J. Hort. 23(2):174-183, 2013
J. Hort. Vol. 23 No. 2, 2013
Penerapan Teknologi Pengendalian Hama Terpadu pada
Tanaman Cabai Merah untuk Mitigasi Dampak Perubahan Iklim
(Implementation of Integrated Pest Management for Mitigation
of Climate Change on Chili Peppers)
Setiawati, W, Sumarni, N, Koesandriani, Y, Hasyim, A, Uhan, TS, dan Sutarya, R
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Parahu 517, Lembang, Bandung Barat 40791
E-mail : wsetiawati@yahoo.com
Naskah diterima tanggal 2 April 2013 dan disetujui untuk diterbitkan tanggal 18 Juni 2013
ABSTRAK. Penelitian dilaksanakan atas dasar adanya peningkatan serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang sangat
tinggi akibat terjadinya perubahan iklim. Penggunaan pestisida yang intensif tidak mampu menekan serangan OPT tersebut. Sampai
saat ini belum terformulasi langkah yang tepat untuk pengendalian OPT sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. Oleh sebab itu
diperlukan inovasi teknologi pengendalian OPT pada tanaman cabai merah secara terintegrasi. Penerapan teknologi PHT yang
diperbaiki merupakan solusi terbaik. Tujuan penelitian ialah menghasilkan rakitan teknologi PHT untuk mitigasi perubahan iklim
yang dapat menekan penggunaan pestisida > 50% dan mengurangi emisi CO2 > 10%. Penelitian dilaksanakan di Desa Kawali
Mukti, Ciamis, Jawa Barat dari Bulan April sampai dengan September 2012. Rancangan percobaan yang digunakan ialah acak
kelompok terdiri atas lima perlakuan (rakitan berbagai teknologi PHT dibandingkan dengan teknologi konvensional) serta lima
ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknologi PHT- 4 (penggunaan varietas Kencana yang ditanam secara monokultur,
penggunaan mulsa plastik hitam perak, pemupukan (pupuk kandang sebesar 30 t/ha dan NPK sebanyak 700 kg/ha), dan penggunaan
pestisida berdasarkan ambang kendali), dapat menekan penggunaan pestisida sebesar 73,33% dengan hasil panen tetap tinggi yaitu
sebesar 15,46 t/ha. Selain itu rakitan teknologi tersebut mampu mengurangi suhu lingkungan mikro sebesar 0,890C dan emisi CO2
dapat dikurangi sebesar 38,76%. Teknologi PHT tersebut dapat direkomendasikan sebagai teknologi untuk mitigasi perubahan iklim
(kemarau panjang) pada budidaya cabai merah.
Katakunci: Capsicum annuum; Pengendalian hama terpadu; Perubahan iklim; OPT; CO2
ABSTRACT. This research to be carried out, based on an increase pests and diseases incidence due to climate change. Incidence of
this pests and diseases were outbreak more frequent and severe compare to the last years. Consumer concern about ineffectiveness
of the control operations and environmental contamination led to a search for an environmentally friendly, effective alternative.
There was also a need to develop an integrated pest management (IPM). Integrated pest management approach can be further
elaborated and strengthened taking into consideration of climate related risks. The aim of this research was to find the new IPM
technology that were reduced of pesticide use more than 50% and CO2 more than 10%. The experiment was conducted at Kawali
Mukti Village, Ciamis, West Java from April to September 2012. Randomized completely block design was used in this experiment
with five treatments (IPM package technologies and conventional practices as a control) and five replications. Pest and diseases
incidence, yield and CO2 emission were observed. The results indicated that IPM-4 (Kencana variety on monoculture system, silver
black plastic mulch, 30.0 t/ha of manure, 700 kg/ha of NPK, and the use of pesticide based on action threshold) could reduced
use of pesticide up to 73.33% and had significantly higher marketable yield (15.46 t/ha) compared to another IPM package. These
technology also could reduced temperature and CO2 0.89oC and 38.76%, respectively. Therefore these IPM package technologies
can be recommended for mitigation climate change on chili peppers.
Keywords: Capsicum annuum; Integrated pest management; Climate change; Pests and diseases; CO2
Fenomena perubahan iklim selain berdampak
terjadinya banjir, kekeringan, dan longsor, juga secara
langsung maupun tidak langsung berdampak terhadap
terjadinya perubahan status organisme pengganggu
tumbuhan (OPT), perubahan dominasi/komposisi
jenis OPT di suatu wilayah dan perubahan daerah
penyebaran OPT. Pada tanaman cabai merah tandatanda di lapangan menunjukkan telah terjadi perubahan
tersebut, antara lain meningkatnya serangan penyakit
virus kuning, antraknos, hawar daun, layu bakteri, lalat
buah, dan ulat penggerek buah yang mengakibatkan
kehilangan hasil 25 – 100% (Setiawati et al. 2011).
174
Perubahan iklim berkaitan dengan peningkatan
kadar CO2, akibatnya konsentrasi nitrogen dalam
tanaman menurun. Hal ini dapat memicu OPT dalam
meningkatkan biomassa yang dikonsumsi yang
berarti kerusakan tanaman meningkat. Perubahan
iklim juga berpengaruh langsung pada OPT dan
musuh alaminya seperti perubahan pada penyebaran
geografis, perkembangan makin cepat, jumlah generasi
bertambah, musim untuk perkembangan menjadi lebih
panjang, dan terjadi perubahan interaksi tumbuhan
inang dan OPT (Aheer et al. 1994, Wiyono 2007, AlAmin & Siwar 2008).
Setiawati, W et al.: Penerapan Teknologi
Pengendalian Hama Terpadu ...
Menurut Yun & Ahn (2009) bahwa fotosintesis
pada tanaman cabai merah meningkat sebesar
35% pada kadar CO 2 700 ppm dan peningkatan
temperatur sebesar 5oC. Selanjutnya Shin & Yun (2010)
melaporkan bahwa pada kondisi seperti itu serangan
penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum),
Phytophthora capsici, dan Xanthomonas campestris
meningkat masing-masing sebesar 25%, namun
penyakit antraknos menurun sebesar 10%. Hasil yang
sama juga dilaporkan oleh Chakraborty et al. (2002).
Selanjutnya Pangga et al. (2004) melaporkan bahwa
lebar kanopi mempunyai korelasi positif dengan
serangan antraknos pada konsentrasi CO2 350 ppm dan
700 ppm. Populasi trips dan tungau sangat dipengaruhi
oleh temperatur, kelembaban, dan curah hujan (Khan
et al. 2008, Ashraf et al. 2011), sedang Bonaro et al.
(2007) menyatakan bahwa pada temperatur 25 – 30oC
perkembangan Bemisia tabaci menjadi lebih cepat.
Setiawati et al. (2011) melaporkan bahwa terjadinya
perubahan iklim berpengaruh terhadap resurgensi hama
Bactrocera sp. , trips, B. tabaci, dan Myzus persicae.
Hal ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan
perilaku petani dalam pengendalian OPT, khususnya
penggunaan pestisida menjadi semakin intensif.
Adiyoga (2007) melaporkan bahwa dalam satu musim
tanam, para petani menggunakan pestisida sebanyak
21 kali. Sampai saat ini belum terformulasi langkah
yang tepat untuk penanggulangannya. Oleh sebab itu
diperlukan inovasi teknologi pengendalian OPT pada
tanaman cabai merah secara terintegrasi.
Pertanian berkelanjutan merupakan pilihan yang
tepat untuk memenuhi kebutuhan keamanan pangan
dan mengatasi tantangan perubahan iklim (Badgley
et al. 2007), salah satu di antaranya ialah dengan
menerapkan teknologi pengendalian hama terpadu
(PHT). Penerapan PHT mengalami perkembangan
yang pesat, bahkan sampai pada penerapannya sebagai
teknologi terobosan untuk memecahkan berbagai
permasalahan penanganan OPT. Teknologi PHT yang
diterapkan harus disesuaikan dengan variabilitas iklim
yang meningkat dan kejadian cuaca yang lebih ekstrim
(IPPC 2007).
Menurut Pretty & Hine (2001) beberapa komponen
teknologi PHT yang dapat diterapkan sebagai mitigasi
dampak perubahan iklim antara lain yaitu (1) menjaga
sumber daya alam dengan cara pengelolaan hara dan
penggunaan bahan organik, (2) penggunaan varietas
yang tahan OPT dan tahan cekaman lingkungan, (3)
pengendalian OPT melalui pengurangan penggunaan
pestisida dengan cara meningkatkan penggunaan
musuh alami, (4) mengurangi kekeringan/banjir
dengan penggunaan mulsa dan sistem tanam polikultur,
dan penggunaan bahan organik, (5) mengurangi emisi
gas rumah kaca dengan mengurangi penggunaan pupuk
anorganik, dan (6) mengurangi suhu ekstrim dengan
cara memperbaiki jarak tanam.
Beberapa teknologi tersebut sudah dihasilkan oleh
Balitsa, namun demikian adopsi teknologi di tingkat
pengguna sangat lambat dan parsial, serta belum
dicoba dipadukan dalam rakitan teknologi yang
komprehensif.
Tujuan penelitian ialah menghasilkan rakitan
teknologi PHT untuk mitigasi dampak perubahan
iklim yang dapat menekan penggunaan pestisida >50%
dan mengurangi emisi CO2 >10%. Hipotesis yang
diajukan ialah bahwa pengurangan pupuk kandang,
pupuk buatan, dan pestisida dapat mengurangi emisi
CO2, serangan OPT, namun hasil panen tetap tinggi.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Desa Kawali Mukti,
Kecamatan Kawali, Kabupaten Daerah Tingkat
II Ciamis, Jawa Barat mulai Bulan April sampai
September 2012. Tata letak penelitian disusun
berdasarkan rancangan acak kelompok yang terdiri atas
lima perlakuan dengan lima ulangan. Macam perlakuan
disesuaikan dengan mitigasi dampak perubahan
iklim dan disajikan pada Tabel 1. Rakitan teknologi
konvensional yang diterapkan dalam penelitian ini
berdasarkan hasil wawancara dengan 10 orang petani
responden di sekitar lokasi penelitian.
Luas satuan petak percobaan yang digunakan ialah
dalam bentuk bedengan lebar 1 m dan panjang 10 m.
Setiap perlakuan terdiri atas tiga bedeng (120 tanaman/
petak). Setiap petak percobaan dikelilingi oleh dua
baris jagung sebagai pembatas. Pestisida diaplikasikan
sesuai dengan ambang kendali sebagai berikut (a)
intensitas serangan trips serta kutudaun 15%, (b)
intensitas serangan tungau 10%, dan (c) intensitas
serangan ulat grayak 12,5% dan intensitas serangan
penyakit Cercospora sp. dan Phytophthora masingmasing sebesar 5% (Moekasan & Prabaningrum 2012).
Pengamatan dilakukan terhadap 10 tanaman contoh
pada tiap perlakuan yang ditetapkan berdasarkan
acak sistematis. Pengamatan pertama dilakukan pada
umur 14 hari setelah tanam (HST) dengan interval
7 hari. Peubah yang diamati ialah (1) pertumbuhan
tanaman (tinggi dan lebar kanopi), (2) jenis, populasi,
dan intensitas serangan OPT, (3) jumlah penggunaan
pestisida, dan (4) hasil panen.
Pengamatan suhu dilakukan pada pukul 12.00
dengan interval pengamatan 7 hari. Pengamatan
CO2 dilakukan lima kali (sebelum penelitian, setelah
175
J. Hort. Vol. 23 No. 2, 2013
Tabel 1. Teknologi PHT untuk mitigasi dampak perubahan iklim (IPM technologies for mitigation of climate
change)
Dampak
perubahan
iklim (Climate
change)
Rakitan
teknologi
PHT-4 (IPM-4)
Varietas Lembang
-1. Penggunaan
mulsa organik
(jerami)
Tumpangsari
(bawang daun)
Varietas Lembang-1. Penggunaan mulsa plastik
hitam perak
Monokultur
Varietas Kencana
Penggunaan mulsa
plastik hitam perak
Monokultur
Varietas
Kencana
Penggunaan
mulsa plastik
hitam perak
Monokultur
Suhu ekstrim
Jarak tanam
50 x 60 cm
Penggunaan perangkap kuning dan
feromonoid seks
Pestisida kimia berdasarkan ambang
kendali
Penambahan bahan Penambahan bahan
organik
organik
Pembuatan embung Pembuatan embung
Penurunan
unsur hara
tanah akibat
suhu tinggi
Pengurangan
gas emisi
GRK/CO2
Penggunaan trichoderma 5 g/l
Penggunaan trichoderma 5 g/l
Jarak tanam
50 x 70 cm
Penggunaan perangkap kuning
dan feromonoid
seks
Pestisida kimia
berdasarkan ambang kendali
Penambahan bahan
organik
Pembuatan embung
-
Jarak tanam
50 x 60 cm
Penggunaan
pestisida yang
dilakukan secara
rutin
Penurunan
sumber daya
air
Jarak tanam
50 x 70 cm
Penggunaan perangkap kuning
dan feromonoid
seks
Pestisida kimia
berdasarkan ambang kendali
Penambahan bahan
organik
Pembuatan embung
-
Pengurangan pupuk
anorganik
Penambahan bahan
organik
Pupuk kandang 120
kg/plot dan Pupuk
NPK 3,9 kg/plot
Pengurangan pupuk
anorganik
Penambahan bahan
organik
Pupuk kandang 120
kg/plot dan Pupuk
NPK 3,9 kg/plot
Pupuk kandang 80
kg/plot dan Pupuk
NPK 5,4 kg/plot
Pupuk kandang 80
kg/plot dan Pupuk
NPK 5,4 kg/plot
Varietas Lembang-1. Penggunaan mulsa
organik (jerami)
Tumpangsari
(bawang daun)
Jarak tanam
50 x 60 cm
Serangan OPT Penggunaan perangkap kuning dan
feromonoid seks
Pestisida kimia berdasarkan ambang
kendali
Rakitan
teknologi
PHT-2 (IPM-2)
Teknologi
konvensional
(Conventional
technology)
Rakitan
teknologi
PHT-3 (IPM-3)
Kekeringan
Rakitan
teknologi
PHT-1 (IPM-1)
pengapuran, setelah pemupukan dasar, pada saat panen,
dan pada akhir penelitian). Alat yang digunakan untuk
pengukuran CO2 ialah IRGA type Viasalla. Rumus
yang digunakan untuk menghitung besaran flux CO2
ialah sebagai berikut :
F = p x V/A x
C/t x 273/T X α
dimana :
F
p
V
A
C/t
T
α
= CO2 flux (mg C/m2.jam)
= Berat jenis CO2 (1,96 x 10-6 mg/m3)
= Volume sungkup (m3)---- (0,0095 m3)
= Luas dasar sungkup (m2)------ (0,0398 m2)
= Perubahan konsentrasi CO2 (m3/m3.jam)
= Temperatur absolut (oK)
= Koefisien konversi (CO2 C) (12/44)--(0,2727)
Data peubah pengamatan dianalisis dengan sidik
ragam. Jika terdapat perbedaan pengaruh perlakuan
yang nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut LSD
pada taraf nilai kepercayaan 5%.
176
Penambahan
bahan organik
Pembuatan embung
Penggunaan
pupuk hayati
Pupuk kandang
100 kg/plot dan
Pupuk NPK 4,5
kg/plot
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Tanaman (Tinggi Tanaman dan
Lebar Kanopi)
Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan cabai
merah selama penelitian berlangsung disajikan
pada Tabel 2 dan 3. Dari kedua tabel tersebut dapat
dilihat bahwa terdapat perbedaan tinggi tanaman
dan lebar kanopi cabai merah pada perlakuan yang
diuji. Pada awal pertumbuhan, cabai merah varietas
Lembang-1 mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat
dibandingkan dengan pertumbuhan varietas Kencana.
Namun demikian, pada akhir pengamatan (84 HST)
pertumbuhan cabai merah pada semua perlakuan relatif
seragam. Pada pengamatan terakhir tinggi tanaman
cabai merah rerata mencapai >70 cm dan lebar kanopi
cabai merah >60 cm.
OPT yang Menyerang Tanaman Cabai Merah
Hasil pengamatan terhadap populasi OPT
dan kerusakan tanaman yang diakibatkan selama
Setiawati, W et al.: Penerapan Teknologi
Pengendalian Hama Terpadu ...
Tabel 2. Rerata tinggi tanaman cabai merah pada tiap perlakuan PHT (The average of plant height on chili
peppers at IPM treatments)
Perlakuan
(Treatments)
PHT-1 (IPM-1)
PHT-2 (IPM-2)
PHT-3 (IPM-3)
PHT-4 (IPM-4)
Konvensional (Conventional)
KK (CV), %
Tinggi tanaman pada pengamatan ke(Plant height at) HST (DAP), cm
14
28
42
17,36 a
14,80 b
16,76 ab
13,48 b
13,40 b
5,57
30,02 ab
26,90 bc
30,98 a
25,44 c
24,20 c
9,79
51,14 a
42,40 b
48,06 a
42,38 b
42,24 b
9,25
56
64,76 a
61,16 a
64,18 a
62,64 a
60,64 a
6,53
70
69,72 a
67,68 a
68,96 a
68,72 a
69,34 a
5,87
84
71,52 a
71,32 a
72,38 a
71,52 a
71,56 a
5,55
HST (DAP) = Hari setelah tanam (Days after planting)
Angka rerata yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing pengamatan tidak berbeda nyata menurut uji LSD pada taraf 5% (Mean
followed by the same letters in each observation are not significantly different according to LSD at 5%)
Tabel 3 . Rerata lebar kanopi tanaman cabai merah pada tiap perlakuan PHT (The average of canopy width
on chili peppers at IPM treatments)
Perlakuan
(Treatments)
PHT-1 (IPM-1)
PHT-2 (IPM-2)
PHT-3 (IPM-3)
PHT-4 (IPM-4)
Konvensional (Conventional)
KK (CV), %
14
13,71 a
12,04 b
13,70 a
11,62 b
11,79 b
6,20
Lebar kanopi pada pengamatan ke(Canopy width at) HST (DAP), cm
28
42
56
70
25,26 a
29,12 a
52,87 ab
59,14 a
23,96 a
25,61 b
45,50 c
53,13 b
26,04 a
27,03 ab
54,12 a
60,39 a
23,92 a
25,33 b
49,76 abc
57,98 a
25,10 a
24,40 b
51,40 bc
58,65 ab
15,90
6,81
7,54
5,92
pelaksanaan penelitian PHT disajikan pada Tabel 4
sampai dengan Tabel 7 dan Gambar 1. OPT penting
yang menyerang tanaman cabai merah antara lain
Polypagotarsonemus latus, Thrips parvispinus,
Helicoverpa armigera, Spodoptera litura, B. tabaci,
Bactrocera spp., dan penyakit yang diakibatkan oleh
Cercospora capsici. Serangan OPT tersebut berbeda
pada tiap perlakuan yang diuji. Dari tabel dan gambar
tersebut dapat dilihat bahwa penggunaan mulsa,
varietas, cara tanam, dan pemupukan berpengaruh
terhadap serangan OPT. Serangan tertinggi terjadi pada
perlakuan PHT-1 dan PHT-2 terutama untuk hama
pengisap seperti T. parvispinus dan P. latus.
Populasi kedua OPT tersebut mulai tampak sejak
pengamatan pada umur 35 HST sampai dengan
pengamatan terakhir (70 HST). Serangan P. latus sudah
mencapai ambang kendali sejak tanaman berumur
35 HST. Pada petak perlakuan PHT-1 dan PHT-2,
kerusakan tanaman akibat serangan P. latus mencapai
ambang kendali sebanyak empat kali, perlakuan PHT-3
sebanyak tiga kali, dan perlakuan PHT-4 sebanyak dua
kali, sedangkan ambang kendali untuk trips tercapai
pada umur 42-70 HST untuk perlakuan PHT-2, 49-70
HST untuk petak PHT-1, dan 70 HST untuk petak
PHT-3 dan PHT-4.
84
62,12 a
56,90 b
63,42 a
60,84 ab
63,20 ab
6,10
Sumarni (1996) melaporkan bahwa penggunaan
mulsa jerami cocok untuk pertanaman cabai pada musim
kemarau, sedangkan mulsa plastik dapat digunakan
pada musim penghujan maupun musim kemarau.
Dari Tabel 4, dapat dilihat bahwa penggunaan mulsa
jerami dapat meningkatkan serangan T. parvispinus
(9,73 ekor) dan P. latus (52,05%) dibandingkan dengan
penggunaan mulsa plastik hitam perak masing-masing
sebanyak 6,55 ekor untuk T. parvispinus dan 26,76%
untuk serangan P. latus. Hasil penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang
menyatakan mulsa jerami sangat disukai terutama oleh
T. parvispinus karena dapat digunakan sebagai tempat
peletakan telur. Phoebe et al. (2012) menyatakan
bahwa penggunaan mulsa jerami dapat meningkatkan
populasi trips. Namun demikian, bila dibandingkan
dengan tanpa mulsa, penggunaan mulsa jerami dapat
menurunkan populasi trips sebesar 54% (Larentzake
et al. 2006). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Gunaeni & Wulandari (2010) menunjukkan bahwa
populasi kutudaun lebih tinggi pada perlakuan yang
diberi mulsa jerami dibandingkan dengan mulsa plastik
hitam perak.
Mulsa plastik hitam perak dapat menurunkan
populasi trips, karena dapat memengaruhi refleksi
177
J. Hort. Vol. 23 No. 2, 2013
Tabel 4. Rerata populasi T. parvispinus pada tiap perlakuan PHT (The average of T. parvispinus populations
on IPM treatments)
Perlakuan
(Treatments)
35
0,58 ab
0,72 a
0,26 b
0,22 b
0,20 b
27,17
PHT-1 (IPM-1)
PHT-2 (IPM-2)
PHT-3 (IPM-3)
PHT-4 (IPM-4)
Konvensional (Conventional)
KK (CV), %
Rerata populasi T. parvispinus
(The average of T. parvispinus), HST (DAP), %
42
49
56
63
0,74 ab
0,86 ab
0,86 ab
0,64 ab
1,08 a
1,16 a
1,30 a
0,70 a
0,28 bc
0,20 b
0,52 bc
0,24 c
0,20 c
0,28 b
0,52 bc
0,34 c
0,44 bc
0,20 b
0,28 c
0,38 bc
24,15
28,73
29,80
25,73
70
5,62 b
5,20 b
5,34 b
4,70 b
8,36 a
21,51
Tabel 5. Kerusakan tanaman akibat serangan hama-hama pengisap daun (Plant damage due to sucking
insects)
Perlakuan
(Treatments)
PHT-1 (IPM-1)
PHT-2 (IPM-2)
PHT-3 (IPM-3)
PHT-4 (IPM-4)
Konvensional (Conventional)
KK (CV), %
35
7,55 b
12,44 a
3,33 c
4,44 c
4,89 bc
21,78
Rerata kerusakan tanaman pada pengamatan ke(The average of plant damage at ), HST (DAP), %
42
49
56
63
14,18 a
15,07 b *
15,33 a *
13,33 b
16,00 a*
20,40 a*
18,44 a*
16,00 a *
8,22 b
7,79 c
8,00 b
8,45 c
7,11 b
6,44 c
9,11 b
8,89 c
7,11 b
6,22 c
8,20 b
9,78 c
26,24
21,79
20,73
16,66
70
32,87 a *
33,33 a *
24,44b *
27,56 b*
32,44 a
9,61
* Mencapai ambang kendali (Achieve treshold control)
cahaya dan suhu (Stapleton & Summers 2002, Lamont
et al. 1990, Grovers et al. 1998, Hoddle et al. 2002).
Menurut Fahrurrozi & Srewart (1994), cahaya matahari
yang dapat dipantulkan oleh warna perak sebesar
33%. Varietas cabai merah yang digunakan juga
memengaruhi serangan kedua OPT tersebut. Varietas
Kencana tampaknya lebih toleran dibandingkan dengan
varietas Lembang-1.
Penyakit penting yang menyerang tanaman cabai
merah selama percobaan berlangsung ialah penyakit
yang diakibatkan oleh C. capsici. Serangan penyakit
tersebut mulai tampak sejak umur tanaman 49 HST.
Intensitas serangan terus meningkat sejalan dengan
bertambahnya umur tanaman. Ambang kendali pada
semua perlakuan hanya terjadi pada umur 70 HST
(Tabel 7). Dilihat dari tingkat serangan pada perlakuan
PHT-3 dan PHT-4 mempunyai tingkat serangan OPT
terendah dibandingkan dengan perlakukan lainnya.
OPT lain yang ditemukan menyerang tanaman
cabai merah ialah ulat buah (H. armigera), ulat grayak
(S. litura), dan kutukebul (B. tabaci). Serangan hama S.
litura cukup tinggi pada perlakuan PHT-1 dan PHT-2,
yang kemungkinan disebabkan oleh adanya tanaman
bawang daun yang ditanam secara tumpangsari dengan
cabai merah pada kedua perlakuan tersebut yang
memicu tingginya serangan S. litura.
Tabel 6. Kerusakan tanaman akibat serangan tungau (P. latus) (Plant damage due to broad mite (P. latus))
Perlakuan
(Treatments)
PHT-1 (IPM-1)
PHT-2 (IPM-2)
PHT-3 (IPM-3)
PHT-4 (IPM-4)
Konvensional (Conventional)
KK (CV), %
178
35
15,76 a *
16,44 a *
11,77 b *
16,66 a *
6,67 b
26,77
Rerata kerusakan tanaman pada pengamatan ke
(Plant damage due to broad mite at), HST (DAP), %
42
49
56
63
15,39 a *
10,22 b *
18,44 a *
4,67 c
4,00 c
19,51
14,36 a *
11,56 b *
4,66 c
4,89 c
4,89 c
18,49
19,49 a *
11,55 b *
15,55 ab *
15,11 b *
6,67 c
21,24
4,44 a
4,89 a
0,44 b
1,33 b
2,67 ab
26,13
70
0,00 a
0,00 a
0,00 a
0,00 a
1,11 a
19,26
Setiawati, W et al.: Penerapan Teknologi
Pengendalian Hama Terpadu ...
Tabel 7. Kerusakan tanaman cabai merah akibat serangan penyakit Cercospora capsici (Plant damage doe
to C. capsici)
Perlakuan
(Treatments)
PHT-1 (IPM-1)
PHT-2 (IPM-2)
PHT-3 (IPM-3)
PHT-4 (IPM-4)
Konvensional (Conventional)
KK (CV), %
35
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
-
Rerata kerusakan pada pengamatan ke(The average of plant damage at), HST (DAP), %
42
49
56
63
0,00
1,77 ab
3,11 a
3,33 a
0,00
2,44 a
3,78 a
2,44 ab
0,00
0,00 b
1,55 b
0,89 b
0,00
1,55 ab
2,89 ab
1,33 ab
0,00
2,67 a
4,00 a
1,11 b
17,92
16,94
20,47
70
30,33 a *
28,89 a*
22,00 b *
20,89 b*
28,89 a
15,38
perkembangan hama dan penyakit pada tanaman
cabai merah. Bergant et al. (2005) menyatakan bahwa
perkembangbiakan trips sangat dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan terutama suhu. Suhu yang optimum
berkisar 15 – 28oC. Populasi trips meningkat pada
suhu 15,6–28,2oC dan curah hujan sekitar 30,3 mm
(Waiganjo et al. 2008). Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Lorini & Junior (1990) menyatakan bahwa pada
suhu 18 dan 20oC populasi trips dapat mencapai 174,6
/tanaman. Jones & Brown et al. (1983) melaporkan
bahwa suhu optimum untuk perkembangbiakan P. latus
ialah 23,7oC, sedangkan untuk penyakit C. capsici
berkisar 20–30oC (Nsabiyera et al. 2012).
Dalam konsepsi PHT, penggunaan pestisida
dilakukan bila populasi hama atau kerusakan tanaman
sudah melampaui ambang kendali. Penerapan PHT
pada kondisi ekstrim (kemarau panjang) dapat
mengurangi penggunaan pestisida bila dibandingkan
dengan perlakuan konvensional atau yang biasa
dilakukan oleh petani. Pada perlakuan konvensional
pestisida digunakan secara terjadwal dengan
interval penyemprotan 1 minggu, sehingga jumlah
penyemprotan selama musim tanam sebanyak 15
kali. Pestisida yang digunakan antara lain profenofos,
abamektin, karbosulfan, sipermetrin, propineb,
mankozeb, dan asibenzolar s-metil/mankozeb,
sedangkan pada petak PHT pestisida yang digunakan
ialah abamektin, dikofol, dan mankozeb. Dengan
demikian, penerapan PHT dapat mengurangi pestisida
sebesar 46,67–73,33 % (Tabel 8).
Koesandriani (1996) melaporkan bahwa curah
hujan yang baik untuk pertumbuhan dan pembuahan
tanaman cabai berkisar 600 – 1200 mm/tahun atau 50
– 100 mm/bulan, sedangkan suhu udara yang optimal
berkisar 21–28oC. Selama percobaan berlangsung
suhu udara dan curah hujan berada di atas ambang
toleransi, berkisar 28,50–29,50oC dengan curah hujan
rerata 14,50 mm/bulan. Penggunaan mulsa plastik
hitam perak lebih mampu menahan penguapan air
tanah dan kelembaban tanah dibandingkan dengan
penggunaan mulsa jerami. Dari Tabel 9 dapat dilihat,
bahwa penggunaan mulsa plastik hitam perak dapat
mengurangi suhu di sekitar tanaman cabai sebesar
Suhu dan Curah Hujan
Serangga mempunyai kisaran suhu tertentu untuk
kelangsungan hidupnya. Umumnya kisaran suhu
minimum yang efektif ialah 15ºC, suhu optimum
25ºC, dan suhu maksimum 45ºC. Pada saat penelitian
berlangsung suhu di sekitar pertanaman cabai merah
berkisar 24 – 31oC atau rerata berkisar 28,50–29,50oC
(Tabel 9). Kisaran suhu tersebut sangat cocok untuk
Tabel 8. Penggunaan pestisida pada tiap perlakuan PHT (The use of pesticide at different IPM treatments)
Insektisida
(Insecticide)
Fungisida
(Fungicide)
Akarisida
(Acaricide)
Bakterisida
(Bactericide)
Jumlah
penyemprotan
(Number of
applications)
3
5
1
1
11
1
1
1
1
3
4
4
3
2
-
1
8
10
5
4
15
Jenis pestisida (Kind of pesticides)
Perlakuan
(Treatments)
PHT-1 (IPM-1)
PHT-2 (IPM-2)
PHT-3 (IPM-3)
PHT-4 (IPM-4)
Konvensional
(Conventional)
Efisiensi
penyemprotan
(Efficiency of
applications)
%
46,67
33,33
66,67
73,33
-
179
J. Hort. Vol. 23 No. 2, 2013
Tabel 9. Suhu udara di sekitar pertanaman cabai dan curah hujan selama bulan April-September 2012
(The air temperature around of chili peppers plant and rainfall during April - September 2012)
PHT-1
(IPM-1)
PHT-2
(IPM-2)
PHT-3
(IPM-3)
PHT-4
(IPM-4)
Konventional
(Conventional)
April (April)
30
30
30
30
30
Curah hujan per
bulan
(Rainfall/ Month),
mm
40
Mei (May)
35
35
35
35
35
30,5
Juni (June)
28
28
26
27
27
4
Juli (July)
27
27
26
25
27
9
Agustus (August)
September
(September)
31
28
31
26
29
25
29
26
31
25
1
Suhu udara di sekitar tanaman (Temperature around the plant), oC
Bulan
(Month)
2,5
2.5
2
1.5
1
0.5
0
PHT-1(IPM-1)
PHT-2(IPM-2)
PHT-3(IPM-3)
H. armigera
S. litura
PHT-4(IPM-4)
Konvensional
(Conventional)
-0.5
B. tabaci
Gambar 1. Total populasi H. armigera, S. litura, dan B. tabaci selama penelitian berlangsung (Populations
of H. armigera, S. litura, and B. tabaci during the experiment)
0,89oC. Hal ini terjadi karena penguapan air tanah
yang terjadi dihambat oleh permukaan plastik yang
menutupinya, dan kembali lagi ke rizosfir. Penggunaan
mulsa plastik juga mencegah terjadi perkolasi dan
gerakan air tanah, sehingga dapat meningkatkan
efisiensi penggunaan air irigasi (Lamont 1993).
Emisi Gas Rumah Kaca (CO2)
Hasil analisis CO2 sebelum, selama, dan sesudah
penelitian disajikan pada Tabel 10. Dari data hasil
perhitungan besarnya flux CO2 pada areal penelitian
menunjukkan bahwa rerata besaran flux CO2 yang
dihasilkan pada lahan tersebut cukup bervariasi.
Adanya perbedaan magnitude flux CO2 pada lahan
tersebut berkaitan erat dengan sistem budidaya yang
180
diterapkan (Wang et al. 2011). Karbondioksida
terbebaskan dari tanah ke atmosfir melalui proses
respirasi. Respirasi tanah merupakan gabungan antara
tiga proses biologi yaitu respirasi mikroorganisme,
respirasi akar, dan respirasi hewan yang ada di
permukaan tanah atau pada lapisan tanah atas yang
mana residu tanaman terkonsentrasi serta satu proses
non-biologis, yaitu proses oksidasi kimia yang dapat
terjadi pada suhu tinggi (Rastogi et al. 2002).
Penggunaan kapur dapat meningkatkan kadar CO2
yang cukup signifikan. Hasil ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh (West & McBride
2005). Hal ini disebabkan pada saat pengapuran
terjadi peningkatan suhu tanah. Fang et al. (2010)
mengindikasikan bahwa suhu tanah menjadi penyebab
Setiawati, W et al.: Penerapan Teknologi
Pengendalian Hama Terpadu ...
Tabel 10. Besaran flux CO2 (10-4 mg/m2/jam) selama penelitian berlangsung (CO2 fluxes during the experiment)
Perlakuan (Treatments)
PHT-1
(IPM-1)
PHT-2
(IPM-2)
PHT-3
(IPM-3)
PHT-4
(IPM-4)
Konvensional
(Conventional)
Sebelum penelitian (Before experiment)
14
14
14
14
14
Setelah pengapuran (After liming)
17
17
17
17
17
Setelah pemupukan (After fertilizing)
62
66
24
27
30
Saat panen cabai (Harvest time)
21
17
13
13
18
Akhir penelitian (The end of experiment)
15
14
11
11
12
Rerata (Average)
25,8
25,6
15,8
16,4
18,2
Waktu pengamatan (Time of observations)
49–96% variasi pada flux CO2. Selain itu penggunaan
pupuk kandang yang tinggi pada perlakuan PHT-1
dan PHT-2, juga dapat meningkatkan kadar CO2.
Rastogi et al. (2002) menyatakan bahwa aplikasi
bahan organik ke dalam tanah dapat meningkatkan
emisi CO 2. Hal ini disebabkan karena aplikasi
pupuk organik mampu menyediakan C organik bagi
mikroorganisme tanah, sehingga penambahan pupuk
dalam jumlah besar dapat meningkatkan emisi CO2
secara signifikan. Namun demikian, gas ini kembali
digunakan tanaman saat berlangsungnya proses
fotosintesis dan dikonservasikan ke bentuk biomas
tanaman. Dumale et al. (2011) melaporkan bahwa
penggunaan pupuk kandang dapat meningkatkan
kadar CO2 pada 3 hari setelah pemberian dan kadar
CO2 menurun kembali pada 110 hari setelah aplikasi.
Hal yang sama dapat dilihat pada Tabel 10, pada saat
tanaman cabai mulai panen sampai dengan akhir
penelitian kadar CO2 terus berkurang.
Produksi CO 2 dari tanah berasal dari hasil
dekomposisi bahan organik secara aerobik, respirasi
akar tanaman, dan mikroorganisme. Hal tersebut terkait
dengan peran tanah sebagai C-sink potensial dan dapat
mengganggu peningkatan CO2 atmosfir, kapasitasnya
bergantung pada input karbon dari produktivitas
relatif tanaman terhadap pengeluaran karbon yang
dikendalikan oleh mikrob dekomposisi (Rudrappa et
al. 2006).
Penggunaan pupuk kandang sebesar 30 t/ha,
pupuk NPK 700 kg/ha, dan pengurangan penggunaan
pestisida pada perlakuan PHT- 3 dan PHT-4 merupakan
perlakuan yang terbaik dengan pengurangan emisi CO2
masing-masing mencapai 35,94 dan 38,76% selama
fase pertumbuhan cabai merah dibandingkan dengan
perlakuan konvensional.
Hasil Panen Cabai Merah
Hasil panen cabai merah disajikan pada Tabel 11.
Hasil cabai merah sangat ditentukan oleh perlakuan
yang diuji. Tanaman cabai pada perlakuan PHT-4
mampu menghasilkan 15,46 t/ha, diikuti berturut turut
oleh perlakuan PHT-3 sebesar 13,20 t/ha dan perlakuan
konvensional sebesar 12,60 t/ha. Hasil panen cabai
merah terendah terjadi pada perlakuan PHT-1 dan
PHT-2 masing-masing sebesar 10,37 dan 11,04 t/ha.
Hasil cabai merah sangat dipengaruhi oleh
perlakuan yang diuji dan secara tidak langsung dengan
serangan OPT. Penggunaan mulsa plastik hitam perak,
pupuk kandang (30 t/ha), dan pupuk buatan (700
kg/ha) dapat menekan serangan OPT dan mampu
mempertahankan hasil cabai merah sebesar 15,46 t/
ha. Soetiarso et al. (2006) dan Fahrurrozi et al. (2006)
melaporkan bahwa penggunaan mulsa plastik hitam
perak dapat meningkatkan bobot hasil cabai merah.
Hal tersebut disebabkan karena mulsa dapat menekan
pertumbuhan gulma yang merupakan pesaing utama
Tabel 11. Hasil panen cabai merah (Yield of chili peppers)
Perlakuan
(Treatments)
PHT-1 (IPM-1)
PHT- 2 (IPM-2)
PHT-3 (IPM-3)
PHT-4 (IPM-4)
Konvensional (Conventional)
KK (CV), %
Bobot buah (Fruit weight)
Tanaman contoh
Petak (Plot) kg
(Sample plant), g
386,4 c
31,11 c
378,6 c
33,13 c
749,8 ab
39,59 b
803,0 a
46,38 a
598,4 b
37,80 b
21,52
5,27
t/ha
10,37
11,04
13,20
15,46
12,60
-
Buah terserang
lalat buah (Fruits attack by
fruit flies), %
4,56 a
4,65 a
2,13 b
2,48 b
3,28 ab
19,99
181
J. Hort. Vol. 23 No. 2, 2013
dalam pengambilan cahaya, air, dan unsur hara, serta
memperlambat pelepasan karbondioksida tanah hasil
respirasi aktivitas mikroorganisme (Fahrurrozi et
al. 2001), serta dapat menekan serangan hama dan
penyakit utama. Penggunaan varietas juga mempunyai
kontribusi terhadap perbedaan bobot hasil cabai merah.
Varietas Kencana lebih tahan terhadap kondisi kering
dibandingkan dengan varietas Lembang-1.
OPT penting lain yang menyerang buah cabai ialah
lalat buah (Bactrocera sp.), serangan tertinggi terjadi
pada petak perlakuan PHT-1 dan PHT-2 masingmasing sebesar 4,56 dan 4,65%, berbeda nyata dengan
perlakuan PHT-3 dan PHT-4 yang dapat menekan
serangan lalat buah sebesar 44,73–55,26%.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Rakitan teknologi PHT (varietas Kencana yang
ditanam secara monokultur, mulsa plastik hitam
perak, pupuk kandang sebanyak 30 t/ha, pupuk
NPK 700 kg/ha, dan pestisida berdasarkan ambang
kendali) dapat menekan penggunaan pestisida
sebesar 73,33%, mengurangi suhu udara dan CO2
masing-masing sebesar 0,89oC dan 38,76% dengan
hasil panen tetap tinggi yaitu sebesar 15,46 t/ha.
2. Teknologi tersebut dapat direkomendasikan untuk
mitigasi dampak perubahan iklim pada budidaya
tanaman cabai merah.
PUSTAKA
1. Adiyoga, W 2007, Overview of production, consumption, and
distribution aspects of hot pepper in Indonesia, Annual Report
Indonesian Vegetables Research Institute, Lembang.
2. Aheer, GM, Ahmed, KJ & Ali, A 1994, ’Role of weather in
fluctuating aphid density in wheat crop’, J. Agric. Res., vol.
32, pp. 295-301.
3. Al-Amin, AQ & Siwar, C 2008,’ The economic dimensions of
climate change: impacts and adaptation practices in Malaysia’,
Proceedings of the 9 th International Business Research
Conference, Melbourne, Australia, pp. 24-6.
4. Ashraf, A, Montasser, Ahmed, M, Taha, Hanafi, ARI &
Gamal, M Hassan 2011, ’Biology and control of the broad
mite Polyphagotarsonemus latus (Banks 1904) (Acari :
Tarsonemidae)’, Int. J. Environ. Sci. and Engineer (IJESE),
vol.1, pp.26-34.
5. Badgley, J, Foereid, B, Hastings, A & Smith, P 2007, Cool
farming: climate impacts of agriculture and mitigation
potential, Amsterdam, Greenpeace International.
6. Bergant, K, Trdan, S, Znidarcis, D, Crepinsek, Z & Bogataj, LK
2005, ’Impact of climate change on developmental dynamics of
Thrips tabaci (Thysanoptera : Thripidae): can it be quantified’,
Environ. Entomol., vol. 34, no. 4, pp. 755-67.
182
7. Bonaro, O, Lurette, A, Vidal, C & Fargues, J 2007,’ Modelling
temperature-dependent bionomics of Bemisia tabaci
(Q-biotype)’, Physiol. Entomol., vol. 32, pp. 50-5.
8. Chakraborty, S, Tiedemann, AV & Teng, PS 2000,’ Climate
change potential impact on plant diseases’, Environ. Pollut,
vol. 108, pp. 317-96.
9. Dumale, WA, Miyazaki, T, Nishimura, T & Seki, K 2011,
‘Short-term dynamics of the active and passive soil organic
carbon pools in a volcanic soil treated with fresh organic
matter’, E-Int. Sci. Res. J., vol. 3, no.2, pp. 128-44.
10. Fang, HJ, Yu, GR, Cheng, SL, Zhu, TH, Wang, YS, Yan,
JH, Wang, M, Cao, M & Zhou, M 2010,’ Effects of multiple
environmental factors on CO2 emission and CH4 uptake from
old-growth forest soils’, Biogeosciences, vol.7, pp. 395- 407.
11. Fahrurrozi & Stewart, KA 1994, ‘Effects of mulch optical
properties on weed growth and development,’ HortSci., vol.
29, no. 6, pp. 545.
12. Fahrurrozi, Stewart, KA & Jenni, S 2001, ’The early growth
of muskmelon in mulched mini-tunnel containing a thermalwater tube, I., the carbon dioxide concentration in the tunnel,’
J. Amer. Soc. for Hort. Sci., vol. 126, pp. 757-63.
13. Fahrurrozi, Setyowati, N & Sarjono 2006, ’Efektivitas
penggunaan ulang mulsa plastik hitam perak dengan pemberian
pupuk nitrogen terhadap pertumbuhan dan hasil cabai’,
Bionatura, vol. 8, hlm. 17-23.
14. Grovers RL, Kennedy, GG & Walgenbach, JF 1998,’
Inoculation of tomato spotted wilt virus into cotton’, Plant
Dis. J., vol. 82, pp. 800-959.
15. Gunaeni, N & Wulandari, A 2010, ’Cara pengendalian
nonkimiawi terhadap serangga vektor kutudaun dan intensitas
serangan penyakit virus mozaik pada tanaman cabai merah’,
J. Hort., vol. 24, no. 4, hlm. 368-76.
16. Hoddle, MS, Lindsay, R & David, M 2002, ’Attraction of thrips
(Thysanoptera: Thripidae and Aelothripidae) to colored sticky
cards in California avocado orchard’, Crop Protection J., vol.
21, pp. 383-8.
17. IPCC 2007, Climate change 2007: synthesis report,
contribution of Working Groups I, II and III to the Fourth
Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate
Change [Core Writing Team, Pachauri, R.K and Reisinger, A.
(eds.)]. IPCC, Geneva, Switzerland.
18. Jones, VJ & Brown, RD 1983, ‘Reproductive responses
of the broad mite, Polyphagotarsonemus latus (Acarina :
Tarsonemidae), to constant temperature – humidity regimes’,
Annal of the Entomol. Soc. of Am., vol. 76, no. 3, pp. 466-9.
19. Khan, MA, Khaloq, A, Subhani, MN & Saleem, MW 2008,
‘Incidence and development of Thrips tabaci and Tetranychus
urticae on field grown cotton Int’, J. Agri. Biol., vol. 10, no.
2, pp. 232-4.
20. Koesandriani, Y 1996, ’Pengaruh naungan kasa terhadap hasil
beberapa kultivar cabai’, J. Hort., vol. 6, no. 1, pp. 1-16.
21. Lamont, WJ, Serensen, KA & Averre, CW 1990,’ Painting
aluminium strips on black plastic mulch reduces mosaic
symptoms on summer squash,’ Hortic. Soc. Am., 25 10, 1305.
22. Lamont, WJ 1993, ‘Plastic mulches for the production of
vegetable crops’, Hor. Technol., vol. 3, no. 1, pp. 35-8.
23. Larentzake, E, Plate, J, Nault, BA & Shelton, AM 2006, ’Impact
of straw mulch on populations of onion thrips (Thysanoptera:
Thripidae) in onion’, J. Econ. Entomol., vol. 101, no. 4,
pp.1317-24.
Setiawati, W et al.: Penerapan Teknologi
Pengendalian Hama Terpadu ...
24. Lorini, I & Junior, VM 1990, ’Population fluctuations of Thrips
tabaci Lindeman 1888 (Thysanoptera: Thripidae) on garlic
crop’, An. Soc. Entomol. Brasil, vol. 19, no. 2, pp. 367-71.
33. Shin, JW & Yun, SC 2010,’ Elevated CO2 and temperature
effects on the incidence of four major chili pepper diseases’
Plant Pathol. J., vol. 26, no. 2, pp. 178-84.
25. Moekasan, TK & Prabaningrum, L 2012, “Penggunaan
rumah kasa untuk mengatasi serangan organisme pengganggu
tumbuhan pada tanaman cabai merah di dataran rendah”, J.
Hort., vol. 22, no. 1, hlm. 66-76.
34. Soetiarso, TA, Ameriana, M, Prabaningrum, L & Sumarni, N,
2006, ‘Pertumbuhan, hasil, dan kelayakan finansial penggunaan
mulsa dan pupuk buatan pada usahatani cabai merah di luar
musim’, J. Hort., vol. 16, no. 1, hlm. 63-76.
26. Nsabiyera, V, Ochwo-Ssemakula, O & Ssruwagi, P 2012, ’Hot
pepper reaction to field diseases’, Afr. Crop Sci. J., vol. 20, no.
1, pp. 77-97.
35. Stapleton, JJ & Summers, CG, 2002, ’Reflective mulches for
management of aphids and aphid borne virus diseases in lateseason cantaloupe’, Crop Prot. vol. 21, pp. 891-8.
27. Pangga, IB, Chakraborty, S & Yates, D 2004, ‘ Canopy size
and induced resistance in Stylosanthes scabra determine
Anthracnose severity at high CO2,’ Phytopathol., vol. 94, pp.
221-7.
36. Sumarni, N 1996, ‘Budidaya cabai merah dalam Duriat, AS,
Hadisoeganda, AWW, Soetiarso, TA & Prabaningrum, L (eds.)’,
Teknologi produksi cabai merah, Balai Penelitian Tanaman
sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta, hlm.
37-47.
28. Phoebe, R, Wangai, A, I, Tabu, I, Ombiri, J, & Ramkat, R,
2012, Effect of mulch and stage of inoculation on incidence
and severity of tomato spotted witl virus (TSWV) diseases
on different varieties of cucumber (Cucumis sativus L.),
viewed 9 February 2013, <http://www.kari.org/fileadmin/
publications/10thProceedings/Volone/EffectsMulch.pdf>.
37. Waiganjo, MM, Gitonga, LM & Mueke, JM 2008,’ Effect of
weather on thrips populatopn dynamics and its implications
on the thrips pest management’, Afr. J. Hort. Sci., vol. 1, pp.
82-90.
29. Pretty, J & Hine, R 2001, Reducing food poverty with
sustainable agriculture: a summary of new evidence, UK:
University of Essex Centre for Environment and Society.
38. Wang, J, Xiong, Z & Yan, X 2011,’ Fertilizer-Induced emission
factors and background emissions of N2O from vegetable in
China’, Atmospheric Environ., vol. 45, pp. 6923-29.
30. Rastogi, M, Singh, S & Pathak, H 2002, ‘Emission of carbon
dioxide from soil’, Current Science, vol. 82,pp. 510-7.
39. West, TO & McBride, AC 2005, ‘The contribution of
agricultural lime to carbon dioxide emissions in the United
States: dissolution, transport, and net emissions’, Agric. Ecosys.
and Environ., vol.108, pp. 145-54.
31. Rudrappa, L, Purakayastha, TJ, Singh, D & Bhadraray, S 2006,’
Long-term manuring and fertilization effects on soil organic
carbon pools in a typic haplustert of aemi-arid subtropical
India’, Soil Tillage and Res., vol. 88, pp. 180-92.
32. Setiawati, W, Sutarya, R, Sumiarta, K, Kamandalu, A,
Suryawan, IB, Latifah, E & Luther, G 2011,’ Incidence and
severity of pest and diseases on vegetables in relation to climate
change (with emphasis on East Java and Bali)., Prosiding
Seminar Nasional Perhimpunan Hortikultura Indonesia.
Balitsa Lembang 23 – 24 November 2011.
40. Wiyono, S 2007, ‘Climate change and pests and diseases
explosion, paper presented in One Day Seminar on Biodiversity
in the middle of global warming, KEHATI Foundation, Jakarta,
28 June 2007.
41. Yun, SC & Ahn, MI 2009. Effects on net phytosynthesis in
field-grown hot peppers responding to the increased CO2 and
temperature’, Kor. J. Environ. Agri., vol. 28, pp. 106-12.
183