With the issuance of the Republic of Indonesia Supreme Court Regulation No. 1 of 2016 concerning Mediation Procedures in the Court it is hoped that cases can be effectively resolved through the mediation process. But in reality the implementation of mediation is still less effective in resolving cases in the Court, this is evident from the few cases that were successfully resolved by mediation at the Syar'iyah Sigli Court. Of the 289 divorce cases registered in 2016, only 1 (one) case succeeded in mediation and in 2017, divorce cases registered reached 367 cases, only 2 (two) cases were able to be resolved through mediation. So that what becomes a legal issue is what factors that influence mediation cannot be carried out effectively in divorce cases in the Syar'iyah Sigli Cour...
Tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen diatur oleh Norma Pasal 19 UUPK Tahun 1999 tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha jo Pasal 3 Permenkes Nomor 43 Tahun 2010 Tentang Hygiene Sanitasi Depot Air Minum. Namun dalam praktiknya di Kota... more
Tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen diatur oleh Norma Pasal 19 UUPK Tahun 1999 tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha jo Pasal 3 Permenkes Nomor 43 Tahun 2010 Tentang Hygiene Sanitasi Depot Air Minum. Namun dalam praktiknya di Kota Banda Aceh ditemukan pelaku usaha depot air minum isi ulang belum memenuhi tanggung jawabnya dalam menerapkan kualitas standar mutu untuk melindungi hak konsumen. Tujuan penulisan skripsi ini untuk mengetahui dan menjelaskan tanggung jawab pelaku usaha depot air minum dalam penerapan kualitas standar mutu air minum isi ulang telah dilaksanakan oleh pelaku usaha depot air minum. Bentuk kerugian konsumen akibat pelaku usaha yang tidak menerapkan kualitas standar mutu air minum isi ulang, dan upaya yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh dalam melindungi hak-hak konsumen berkaitan dengan air minum isi ulang. Penelitian ini bersifat yuridis normatif, yaitu suatu pendekatan yang menggunakan konsep legal positif dengan cara mengkaji pener...
ABSTRAK SANTI NURMAIDAR, PERLINDUNGAN HAK MORAL DAN HAK EKONOMI CIPTAAN LAGU DAN/ATAU MUSIK ASING DALAM UUHC TAHUN 2014. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (vi, 92), pp.,bibl.,app. 2016 (Dr. SRI WALNY RAHAYU, SH., M.HUM.) Pasal 2... more
ABSTRAK SANTI NURMAIDAR, PERLINDUNGAN HAK MORAL DAN HAK EKONOMI CIPTAAN LAGU DAN/ATAU MUSIK ASING DALAM UUHC TAHUN 2014. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (vi, 92), pp.,bibl.,app. 2016 (Dr. SRI WALNY RAHAYU, SH., M.HUM.) Pasal 2 huruf b dan c angka 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa Undang-Undang ini berlaku terhadap semua ciptaan dan/atau produk hak terkait dan pengguna ciptaan dan/atau produk hak terkait bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia yang untuk pertama kali dilakukan pengumuman di Indonesia dan dengan ketentuan negaranya mempunyai perjanjian bilateral dan multilateral dengan negara Republik Indonesia. Pasal 4 disebutkan bahwa hak cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi yang dilindungi dan dalam Pasal 40 ayat (1) huruf d mengatur objek perlindungan hak cipta yaitu lagu dan/atau musik, namun dalam praktiknya pelanggaran hak moral dan hak ekonomi ...
Tujuan artikel ini adalah untuk mengetahui Pelaksanaan Peredaran Obat Asing yang tidak Menggunakan Bahasa Indonesia pada Label Kemasannya di Kota Banda Aceh, tanggungjawab BPOM untuk melindungi konsumen di Kota Banda Aceh terhadap... more
Tujuan artikel ini adalah untuk mengetahui Pelaksanaan Peredaran Obat Asing yang tidak Menggunakan Bahasa Indonesia pada Label Kemasannya di Kota Banda Aceh, tanggungjawab BPOM untuk melindungi konsumen di Kota Banda Aceh terhadap peredaran obat Asing yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia pada label kemasannya, dan hambatan yang ditemukan dalam pelaksanaan  peredaran obat asing yang belum memenuhi perlindungan konsumen di Kota Banda Aceh. Untuk memperoleh data dan bahan mengenai permasalahan yang dibahas dilakukan penelitian yang bersifat yuridis normatif yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Penelitian yuridis normatif memanfaatkan hasil-hasil penelitian ilmu empiris, namun temuan ilmu empiris tersebut berstatus sebagai ilmu bantu untuk kepentingan dan analisis . Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Pelaksanaan Peredaran Obat Asing yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia pada label kemasannya di Kota Band...
According to article 1 point 1 of the Indonesian law number 21 of 2008 concerning sharia banking and everything related to sharia banks and sharia business units, including institutional activities and its ways to do activities and... more
According to article 1 point 1 of the Indonesian law number 21 of 2008 concerning sharia banking and everything related to sharia banks and sharia business units, including institutional activities and its ways to do activities and processes. The trading system (Buying-selling) in Islamic banking have several benefits, one of which is the capital provided consistently related to the real sector as the goods sold are the base for it. In addition, the agreed price remain unchanged until the terms end, one of the examples is murabaha. In the implementation of the murabaha,occasionally the customers breach the agreement with several consequences, in effect, bank applies fines for late payment of installment. The purpose of this paper is to explain the implementation of the fine in the murabaha agreement in Islamic banking in Banda Aceh. This type of research uses primary data or empirical juridical research that examines law identification (unwritten) and research on the effectiveness o...
The Special Province of Aceh government has legal pluralism in its administrations. In its governance system, Islamic law and customary law are also applied besides the state law. Ulama (Islam Scholars) also have important roles in... more
The Special Province of Aceh government has legal pluralism in its administrations. In its governance system, Islamic law and customary law are also applied besides the state law. Ulama (Islam Scholars) also have important roles in determining regional policies. Actually, against Islamic law, the process of food and beverage trade by micro and small business actors still uses hazardous and prohibited materials such as formaldehyde, borax and RhodamineB. This study aims to analyze and to explain the application of protection and legal certainty of food consumers and beverages marketed by Micro, Small and Medium Enterprises (MSMEs) associated with the halal product guarantee concept. It also explains the concrete policies adopted by the Government of Aceh as a competitive consumer protection standard. This type of research is sociological juridical, which observes reactions and interactions when the norm system relating to consumer protection and the guarantee of halal products works ...
ABSTRAK: Tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan merupakan kewajiban yang dimiliki oleh perusahaan terhadap masyarakat sekitar yang merasakan langsung dampak buruk akibat dari aktivitas usahanya. Berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang... more
ABSTRAK: Tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan merupakan kewajiban yang dimiliki oleh perusahaan terhadap masyarakat sekitar yang merasakan langsung dampak buruk akibat dari aktivitas usahanya. Berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Ditetapkannya tanggung jawab sosial dan lingkungan ke dalam bentuk pengaturan undang-undang sebagai sebuah kewajiban perusahaan, merupakan usaha pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hukum di Indonesia terhadap perkembangan ekonomi dunia dalam rangka menggugah dan meningkatkan kesadaran pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi para pelaku usaha dalam mengelola  perusahaannya dengan baik, dan cerminan dari tanggung jawab hukum yang melekat pada perusahaan dalam menciptakan hubun...
Kemajuan Teknologi dan Industri mmeperkuat perbedaan pola hidup masyarakat tradisional ke modern. Perlindungan Konsumen memiliki kaitan dengan globalisasi perdagangan, industri, aktifitas perekonomian suatu Negara, atau antar Negara.... more
Kemajuan Teknologi dan Industri mmeperkuat perbedaan pola hidup masyarakat tradisional ke modern. Perlindungan Konsumen memiliki kaitan dengan globalisasi perdagangan, industri, aktifitas perekonomian suatu Negara, atau antar Negara. Hubungan Konsumen dan Pelaku usaha menjadi luas, atau kompleks bahkan rumit. Muncullah persoalan-persoalan seperti bagaimana jika Bertemunya sistem Hukum antar negara, (choice of law), Choice of Jurisdiction, Bagaimana perkembangan syarat sahnya perjanjian Pasal 1320-1337 KUH Perdata dan akibat perjanjian sebagaimana diatur dalam PAsal 1338 sampai 1341 KUH Perdata, di era revolusi industri 4.0. Munculnya masalah mengenai belum adanya UU tentang Perlindungan data Pribadi, Meluasnya penggunaan sarana penggunaan internet ---e-commerce menyebabkan model bisnis modern non-face (tidak menghadirkan pelaku bisnis secara fisik) dan non-sign (tidak memakai tanda tangan asli, melalui jejaring media sosial. E-commerce adalah transaksi bisnis yang seriing digunakan saat ini dalam praktik bisnis, praktis tanpa kertas (paperless) dan tidak bertemu secara langsung (face to face), sehingga hadirnya Financial Technology (Fintech). Misalnya OVO, Dana, Go Pay, Link Aja. Fintech sebenarnya bersinggungan dengan pengambilalihan fungsi perbankan. Hal ini tentu saja sangat berkaitan dengan masalah-masalah konsumen. Oleh karena itu peran BPSK selaku lembaga APS konsumen di luar pengadilan harus lebih mengakomodir tantangan zaman dan perubahan signifikan transaksi bisnis melalui elektronik. Key words: BPSK, APS, Konsumen, Revolusi Industri 4.0
ABSTRAK SITI RAHMAH, IMPLEMENTASI PERSYARATAN HYGIENE SANITASI OLEH PELAKU USAHA RUMAH MAKAN DAN RESTORAN DIKAITKAN DENGAN PELAYANAN KONSUMEN DI KOTA BANDA ACEH Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (vi, 81), pp.,bibl.,app. 2016 (Dr. SRI... more
ABSTRAK SITI RAHMAH, IMPLEMENTASI PERSYARATAN HYGIENE SANITASI OLEH PELAKU USAHA RUMAH MAKAN DAN RESTORAN DIKAITKAN DENGAN PELAYANAN KONSUMEN DI KOTA BANDA ACEH Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (vi, 81), pp.,bibl.,app. 2016 (Dr. SRI WALNY RAHAYU, SH., M.HUM) Kewajiban dan tanggung jawab pelaku usaha rumah makan dan restoran dalam penerapan persyaratan hygiene sanitasi diatur oleh norma Pasal 7 jo. Pasal 19 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 5 Kepmenkes RI Nomor 1098/MENKES/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran. Namun dalam praktiknya pelaku usaha rumah makan dan restoran di Kota Banda Aceh belum memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya untuk melindungi hak konsumen. Persyaratan hygiene sanitasi yang berbentuk pelayanan dan fasilitas yang menjadi hak konsumen dalam praktiknya belum terlaksana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan penulisan skripsi ini untuk menjelaskan persyarata...
Abstra ct: The regulation of Indonesian Central Bank (known as Bank Indonesia or BI) No. 7/ 2/ Pbi/ Year 2005, Article 1 Point 15 has been applied as reference by the credit repayment in the form of offset guarantee delivered by PT. Bank... more
Abstra ct: The regulation of Indonesian Central Bank (known as Bank Indonesia or BI) No. 7/ 2/ Pbi/ Year 2005, Article 1 Point 15 has been applied as reference by the credit repayment in the form of offset guarantee delivered by PT. Bank Bukopin branch office of Banda Aceh with its credit loaner or debtor . This mentions “every collateral in any form of assets - that has been taken over and obtained by the bank - either through an auction or not from the debtor , is presumed as confiscatory item or bank’s asset ( activa )”. The bank is authorized by its debtor to entitle his/her collateral either freely or not if he/she fails to comply his/her obligation. In the practice, however, there has been no clearly stated clause which guarantees debtor’s objection to entitle freely his collateral to the bank (in this regard Bank Bukopin) and to proceed it further by the credit repayment process. This has been referred as offset guarantee . Basically, to authorize the bank the selling of  col...
Notary is the sole public official authorized to make an authentic act, The existence of a notary as an official of the act is also related to the acts related to the syariah system, especially the Islamic law. As the only Province in... more
Notary is the sole public official authorized to make an authentic act, The existence of a notary as an official of the act is also related to the acts related to the syariah system, especially the Islamic law. As the only Province in Indonesia that implements the religious life-management system based on Islamic law, Every Muslim community in Aceh must run Muamalah in accordance with the guidance of the Islamic Sharia. The existence and task of a strategic and challenging notary that Aceh should be an area that embraces Islamic Sharia, it is necessary to understand how the position of a notary as an official of the deed in the making of a sharia contract in Aceh is important in ensuring the legal certainty of the sharia contract in Aceh.
ABSTRAK INTAN SHANIA, PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA TARIAN 2016 TRADISIONAL SEBAGAI EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL BERDASARKAN UUHC TAHUN 2014 DI PROVINSI ACEH. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. (vii.74) pp.,bibl.,tabl.,app. (Dr. Sri... more
ABSTRAK INTAN SHANIA, PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA TARIAN 2016 TRADISIONAL SEBAGAI EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL BERDASARKAN UUHC TAHUN 2014 DI PROVINSI ACEH. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. (vii.74) pp.,bibl.,tabl.,app. (Dr. Sri Walny Rahayu, S.H., M.Hum.) Perlindungan hukum hak cipta tarian tradisional sebagai ekspresi budaya tradisional telah diatur di dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f Jo. Pasal 31-38 Jo. Pasal 40 ayat (1) huruf e, o, dan q UUHC Tahun 2014. Dalam praktiknya perlindungan hukum hak cipta tarian tradisional tersebut belum terlaksana secara maksimal yaitu ditemukannya pelanggaran berupa penggunaan secara komersial terhadap tarian tradisional tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta, dan belum adanya inventarisasi berupa dokumen terhadap tarian-tarian tradisional yang ada di Provinsi Aceh sehingga sulit memperoleh perlindungan untuk melakukan pendaftaran. Alasan itulah penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui d...
The purpose of this paper is to descriptively analyse the role and position of traditional justice as alternative dispute resolution in the pluralism of indigenous peoples of Aceh and also to analyse the legal pluralism in Aceh. The... more
The purpose of this paper is to descriptively analyse the role and position of traditional justice as alternative dispute resolution in the pluralism of indigenous peoples of Aceh and also to analyse the legal pluralism in Aceh. The originality of this paper is to map and perform inventorying the different ethnicities of the legal pluralism in Aceh, as well as the alternative dispute resolution in the diversity of indigenous people in Aceh. Moreover, the results show that The status and role of traditional justice as an alternative dispute resolution mechanism has not been specifically regulated in a specific law. Customary judicial practices in Aceh as a form of formal legal institutionalization are regulated by the Law of 2006 on Acehnese government, Qanun of Aceh, and Governor Regulation No. 60 of 2013. The binding strength and the reception of decision of customary justice in Aceh is respected and obeyed, because the epistemology of traditional authority and legal authority embo...
This paper aims to explain the causes of child trafficking in Indonesia and the efforts made by the Customary Institutions in preventing Child Trafficking in line with local wisdom values. This paper adopts normative juridical research by... more
This paper aims to explain the causes of child trafficking in Indonesia and the efforts made by the Customary Institutions in preventing Child Trafficking in line with local wisdom values. This paper adopts normative juridical research by using the data collected through library research on regulations for child trafficking. The approach used is the historical approach and the conceptual approach. The role of Customary Institutions in Aceh and community involvement to prevent acts of violence and child exploitation is provided in the local law. The position and function of the Aceh Customary Institutions are dominant and can be used as a model of prevention of trafficking in children. Local wisdom is traceable in society despite some of these basic values are fading due to globalization and consumerism.
Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi 20 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat 4 KUHP. aturan perbarengan tindak pidana diatur secara limitatif dalam Pasal 63-70 KUHP sehingga Pemidanaan terhadap... more
Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi 20 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat 4 KUHP. aturan perbarengan tindak pidana diatur secara limitatif dalam Pasal 63-70 KUHP sehingga Pemidanaan terhadap Abdullah Bin Zakaria dengan dalam Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Narkotika yang dilakukan secara terpisah tidak sesuai dengan ketentuan KUHP. Penelitian ini bertujuan untuk melihat Untuk mengetahui penerapan prinsip hukum perbarengan tindak pidana dalam sistem hukum pidana di Indonesia, untuk mengetahui prinsip perbarengan tindak pidana dalam pemidanaan Tindak Pidana Narkotika dan Tindak Pidana Pencucian Uang di Provinsi Aceh. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan mengkaji asas-asas hukum positif terkait perbarengan tindak pidana serta pendekatan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, dan hasil-hasil penelitian yang berwujud lapo...
Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dimana kerjasama antar Desa dilaksanakan oleh Badan Kerjasama Antar Desa... more
Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dimana kerjasama antar Desa dilaksanakan oleh Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) yang dibentuk melalui peraturan bersama antar kepala Desa melalui kesepakatan Musyawarah Antar Desa. BKAD bertanggung jawab untuk mengimplementasikan kerja sama Desa berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 38 tahun 2007 Tentang Kerjasama Desa dan di dalam Undang-Undang Desa dan BKAD tidak mengatur secara tegas tentang Perjanjian dikarenakan setiap melakukan kerjasama pihak BKAD harus membuat perjanjian untuk memikat antara pihak BKAD dengan kelompok masyarakat gampong di Pidie sebagaimana perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Tujuan penelitian untuk mengetahui imple...
Dalam rangka membangun demokrasi ekonomi, Usaha Mikro perlu diberdayakan sebagai bagian integral ekonomi rakyat yang mempunyai kedudukan, peran, dan potensi strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin seimbang,... more
Dalam rangka membangun demokrasi ekonomi, Usaha Mikro perlu diberdayakan sebagai bagian integral ekonomi rakyat yang mempunyai kedudukan, peran, dan potensi strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin seimbang, berkembang dan berkeadilan. Oleh karenanya, pembiayaan atau pemberian pinjaman dalam bentuk perjanjian kredit terhadap usaha mikro perlu diatur dengan baik. Bank BRI melalui produk kredit Kupedes melayani para pelaku Usaha Mikro dengan baik. Namun, dalam praktinya, banyak terjadi permasalahan seperti timbulnya tunggakan kredit oleh pelaku Usaha Mikro.In order to build economic democracy, Micro, they need to be empowered as an integral part of the people's economy that have position, role, and strategic potential to provide a more balanced, developed and justice. Therefore, financing or lending in the form of credit agreements to Micro need to be properly regulated. However, in practice, there are many problems such as the arising of credit attempt...
Perjanjian baku diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen (UUPK), Pasal tersebut mengatur tentang larangan pembatasan tanggung jawab di dalam perjanjian baku. Perjanjian baku adalah... more
Perjanjian baku diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen (UUPK), Pasal tersebut mengatur tentang larangan pembatasan tanggung jawab di dalam perjanjian baku. Perjanjian baku adalah perjanjian yang lahir berdasarkan Pasal 1338 Jo Pasal 1337 Jo Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Namun, dalam Perjanjian Berlangganan Jasa Telekomunikasi Seluler Telkomsel yang dibuat antara konsumen dan pihak PT Telkomsel terdapat klausula baku yang memuat pembatasan tanggung jawab di dalam Pasal 5 perjanjian tersebut, yang merupakan pelanggaran dari ketentuan Pasal 18 UUPK, yang dimanfaatkan oleh penyedia jasa untuk mengalihkan tanggung jawab dalam perjanjian. Tujuan penulisan artikel ini adalah menjelaskan perlindungan hukum bagi konsumen, dan bentuk-bentuk kerugian serta upaya hukum yang dapat ditempuh apabila mengalami kerugian dalam melakukan perjanjian dengan klausula baku yang di dalamnya terdapat pembatasan tanggung jawab. ...
The practice of Gross Split and Cost Recovery contracts for oil and gas production sharing results in inconsistency in the concept of oil and gas production sharing contract. This inconsistency will contribute to inability to reach the... more
The practice of Gross Split and Cost Recovery contracts for oil and gas production sharing results in inconsistency in the concept of oil and gas production sharing contract. This inconsistency will contribute to inability to reach the natural resource management as mandated by the fourth paragraph of the preamble of the 1945 Constitution, related to Article 33, point (3) of the 1945 Constitution, related to Article 1 and 2 of the Agrarian Law, related to Article 4 of oil and gas law, related to Article 25 in point (1) of Government Regulation No 55 of 2009. The regulations for oil and gas production sharing contract which is public and private have not been integrated into one guideline, and thus private, and public laws are often used as the guideline. Based on the comparison of the two types of oil and gas production sharing contracts, Gross Split contract might degrade the principle of ownership by the state in managing oil and gas compared to Cost Recovery contract. This disadv...
Lagu-lagu tradisional Aceh merupakan bagian rezim hak cipta dan termasuk dalam ekspresi budaya tradisional masyarakat Aceh, kekayaan dan identitas bangsa. Untuk memajukan lagu-lagu tradisonal sebagai bagian kebudayaan Aceh, diperlukan... more
Lagu-lagu tradisional Aceh merupakan bagian rezim hak cipta dan termasuk dalam ekspresi budaya tradisional masyarakat Aceh, kekayaan dan identitas bangsa. Untuk memajukan lagu-lagu tradisonal sebagai bagian kebudayaan Aceh, diperlukan langkah strategis melalui perlin-dungan, pengembangan, pemanfaatan, pembinaan untuk mewu-judkan masyarakat Aceh yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam Kebudayaan. Hal lainnya, lagu-lagu tradisional Aceh merupakan hak milik yang dapat beralih melalui warisan. Dalam praktiknya ahli waris pencipta lagu-lagu Aceh tidak memahami dan belum mendapatkan hak ekonominya  sebagai-mana diatur dalam Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Budaya masyarakat komunal berbeda pandang dengan filosofi konsep hak kekayaan Intelektual, bersifat eksklusif monopoli, dan lemahnya implementasi penegakan hukum hak cipta merupakan persoalan yang harus mendapat perhatian pemerintah di Aceh dalam melestarika...
Pasal 4 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) disebutkan tujuan OJK agar keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan mampu melindungi konsumen dan masyarakat salah satunya sektor usaha asuransi.... more
Pasal 4 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) disebutkan tujuan OJK agar keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan mampu melindungi konsumen dan masyarakat salah satunya sektor usaha asuransi. Aturan lainnya disebutkan dalam Pasal 51 dan Pasal 52 Peraturan OJK No.1/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan disebutkan dalam melindungi konsumen OJK melakukan pengawasan secara langsung maupun tidak langsung terhadap penerapan perlindungan konsumen yang dilakukan pelaku usaha secara berkala. Hal ini dilakukan agar tidak adanya kerugian yang diderita tertanggung selaku konsumen asuransi. Namun, dalam praktiknya di Provinsi Aceh ditemukan adanya pengaduan tertanggung yang mengalami kerugian akibat penolakan klaim.
AEC in Indonesia takes effect December 31, 2015. Negative impacts arise include transnational crime in the various modus operandi of the new, sophisticated cross-border inter-State, e.g human trafficking involving women and children as... more
AEC in Indonesia takes effect December 31, 2015. Negative impacts arise include transnational crime in the various modus operandi of the new, sophisticated cross-border inter-State, e.g human trafficking involving women and children as victims is a serious transnational crime, organized crime, networking, and systematic. Crime mapping, among others, government was not optimal concern to children's issues, low levels of education, unemployment, poverty, child adoption motive, culture weaken the position of women and children, lifestyle, sensitivity deterrent power of individuals, families, communities in the prevention of child trafficking. This writing method normative juridical approach namely the main data test secondary data, through a historical approach, conceptual and comparative law. Specifications analytical descriptive study then analyzed based on qualitative juridical, presented in the form description. This paper explains the active role of Indigenous institutions and...
ABSTRAK: Masyarakat modern telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih mengatasi masalah dalam hidup, tapi di sisi lain ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mampu menumbuhkan moralitas luhur masyarakatnya. Negara... more
ABSTRAK: Masyarakat modern telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih mengatasi masalah dalam hidup, tapi di sisi lain ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mampu menumbuhkan moralitas luhur masyarakatnya. Negara Indonesia memiliki filosofi "gotong royong, empati terhadap sesama, sekarang mengalami krisis moral. Nilai Kejujuran, kebenaran, keadilan, simpati dan empati kepada sesama berubah menjadi perilaku yang suka menipu, menindas, memeras, dan saling menyakiti bahkan membunuh. Mereka bekerjasama untuk kepentingan kelompoknya dan secara berkelompok melakukan penipuan, pencurian,  penindasan. Filsafat ilmu berusaha menempatkan dan mengembalikan tujuan mulia dari ilmu sehingga ilmu yang diciptakan pada masyarakat  modern, tidak menjadi bomerang membawa kehancuran umat manusia. ikatan keagamaan yang terlalu kaku dan terstruktur dapat menghambat perkembangan ilmu pengetahuan, namun  kecerdasan ilmu yang menjunjung kebebasan harus memperhatikan sistem nilai...
Progressive development in the field of science and technology, particularly in communication area, has caused sharply increase bribery, goods smuggling, illegal drug trading, corruption, illegal weapon trading, terrorism and various... more
Progressive development in the field of science and technology, particularly in communication area, has caused sharply increase bribery, goods smuggling, illegal drug trading, corruption, illegal weapon trading, terrorism and various other white collar crime, whether national or international level. Properties which obtained from such criminal, usually was being circulated prior to financial system including among of them banking system. By this way, it is expected the source of properties cannot be traced by lawyer. The effort of hiding properties that is obtained from criminal called money laundering. Nowadays, Indonesia has had Act Number 15 of the year 2002 on Money Laundering criminal, then changed by Act Number of the year 2003. This study to analyze money laundering criminal through banking in Indonesia after existing of regulation that regulate laundering criminal.
More than one decade after Law Number 11/2006 on the Government of Aceh entered into force, the adaptive ability of adat justice and acehnese adat institutions survived because of their strong legal basis in indonesian laws and... more
More than one decade after Law Number 11/2006 on the Government of Aceh entered into force, the adaptive ability of adat justice and acehnese adat institutions survived because of their strong legal basis in indonesian laws and regulations. On the other hand, the implementation of the Asean Economy Community (AEC) since December 31, 2015, imposes threats like the emergence of various forms of transnational crime that crosses national boundaries, committed by perpetrators from two or more countries with modern modus operandi. The enactment of the  AEC in Aceh poses a challenge to exploit the opportunities adat justice and adat institute to anticipate such crimes. Based on data from the Asean Plan of Action to Combat Transnational Crime (ASEAN-PACTC), There are eight (8) types of transnational organized crime, illicit drug trafficking, human trafficking, sea piracy, arms smuggling, money laundering, terrorism, international economic crime and cyber crime. This paper describes the adap...
Perlindungan asuransi merupakan antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk: memberikan penggantian kepada tertanggung atau... more
Perlindungan asuransi merupakan antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk: memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polisi karena terjadi suatu peristiwa yang tidak pasti. Tujuan penelitian ialah mekanisme perlindungan hukum data pribadi nasabah serta perjanjian asuransi yang dilakukan oleh pihak asuransi dengan nasabah PT BNI (Persero), menyebabkan PT BNI (Persero) melakukan wanprestasi kepada nasabahnya dikaitkan tanggungjawab melindungi data nasabah, dan upaya hukum yang dapat ditempuh nasabah yang merasa dirugikan perihal data pribadinya. Metode Penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Hasil penelitian ini bahwa dalam mekanisme perlindungan data telah dilaksanakan hanya saja terj...
Berbagai kebijakan telah dijalankan pemerintah untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat akan pemenuhan kewajiban perpajakanya, salah satunya melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, kebijakan ini... more
Berbagai kebijakan telah dijalankan pemerintah untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat akan pemenuhan kewajiban perpajakanya, salah satunya melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, kebijakan ini berlaku mulai 1 Juli 2016 sampai dengan 31 Maret 2017. Dengan adanya kebijakan ini pemerintah memberikan fasilitas berupa penghapusan atas utang pajak, sanksi denda atau administrasi, maupun sanksi pidana di bidang perpajakan terhadap wajib pajak yang  belum melaporkan harta sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dengan membayar sejumlah uang tebusan dengan tarif yang relatif  rendah. Kebijakan ini semestinya dapat dimanfaatkan oleh para wajib pajak agar kepatuhan wajib pajak dapat meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Namun pada kenyataannya tidak semua pembayar pajak di Aceh yang mengikuti atau memanfaatkan kebijakan tersebut. Melalui tulisan ini akan dijelaskan mengenai alasan yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan pengampunan pajak, pengaruhnya...
Merek pada dasarnya adalah tanda untuk mengidentifikasi asala barang atau jasa darisuatu perusahaan dengan barang atau jasa perusahaan lain dan salah satu faktor penunjang kesuksesan dalam pemasaran barang.Hak kepemilikan merek... more
Merek pada dasarnya adalah tanda untuk mengidentifikasi asala barang atau jasa darisuatu perusahaan dengan barang atau jasa perusahaan lain dan salah satu faktor penunjang kesuksesan dalam pemasaran barang.Hak kepemilikan merek berdasarkan peraturan perundang-undangan diperoleh melalui sistem pendaftaran yang bersifat konstitutif dengan prinsip First to File.Sehingga perolehan merek hanya bagi pihak yang pertama kali melakukan pendaftara. Namun pada kenyataanya masih banyak kasus sengketa merek yang dimenangkan oleh pihak yang tidak mendaftarkan mereknya. Pokok permasalahan yang dibahas dalam penulisan ini adalah penerapan dari sistem konstituif dengan prinsip First to File yang seharusnya telah dapat memenuhi perlindungan hukum bagi pihak merek terdaftar. Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis metode penelitian hukum yuridis – normatif yang terdiri dari pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Hasil peneli...

And 7 more

Buku ini tidak hanya memuat isu perlindungan hukum konsumen dan permasalaham Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) bidang makanan dan minuman di Indonesia, namun secara spesifik memotret bagaimana isu-isu pelangaran hak konsumen dan... more
Buku ini tidak hanya memuat isu perlindungan hukum konsumen dan permasalaham Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) bidang makanan dan minuman di Indonesia, namun secara spesifik memotret bagaimana isu-isu pelangaran hak konsumen dan bekerjanya norma hukum yang berkaitan dengan penegakan hukum konsumen serta UMKM tersebut, dikaitkan dengan dengan perilaku pelaku UMKM bidang makanan dan minuman, serta tangungjawab dan peran pemerintah daerah mengatasi masalah perlindungan konsumen di Provinsi Aceh. Buku ini ditulis oleh para pengajar Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh, yang memiliki Kompetensi dan kualifikasi keilmuan di bidang Hukum Bisnis yang sering menjadi narasumber dan melakukan penelitian di bidang hukum perlindungan konsumen. Buku ini dibagi ke dalam 5 (Lima) BAB. BAB Pertama, dengan Pendahuluan, BAB Ke-dua Tinjauan Pustaka, BAB Ke-tiga Kelemahan Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen di Bidang Makanan dan Minuman, BAB Ke-empat Tantangan dan Peluang Usaha Mikro Kecil Menengah di Bidang Makanan dan Minuman di Era Milineal Dalam Memenuhi Hak Konsumen”. Penulis Buku ini adalah Dr. Sri Walny Rahayu, S.H., M.Hum, sekaligus Ketua Tim PCP dan Editor Buku. Penulis lainnya adalah Dr. Teuku Ahmad Yani, S.H., M. Hum. Harapan penulis, buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca, karena memuat informasi, edukasi dan strategi kebijakan konkret yang dapat diterapkan oleh multi stake holder atau sebagai referensi bagi akademisi, peneliti dan masyarakat luas yang tertarik mengenai isu perlindungan konsumen, jaminan pangan halal dan UMKM. Tujuan akhir, dengan terbitnya buku ini dapat memperkaya wawasan dan pemahaman terhadap Hukum Perlindungan Konsumen di Bidang Pangan dan UMKM khususnya di Aceh.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, merupakan bagian hak asasi setiap rakyat Indonesia. Pada saat pandemi covid 19, ketersediaan pangan harus lebih memberikan pelindungan, baik bagi pihak produsen maupun masyarakat... more
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, merupakan bagian hak asasi setiap rakyat Indonesia. Pada saat pandemi covid 19, ketersediaan pangan harus lebih memberikan pelindungan, baik bagi pihak produsen maupun masyarakat dengan tetap mmeperhatikan sistem pertanian berkelanjutan, ramah lingkungan, menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal masyarakat hukum adat. Perwujudan kedaulatan pangan oleh masyarakat adat di Provinsi Aceh, dirasakan belum optimal, cenderung kurang berkontribusi. Kebijakan yang ada masih menganggap pembangunan hanya bersifat pertumbuhan produksi semata sehingga Provinsi Aceh belum cukup mampu memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri.
Tujuan umum penelitian menjelaskan potensi keberdayaan kearifan dan pengetahuan lokal masyarakat hukum adat Aceh berkaitan dengan pangan sebagai daya ungkit perwujudan kedaulatan pangan. Tujuan khusus penelitian menjelaskan, mengidentifikasikan dan merumuskan potensi, kontribusi dan intervensi strategis model keberdayaan kearifan dan pengetahuan lokal masyarakat hukum adat sebagai daya ungkit perwujudan kedaulatan pangan di Aceh, selanjutya menjelaskan, menganalisis, faktor-faktor yang menjadi penghambat dan tantangan bagi masyarakat hukum adat dalam mewujudkan kedaulatan pangan di Aceh pada masa pandemi covid -19 serta era new normal, dan menemukan bentuk model kearifan dan pengetahuan lokal masyarakat hukum adat Aceh di bidang kedaulatan pangan.
Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis sosiologis, yang mengamati reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma bekerja di dalam masyarakat serta penerapan berbagai peraturan perundang- undangan mengenai masyarakat hukum adat dan ketahanan pangan di Aceh. Pendekatan yang digunakan secara sosiologis, komparatif dan kuantitatif. Data primer penelitian dibangun dari fakta sosial, yang berkaitan dengan bekerjanya berbagai peraturan perundang-undangan. Teknik pengumpulan data berdasarkan observasi dan kuesioner yang diperoleh dari responden dan informan melalui teknik purposive samping. Data sekunder (library reseach) berupa penelusuran berbagai literatur, dokumentasi dan peraturan perundang-undangan yang relevan, digunakan sebagai data awal pembanding, mengkaji masyarakat hukum adat dan ketahanan pangan. Data yang telah dikumpulkan diolah dengan menggunakan metode deskriptif analitis selanjutnya disajikan dalam bentuk kualitatif.  Kegiatan Penelitian dilakukan pada 5 (lima) lokasi sampel yang berada pada Provinsi Aceh yaitu Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Tengah serta Kabupaten Aceh Barat Daya. Pemilihan Lokasi penelitian didasarkan keterwakilan purposive sampling antar wilayah di Provinsi Aceh, yang diambil berdasarkan indikasi geografis kawasan Barat, Selatan, Tengah dan Utara, baik berada di wilayah daratan maupun pengunungan.
Hasil penelitian diketahui tingkat pemahaman, berupa skill dan kompetensi, kondisi lingkungan strategis, anggaran bagi Dinas terkait yang memadai, sangat berpengaruh terhadap potensi, kontribusi dan intervensi strategis model kearifan dan pengetahuan lokal masyarakat hukum adat sebagai daya ungkit kedaulatan pangan di Aceh. Hal ini kurang diperhatikan oleh Kepala daerah sampel ketika level kepala dinas di bidang pangan. Belum adanya penta helik dan saling bersinergi kebijakan program kepala daerah dengan DPRK. Faktor penghambat dan tantangan, intensitas pelibatan lembaga adat MAA, Keujruen Balang dan Panglima Laot belum maksimal dalam kebijakan program bidang pangan di daerah sampel. Harga bibit yang mahal, serta kondisi tanah yang tidak cocok bagi lahan pertanian, menyebabkan masyarakat kurang berminat melakukan cocok tanam padi. Area persawahan, area tambak terjadi alih fungsi lahan ke bangunan/gedung. Wilayah sampel tidak memiliki lumbung padi yang lengkap dengan lantai jemur. Rekomendasi penelitian dibutuhkan anggaran yang rasional memadai, SDM yang memiliki skill dan komptensi di bidang Ketahanan Pangan. Pelibatan Lembaga Adat, MAA, Keujruen Blang, Panglima Laot harus instensif, kontinyu dalam program kerja di bidang pangan di daerah. Dibutuhkan anggaran pelatihan berbasis keilmuan pangan bagi lembaga adat di bidang pangan, sehingga mereka sebagai penjaga adat dan hukum adat di bidang pangan, dapat berkontribusi dengan kompetensi ilmu yang dimilikinya. Kebijakan yang dihasilkan bersumber hukum adat di daerah, dapat menjadi sesuatu hal yang harmoni, dinamis dan adaptif berlaku menghadapi berbagai tantangan zaman dan kondisi, termasuk pada masa pandemi covid 19 dan era milineal revolusi industry yang bergrak ke arah 5.0.
Kata kunci : Model Kearifan Lokal Aceh, Masyarakat Hukum Adat, Kedaulatan Pangan, Covid19