Skip to main content

    Cinta Laura

    Enny Arrow Sekitar pukul 9 malam, Budiman gelisah menatap jam dinding yang jarumnya terasa lambat berputar. Dia sosok laki-laki usia 30 an, sangat berwibawa, maskulin yang sayangnya sampai usia begini masih melajang. Dan kelihatan agak... more
    Enny Arrow Sekitar pukul 9 malam, Budiman gelisah menatap jam dinding yang jarumnya terasa lambat berputar. Dia sosok laki-laki usia 30 an, sangat berwibawa, maskulin yang sayangnya sampai usia begini masih melajang. Dan kelihatan agak susah mendapatkan wanita. Tak banyak orang tahu, Budiman sebenarnya juga menyukai waria. Pada dasarnya ia tak peduli jenis kelamin, asalkan ia bisa bercinta. Mungkin pemuda yang berwajah imut pun ia tak keberatan. Teman-teman Budiman sering sekali mempertanya kan keberadaannya yang sendirian. Atau apabila ada yang berkunjung ke rumahnya, akan ada saja komentar ruang ini akan lebih hidup kalau ada sentuhan wanitanya'. Budiman sekarang hidup sendiri, dengan rumah yang dibelinya sendiri yang berdiri nyentrik beruansa gothic, di kawasan sepi di pinggiran kota. Anak-anak sekitar simpang, agak segan melihatnya. Walau Budiman kadang kala-kalau tidak sibuk, mau juga main gitar atau main kartu dengan Rizal, Ahmad, Simas dll yang merupakan tetangga-tetangganya. Dan kadang-kadang, pemuda-pemuda tanggung itu, malah asyik ngobrol dengan Budiman di terasa rumahnya yang memang nyaman. Kalau sudah begini, Yenny lah yang repot menyiap kan minuman dan makanan bagi mereka. Yenny adalah pem bantu rumah tangga yang kerja dari pagi hingga jam 8 malam di rumah Budiman. Belum tua, namun juga sudah tak muda. Suaminya tinggal tak jauh dari rumah Budiman, dananaknya kebanyakan diurus oleh papanya. Yenny yang betugas membersihkan rumah, memasak dan mengurus rumah serta pekarangannya untuk Budiman. Walau pada hari libur, Budiman juga sering berkebun. Dia suka menanam segala jenis tumbuhan eksotik seperti bonsai, adenium atau anggrek. Koleksi teratainya juga banyak di halaman belakang. Dengan kondisi seperti itu, wajar kalau orang-orang mempertanyakan kelajangannya. Budiman tampan, perawakannya tinggi besar, dengan wajah seimbang dan rambut hitam pekat. Tatapan mata tajam dengan rahang yang terkesan keras, apalagi Budiman agak cenderung membiarkan bulu-bulu wajahnya tercukur hanya sebahagian. Kesannya, dia bagai seorang yang sangat berwibawa yang pasti dapat dengan mudah menaklukkan wanita manapun. Benarkah? Sekarang dia melirik arloginya sendiri. Dandanannya sudah rapi, wangi dalam balutan kemeja lengan pendek kotak kotak biru, dengan bawahan jeans biru belel yang melekat padat di kaki besarnya. Jelas dia gelisah. Tak lama, Budiman bergerak ke garasi dan dengan wajar mengeluarkan mobil dari tempatnya. Sampai di jalan, dia turun berbalik untuk mengunci pintu rumah dan pagar. Yenny sudah lama pulang. Jadi, rumahnya sekarang kosong. Tak lama dia sudah mengendarai mobilnya menuju suatu tempat. Dia menuju sisi kota yang lain, agak ke arah Bukit. Komplek Perumahan Setia Budi. Komplek yang dihuni kelompok masyarakat menengah ke atas. Kompleks ini tampak lenggang pada saat seperti ini. Lampu-lampu jalan klasik tampak menghiasi
    Enny Arrow TAMAN RIA Remaja Senayan. Air membentang seluas mata memandang. Perahu-perahu hilir mudik dengan berbagai bentuk. Kebanyakan berkepala bebek. Penumpang-penumpangnya bermacam-macam. Ada keluarga. Terdiri Bapak, Ibu dan... more
    Enny Arrow TAMAN RIA Remaja Senayan. Air membentang seluas mata memandang. Perahu-perahu hilir mudik dengan berbagai bentuk. Kebanyakan berkepala bebek. Penumpang-penumpangnya bermacam-macam. Ada keluarga. Terdiri Bapak, Ibu dan anak-anaknya. Atau pasangan-pasangan yang sedang berpacaran. Wajah-wajah mereka menunjukkan kegembiraan. Ada yang senyum, tertawa cerah. Atau bercanda ria. Memang demikianlah halnya kebanyakan pengunjung-pengunjung Taman Ria ini. Kebanyakan menampakkan wajah gembira. Ceria. Namun di antaranya, ada seorang yang tidak menampakkan wajah gembira. Benny ! Dia duduk di atas rerumputan pebukitan yang memanjang. Matanya memandang ke depan. Sebentar meredup, sebentar membola. Seperti ada golakan di dalam hatinya. Seperti gelombang yang menderu-deru. Tiap sebentar menghela napas panjang! Langit cerah. Awan-awan putih bergumpal-gumpal di sela-sela langit biru. Benny merebahkan tubuhnya di atas rerumputan. Kedua lengannya disilangkan di bawah kepala. Lama dia memandang langit. Tetapi langit bagai tak tampak. Yang terlihat olehnya, bayangan kabut. Bergumpal-gumpal. Di antara kabut itu, bagaikan menyembul seraut wajah. Pemuda. Cantik. Dan tik. Dan Benny menarik napas panjang lagi. Seraut wajah itu tersenyum. Manisnya. Lebih manis dari pada gula atau segala yang paling manis di dunia ini. Benny memejamkan matanya. O, kesalnya dia. Tak ingin sebenarnya dia menyaksikan seraut wajah itu. Tetapi wajah itu seperti mengejarnya. Wajah Lisa. Wajah seseorang yang dicintainya. Benny membuka matanya lagi. Secara jujur, Benny, pemuda yang berusia sekitar dua puluh empat tahun itu, harus mengakui, bahwa dia sangat mencintai Lisa. Belum pernah sebelumnya, Benny mencintai seseorang, seperti besarnya kecintaannya kepada Lisa, Tetapi sekarang! Cinta yang besar itu telah berobah menjadi kebencian. Kebencian amat sangat. Benny merentak. Setengah menyentak, dia bangun dari sikap berharingnya. Berpaling ke kiri dan meludah. Dan. .. tiba-tiba mata Benny bentrok dengan mata seseorang. Seorang pemuda tapi berwajah sangat manis, sama sekali tidak ada kesan 'lelaki'. Benny membayangkan, seandainya dia berambut panjang dan sedikit memakai makeup saja, dia akan tampak cantik. Benny terperangah. Sejak kapan pemuda itu duduk di situ. Benny tidak melihatnya pada beberapa menit yang lalu. Pemuda itu, berwajah tirus dengan sepasang mata bola yang indah, dengan rambut hitam mengkilat, masih saja memandang Benny. Umurnya mungkin sekitar tiga puluh tahun, tapi dia tampak masih remaja. Sendirian! Benny menelan ludah! Uf! Mata