Mimbar Keadilan Jurnal Ilmu Hukum
Agustus 2017
Muhammad Pradika Setia Agafta
Adianto
TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN
TERHADAP KETERLAMBATAN PENERBANGAN1
Muhammad Pradika Setia Agafta dan Adianto
Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Jalan Semolowaru Nomor 45, Surabaya 60118, Indonesia
Abstrak
Perkembangan dalam duani pengangkutan saat ini adalah penggunaan moda transportasi udara
yaitu pesawat terbang. Maskapai penerbangan saat ini seringkali melakukan penundaan penerbangan
atau delay dengan berbagai alasan. Hal ini menyebabkan kerugian konsumen. Penelitian yang di
lakukan bertujuan untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab terhadap penumpang yang
mengalami keterlambatan penerbangan dan upaya hukum apa yang dapat ditempuh oleh
penumpang atas keterlambatan penerbangan. Semua ini karena perkembangan perusahaan
pengangkutan udara, namun perkembangan itu tidak di sertai dengan adanya hak-hak penumpang.
Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perusahaan harus mengganti kerugian yang di derita penumpang sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Upaya hukum yang dapat di tempuh oleh penumpang atau konsumen pengangkutan udara
adalah meminta ganti rugi terhadap perusahaan pengangkutan udara. Meski kenyataannya tanggung
jawab perusahaan pengangkutan udara tidak sepenuhnya di laksanakan sebagaimana mestinya.
Sehingga upaya penyelesaian hukum itu perlu di lakukan dengan cara yang biasa di lakukan oleh
konsumen adalah negosiasi antara penumpang dan pihak maskapai penerbangan yang berwenang.
Kata kunci: tanggung jawab, maskapai penerbangan, ganti rugi.
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan, semua itu dikarenakan letak geografis
Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau baik itu pulau besar maupun pulau kecil.
Perkembangan tersebut membawa dampak yang baik bagi pengguna pengangkutan.
Keberadaan sarana pengangkutan dalam kehidupan manusia menjadi sangat berpengaruh
karena sebagai penunjang kelancaran kehidupan manusia juga berguna untuk
menghubungkan sebagian wilayah Indonesia sangat dibutuhkan pengangkutan. Baik itu
pengangkutan antar kota atau antar pulau, baik itu di dalam negeri maupun untuk
hubungan antar negara secara internasional. Pentingnya pengangkutan tercermin dengan
semakin meningkatnya kebutuhan jasa angkutan sebagai kebutuhan orang serta barang
sebagai alat perpindahan baik dari dalam negeri, dan keluar negeri, pengangkutan juga
berperan sebagai pendorong dan penggerak bagi pertumbuhan daerah dan pengembangan
wilayah. Maka dari itu peran pengangkutan diharapkan dapat memberikan jasa sebaik
mungkin sesuai dengan fungsinya, yaitu memindahkan barang maupun orang dari satu
tempat ke tempat lain dengan maksud meningkatkan daya guna nilai.2
Menurut pasal 1 ayat 13 Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan:
“Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan Pesawat udara
untuk mengangkut penumpang, kargo dan/atau pos untuk satu perjalanan atau
lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara”.
1
2
DOI 10.5281/zenodo.1155552.
Soekardono R, Hukum Dagang Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1981, hlm. 4.
146
Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan...
Dalam perkembangannya pengangkutan udara menjadi alat pengangkutan yang
banyak diminati oleh masyarakat. Pengangkutan udara menjadi pilihan masyarakat karena
pengangkutan udara mempunyai beberapa keunggulan keuunggulan. jika ditinjau dari segi
biaya pengangkutan udara memang lebih murah jika dibandingkan dengan jenis
transportasi laut maupun transportasi darat. Sedangkan jika di tinjau dari segi waktu kita
dapat memperoleh waktu tempuh yang sangat singkat dan banyak memangkas waktu
untuk perjalanan suatu angkutan. Jika di tinjau dari segi tenaga kita dapat menyimpulkan
bahwa jika kita memperoleh waktu tempuh yang relatif singkat maka kita menghemat
tenaga. Karena terlalu lama di dalam suatu perjalanan seseorang banyak yang merasa
kelelahan.
Jasa pengangkutan udara telah menjadi kebutuhan masyarakat dibandingkan pada
jaman dahulu. Seringnya ada keterlambatan dari transportasi udara ini menimbulkan
kerugian bagi konsumen atau penumpang dimana maskapai terkadang tidak memenuhi apa
yang sudah menjadi kewajiban atau dengan kata lain wanprestasi. Beberapa kasus yang
dapat dikategorikan sebagai bentuk wanprestasi oleh pengangkut adalah tidak memberikan
keselamatan dan keamanan penerbangan kepada penumpang yaitu, berupa terjadinya
kecelakaan pesawat yang mengakibatkan penumpang meninggal dunia dan/atau cacat,
keterlambatan penerbangan atau “delay”, kehilangan atau kerusakan barang bagasi milik
penumpang, pelayanan yang kurang memuaskan, informasi yang tidak jelas tentang produk
jasa yang ditawarkan dan lain-lain. Namun permasalahan yang sering terjadi adalah pada
saat keberangkatan dengan jadwal yang telah di tentukan mengalami keterlambatan
(delayed).
Pada penulisan ini penulis ingin memfokuskan pada permasalahan yang menuju
kepada masalah keterlambatan (delayed) yang sekarang sudah menjadi kebiasaan yang
kurang baik di dalam pengangkutan udara. Kerugian yang di alami konsumen tidak hanya
kerugian materiil melainkan juga kerugian immateriil. Melihat banyaknya kerugian yang
timbul dan dialami oleh konsumen atau penumpang dan Minimnya pengetahuan
penumpangakan peraturan serta upaya hukum yang dapat dilakukan oleh penumpang
membuat ketidakpastian hukum, dimana tidak ada upaya pemenuhan hak dan kewajiban
yang baik antar pihak khususnya jika terjadi suatu keterlambatan penerbangan.
Apabila terjadi peristiwa atau kejadian yang menyebabkan kerugian bagi
penumpang maka akan timbul tanggung jawab hukum dari pihak pengangkut untuk
mengganti kerugian yang dialami penumpang. Wujud tanggung jawab yang tersebut adalah
berupa pemberian ganti rugi atau kompensasi. Ganti rugi yang harus dibayarkan oleh pihak
pengangkut dengan dasar bila terlambat datang atau sampai di tempat tujuan, bukan hanya
mengenai barang muatan dan bagasi saja, melainkan juga mengenai penumpang.
Penumpang memiliki hak dan kewajiban yang telah di jamin oleh undang-undang,
dan pengangkutan udara mempunyai hak dan kewajiban yang harus di jalankan, serta
penumpang juga harus mengetahui bagaimana mengupayakan dengan baik setiap hak-hak
mereka yang harus dipenuhi sesuai peraturan hukum yang berlaku. Yang harus penumpang
ketahui juga harus ada payung hukum yang jelas untuk melindungi mereka dan untuk
menjamin kepentingan penumpang ketika menggunakan jasa pengangkutan udara.
Dalam perkembangannya hubungan hukum antara pihak pengangkut dan pihak
penumpang sebagai pengguna jasa menghendaki adanya kesetaraan kedudukan di antara
147
Mimbar Keadilan Jurnal Ilmu Hukum
Agustus 2017
Muhammad Pradika Setia Agafta
Adianto
para pihak, karena pada dasarnya hubungan antara pengangkut dengan penumpang
merupakan hubungan yang bersifat saling ketergantungan. Tetapi dalam prakteknya
pengangkutan udara sering berjalan tidak seimbang, dimana pihak pengangkut sering kali
mengabaikan semuanya, sehingga menyebabkan penumpang kesulitan untuk mendapatkan
hak-haknya sebagai pengguna jasa yang telah dirugikan.
Di dalam penjelasan lain di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan
konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama
disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum
yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan
konsumen. Khususnya pembinaan dalam upaya hukum apa yang dapat dilakukan untuk
memperoleh haknya sebagai konsumen sebagai konsumen ketika terjadi keterlambatan
penerbangan (delay).
B. Pembahasan
1. Tanggung Gugat Maskapai Penerbangan Terhadap Keterlambatan Penerbangan
Perusahaan angkutan udara bertanggung jawab atas kerugian yang di derita oleh
penumpang. Tanggung jawab yang di maksud perusahaan penerbangan wajib membayar
ganti rugi atas yang di derita penumpang dan apabila wanperstasi, perusahaan penerbangan
dapat di gugat di pengadilan. Bentuk tanggung gugat perusahaan penerbangan kepada
penumpang termasuk ke dalam bentuk tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan
(liability based on fault) yang di dasarkan pada prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability).
Doktrin onrechtmatige daad sebagai landasan terbentuknya prinsip tanggung gugat mutlak
yang tercantum pada pasal 1365 KUHPerdata yang menitikberatkan pada unsur kesalahan
(fault). Jadi bisadikatakan harus ada ketertiban peraturan perundangundangan yang
dilanggar. Kenyataannya, tidak semua unsur kesalahan (fault) dapat dibuktikan bahkan
sampai tidak dapat dibuktikan sehingga dikembangkan asas tanggung jawab mutlak (strict
liability) untuk mengatasi keterbatasan fault based on liability tersebut.
Prinsip ini merupakan bentuk tanggung gugat perdata yang tidak memerlukan
pembuktian adanya unsur kesalahan (fault), sehingga beban pembuktian penggugat menjadi
lebih ringan. Namun penggugat tetap dibebani untuk membuktikan kerugian (injured party)
yang dialami sebagai akibat tindakan tergugat. Dapat dikatakan dengan pembuktian
kausalitas (causal link). Sebagai penyedia jasa angkutan pihak maskapai penerbangan telah
yang melanggar perjanjian angkutan udara dengan penumpang, yaitu dengan terjadinya
keterlambatan penerbangan, tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas
pesawat udara atau terjadi pembatalan penerbangan seperti yang dijelaskan pada Pasal 9
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab
Pengangkut Angkutan Udara, menjelaskan tentang keterlambatan angkutan udara terdiri
atas:
1. Keterlambatan penerbangan (flight delayed).
2. Tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied boarding
passanger).
148
Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan...
3. Pembatalan penerbangan (cancelation of flight).
Tanggung gugat pengangkut juga di atur di dalam Pasal 2 Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara,
yaitu pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas segala
kerugian terhadap:
a. Penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka.
b. Hilang atau rusaknya bagasi kabin.
c. Hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat.
d. Hilang, musnah, atau rusaknya kargo.
e. Keterlambatan angkutan udara; dan
f. Kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.
Pasal ini menjelaskan tentang pengertian keterlambatan penerbangan yang sering
terjadi dan di alami oleh konsumen pengangkutan udara. Perusahaan pengangkutan udara
dengan konsumen mempunyai hubungan perihat pengangkutan penerbangan. Namun
hubungan antara keduanya tidak selalu berlangsung dengan baik dan selalu
menguntungkan. Adanya keterlambatan penerbangan bagi penumpang tentunya akan
menimbulkan kerugian bagi konsumen, terutama perasaan jenuh menunggu, tertundanya
aktifitas-aktifitas penumpang yang semestinya dapat dilakukan bahkan akan kehilangan
kesempatan-kesempatan. Kurangnya pelayanan yang baik terhadap konsumen
memposisikan konsumen berada di posisi yang kurang di untungkan. artinya terjadinya
suatu keterlambatan penerbangan akan menimbulkan kerugian bagi penumpang, itu artinya
penumpang dapat menggugat perusahaan penerbangan, terutama jika mengacu pada
Ketentuan Pasal 146-147 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal
146.
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan
pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat
membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis
operasional.
Dan Pasal 147
1) Pengangkut bertanggung jawab atas tidak terangkutnya penumpang, sesuai dengan
jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara.
2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memberikan kompensasi
kepada penumpang berupa:
a. Mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan; dan/atau
b. Memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak ada
penerbangan lain ke tempat tujuan
Menurut pasal di atas menjelaskan tentang tanggung jawab pengangkut dan
pemberian kompensasi kepada penumpang yang sesuai. Dengan mengalihkan ke dalam
penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan dan memberi konsumsi serta
akmomodasi biaya untuk ke tempat tujuan. Serta tanggung gugat mengenai permasalahan
pembatalan penerbangan di atur di dalam pasal 12 Peraturan Menteri Nomor 92 Tahun 2011
tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara menjelaskan bahwa:
149
Mimbar Keadilan Jurnal Ilmu Hukum
Agustus 2017
Muhammad Pradika Setia Agafta
Adianto
1. Dalam hal terjadi pembatalan penerbangan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 9 huruf c,
pengangkut wajib memberitahukan kepadapenumpang paling lambat 7 (tujuh) hari
kalender sebelum pelaksanaan penerbangan.
2. Pembatalan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),pengangkut wajib
mengembalikan seluruh uang tiket yang telah dibayarkan oleh penumpang.
3. Pembatalan penerbangan yang dilakukan kurang dari 7 (tujuh) harikelender sampai
dengan waktu keberangkatan yang telah ditetapkan,''berlaku ketentuan Pasal 10 huruf b
dan c.
4. Pembatalan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabilabadan usaha
angkutan udara niaga berjadwal melakukan perubahanjadwal penerbangan (retiming atau
rescheduling).
Ada juga dimana pihak perusahan penerbangan dibebaskan dari tanggung jawab jika
memenuh syarat-syarat limitatif sebagaimana dimaksud di dalam pasal 13 Peraturan
Menteri Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara
menjelaskan bahwa:
1. Pengangkut dibebaskan dari tanggung jawab atas ganti kerugian akibatketerlambatan
penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 hurufa yang disebabkan oleh faktor
cuaca dan/atau teknis operasional.
2. Faktor cuaca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain hujanIebat, petir, badai,
kabut, asap, jarak pandang di bawah standarminimal, atau kecepatan angin yang
melampaui standar maksimal yangmengganggu keselamatan penerbangan.
3. Teknis Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. Bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapatdigunakan operasional
pesawat udara.
b. Lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggufungsinya misalnya retak,
banjir, atau kebakaran.
c. Terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat (landing), atau
alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) dibandar udara; atau.
d. Keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling).
Para pengguna jasa angkutan udara juga dapat di kategorikan sebagai konsumen
yang menggunakan jasa penerbangan udara sehingga oleh karenanya Hak-hak konsumen
tersebut di lindungi di dalam pasal 19 ayat (1) Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang menjelaskan bahwa “Pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”.
Mengenai ganti rugi sebagai tanggung gugat pelaku usaha pasal 19 ayat (2) Undangundang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga memberikan ganti rugi
terhadap kerugian yang di terima konsumen yaitu ”Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
150
Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan...
Terkait mengenai kerugian yang di timbulkan oleh maskapai penerbangan, Ganti
rugi sendiri juga di jelaskan di dalam peraturan menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011
tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara pasal 1 angka(18), sebagai berikut :
“Ganti rugi adalah uang yang dibayarkan atau sebagai pengganti atas suatu kerugian. Ganti
kerugian erat kaitannya dengan tanggung jawab”.
Ganti kerugian juga diatur dalam pasal 1243 KUHPerdata, yaitu ganti kerugian
berupa penggantian biaya, rugi atau bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah
mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya,
tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuat dalam senggang
waktu yang telah dilampaukannya.
Ganti kerugian dibagi menjadi dua yaitu ganti kerugian materiil dan ganti kerugian
imateriil. Kerugian secara materiil adalah kerugian yang nyata-nyata di derita (seperti biaya
perbaikan ditambah dengan hilangnya untung yang diharapkan) harus diganti bisa berupa
uang, barang atau dikembalikan dalam keadaan semula. Kerugian secara immateriil adalah
kerugian karena adanya pelanggaran integritas pribadi, misalnya luka-luka, cacat, kematian
atau penghinaan.
Mengenai keterlambatan penerbangan dan pemberian ganti rugi jika pengangkut
bisa menjelaskan bahwa keterlambatan tersebut bukan karena kesalahan pengangangkut
maka pengangkut di bebaskan dengan adanya ganti rugi. Dan bila pengangkut tidak bisa
menjelaskan tentang faktor keterlambatan itu de karenakan alasan lain maka pengangkut
wajib mengganti kerugian.
Di dalam keerlambatan di kelompokkan di dalam beberapa kategori Berdasarkan
Peraturan Menteri Nomor 89 Tahun 2015 Penanganan Keterlambatan Penerbangan
dikelompokkan dalam kategori keterlambatan, yaitu:
a. Kategori 1, keterlambatan 30 menit sampai dengan 60 menit.
b. Kategori 2, keterlambatan 61 menit sampai dengan 120 menit.
c. Kategori 3, keterlambatan 121 menit sampai dengan 180 menit.
d. Kategori 4, keterlambatan 181 menit sampai dengan 240 menit.
e. Kategori 5, keterlambatan lebih dari 240 menit. dan.
f. Kategori 6 pembatalan penerbangan.
Kategori tersebut menjelaskan berapa lama sebuah perusahaan pengangkut
mengalami keterlambatan dan untuk mengetahui beberapa menit waktu keterlambatan
penerbangan, hitungannya berdasarkan waktu keberangkatan atau kedatangan yang di
jadwalkan. Dan mengenai kompensasi pemberian ganti rugi wajib diberikan Badan Usaha
Angkutan Udara akibat keterlambatan penerbangan itu seperti yang di jelaskan di dalam
Peraturan Menteri Nomor 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan
yaitu:
a. Keterlambatan kategori 1, kompensasi berupa minuman ringan.
b. Keterlambatan kategori 2, kompensasi berupa minuman dan makanan ringan (snack
box).
c. Keterlambatan kategori 3, kompensasi berupa minuman dan makanan berat (heavy
meal).
d. Keterlambatan kategori 4, kompensasi berupa minuman, makanan ringan (snack box),
dan makanan berat (heavy meal).
151
Mimbar Keadilan Jurnal Ilmu Hukum
Agustus 2017
Muhammad Pradika Setia Agafta
Adianto
e.
Keterlambatan kategori 5, kompensasi berupa ganti rugi sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus
ribu rupiah).
f. Keterlambatan kategori 6, badan usaha angkutan udara wajib mengalihkan ke
penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund ticket); dan
g. Keterlambatan pada kategori 2 sampai dengan 5, penumpang dapat dialihkan ke
penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund ticket).
Sesuai dengan pasal di atas ada beberapa kompensasi yang harus di berikan kepada
penumpang pesawat sampai halnya pemberian pengalihan penerbangan berikutnya sampai
pemberian seruruh biaya tiket yang sudah di bayarkan, tergantung kondisi keterlambatan
penerbangan.
Mengenai ganti rugi atas keterlambatan penerbangan diatur di dalam pasal 10
Peraturan Menteri Nomor 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan
Udara menyatakan bahwa :
Jumlah ganti kerugian untuk penumpang atas keterlambatan penerbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf (a) ditetapkan sebagai berikut:
a. Keterlambatan lebih dari 4 (empat) jam diberikan ganti rugi sebesar Rp. 300.000,00 (tiga
ratus ribu rupiah) per penumpang.
b. Diberikan ganti kerugian sebesar 50% (lima puluh persen) dari ketentuan huruf (a)
apabila pengangkut menawarkan tempat tujuan lain yang terdekat dengan tujuan
penerbangan akhir penumpang (re-routing), dan pengangkut wajib menyediakan tiket
penerbangan lanjutan atau menyediakan transportasi lain sampai ke tempat tujuan
apabila tidak ada moda transportasi selain angkutan udara.
c. Dalam hal dialihkan kepada penerbangan berikutnya atau penerbangan milik Badan
Usaha Niaga Berjadwal lain, penumpang dibebaskan dari biaya tambahan, termasuk
peningkatan kelas pelayanan (up grading class) atau apabila terjadi penurunan kelas atau
sub kelas pelayanan, maka terhadap penumpang wajib diberikan sisa uang kelebihan dari
tiket yang dibeli.
Mengenai tanggung jawab perusahaan pengengkutan udara tentang biaya
pengembalian tiket (refund ticket). Perusahaan pengangkut mengembalikan biaya yang
sudah di keluarkan konsumen sesuai dengan bagaimana cara konsumen memberikan
pembayaran kepada pihak pengangkut. Sebagaimana di jelaskan pada Pasal 10 ayat (1) dan
(2) Undang-undang No 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan,
Pasal 10 ayat (1):
Badan Usaha Angkutan Udara dalam melakukan pengambalian seluruh biaya tiket
(refund ticket) sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf (f) dan (g), apabila
pembelian tiket dilakukan melalui transaksi tunai, maka badan usaha angkutan
udara wajib mengembalikan secara tunai pada saat penumpag melaporkan diri
kepada badan usaha angkutan udara.
Dan Pasal 10 ayat (2):
Badan Usaha Angkutan Udara dalam melakukan pengambalian seluruh biaya tiket
(refund ticket) sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf (f) dan (g), apabila
pembelian tiket dilakukan melalui transaksi non tunai melalui kartu kredit, maka
152
Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan...
badan usaha angkutan udara wajib mengembalikan melalui transfer ke rekening
kartu kredit selambat-lambatnya 30 hari kalender.
Pemberian ganti kerugian akibat keterlambatan penerbangan harus di berikan
perusahaan penerbangan kepada konsumen. ganti kerugian tersebut harus diberikan secara
sesuai seperti yang sudah di jelaskan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemerintah juga harus ikut serta menegakkan hukum dan memberikan sanksi yang tegas
kepada para perusahaan penerbangan yang tidak memenuhi ganti rugi akibat keterlambatan
penerbangan.
2. Upaya Hukum
Penumpang yang merasa telah dirugikan oleh pihak perusahaan pengangkut udara
mempunyai hak untuk menuntut haknya sebagai penumpang atas peristiwa yang terjadi di
dalam ruang lingkup tanggung gugat maskapai penerbangan yang sudah diatur di dalam
Undang-Undang Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkuta Udara. Penumpang
juga mempunyai hak sebagai konsumen yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Maskapai penerbangan sebagai pihak yang bertanggung gugat atas kejadian yang
menjadi ruang lingkup tanggung gugatnya juga harus mematuhi peraturan yang berlaku di
Indonesia. Namun, ada kalanya jika maskapai penerbangan tidak memberikan ganti rugi.
Pemberian ganti rugi materiil sesuai berdasarkan Pasal 1248 KUPerdata yaitu,
bahkan jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan karena tipudaya si berutang,
penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar mengenai kerugian yang dideritanya oleh si
berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang
merupakan akibat langsung baginyadari tak dipenuhinya perikatan.
Secara nyata adanya kasus-kasus kerugian yang dialami oleh penumpang, dapat
dinyatakan bahwa pengangkut atau perusahaan penerbangan telah melanggar ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Ordonansi
Pengangkutan Udara 1939, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
Dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, dinyatakan Hak konsumen adalah:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
153
Mimbar Keadilan Jurnal Ilmu Hukum
Agustus 2017
Muhammad Pradika Setia Agafta
Adianto
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Seperti penjelasan di atas sebelum kita melangkah ke upaya hukum kita harus
mengetahui apa saja hak yang harus di ketahui konsumen. Seperti yang di sebutkan di atas
bahwa hak konsumen merupakan sebuah upaya hukum untuk sebuah pencapaian hak
konsumen yang tidak dilaksanakan oleh perusahaan pengangkut udara. adanya
keterlambatan penerbangan berarti perusahaan telah melakukan sebuah kelalaian
kewajibannya yaitu tidak memberikan kenyamanan kepada konsumen. Di karenakan waktu
yang terbuang percuma akibat keterlambatan penerbangan dan tidak ada kepastian
informasi yang jelas penyebab keterlambatan penerbangan dan kapan penumpang akan
berangkat menuju ke tempat yang mereka perjanjikan sebelumnya, membuat penumpang
tidak nyaman.
Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pelaku usaha seharusnya memberikan pelayanan terbaik memberikan informasi yang benar,
jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; memperlakukan atau melayani
konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, menjamin mutu barang dan/atau
jasa yang diproduksi, dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu
barang dan/atau jasa yang berlaku; memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan,memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Di dalam UUPK juga diatur tentang tanggung jawab pelaku usaha, yaitu pada Pasal
19, yang menyatakan:
1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan
kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi.
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih
lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Menurut pasal di atas pelaku usaha bertanggung jawab atas ganti rugi yang harus di
berikan terhadap kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang/jasa yang di
154
Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan...
perdagangkan oleh pelaku usaha. Ganti rugi diberikan etelah pembuktian adanya kesalahan.
Jika dalam waktu yang di tentukan pelaku usaha tidak dapat membuktikan bahwa dirinya
benar maka pelaku usaha berkewajiban mengganti kerugian yang telah di alami oleh
konsumen pengguna jasa pengangkutan udara. dan apabila pelaku usaha tidak
melaksanakan kewajibannya maka upaya hukum dapat dilakukan, dengan cara mengajukan
gugatan ke pengadilan terhadap kesalahan Maskapai Penerbangan tersebut. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 1365 BW, yang berbunyi:
“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian
tersebut”Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak
memenuhi gantirugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1), ayat (2), ayat (3),dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa
konsumen atau mengajukan kebadan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa pelaku usaha dapat
digugat ketika tidak mengganti kerugian. Dan memberikan alternatif penyelesaian diluar
sistem peradilan dan melalui proses peradilan.
3. Penyelesaian sengketa melalui luar pengadilan
Penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Pengertian BPSK diatur dalam Undang-undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen dan dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdangangan menyebutkan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen selanjutnya dalam keputusan ini disebut BPSK
adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara Pelaku Usaha
dan Konsumen.Badan ini sangat penting dibutuhkan di daerah dan kota di seluruh
Indonesia. Anggota-anggotanya terdiri dari perwakilan aparatur pemerintah, konsumen dan
pelaku usaha. Konsumen yang bermasalah terhadap produk yang dikonsumsi akan dapat
memperoleh haknya secara lebih mudah dan efisien melalui peranan BPSK.
Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui
mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;memberikan.
b. konsultasi perlindungan konsumen.
c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.
d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam
Undang-undang ini.
e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.
f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen.
g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen.
h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini.
i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau
setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen.
155
Mimbar Keadilan Jurnal Ilmu Hukum
Agustus 2017
Muhammad Pradika Setia Agafta
Adianto
j.
mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan/atau pemeriksaan.
k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen.
Menurut penjlasan di atas, dapat diketahui bahwa Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) tidak hanya bertugas menyelesaikan sengketa konsumen di luar
pengadilan, tetapi juga melakukan kegiatan berupa pemberian konsultasi, pengawasan
terhadap pencantuman klausula baku, dan sebagai tempat pengaduan dari konsumen
tentang adanya pelanggaran yang diduga dilakukan oleh pelaku usaha.
Adapun yang menjadi pembahasan di sini adalah tugas BPSK untuk menyelesaikan
sengketa konsumen dengan cara-cara yaitu:
Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, di mana Majelis BPSK bersifat aktif
sebagai pemerantara dan atau penasehat.
Pada dasarnya mediasi adalah suatu proses di mana pihak ketiga, suatu pihak luar
yang netral terhadap sengketa, mengajak pihak yang bersengketa pada suatu penyelesaian
sengketa yang telah disepakati. Sesuai batasan tersebut, mediator berada di tengah-tengah
dan tidak memihak pada salah satu pihak3 .
Peran mediator sangat terbatas, yaitu hanya menolong para pihak untuk mencari
jalan keluar dari persengketaan yang mereka hadapi sehingga hasil penyelesaian terletak
sepenuhnya pada kesepakatan para pihak dan kekuatannya tidak secara mutlak mengakhiri
sengketa secara final, serta tidak pula mengikat secara mutlak tapi tergantung pada itikad
baik untuk mematuhinya.
Keuntungan yang didapat jika menggunakan mediasi sebagai jalan penyelesaian
sengketa adalah: karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama untuk
mencapai kompromi maka pembuktian tidak lagi menjadi bebas yang memberatkan para
pihak, menggunakan cara mediasi berati penyelesaian sengketa cepat terwujud, biaya
murah, bersifat rahasia (tidak terbuka untuk umum seperti di pengadilan), tidak ada pihak
yang menang atau kalah, serta tidak emosional.4
Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa.
Dalam mencari penyelesaian sengketa, para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis
BPSK untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi.
Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini karena keputusannya langsung
final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
Putusan arbitrase memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga apabila pihak yang
dikalahkan tidak mematuhi putusan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat
meminta eksekusi ke pengadilan. Lembaga arbitrase memiliki kelebihan, antara lain:
a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak.
b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif.
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003, hlm. 23.
4 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., hlm. 257.
3
156
Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan...
c.
Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut mereka diyakini mempunyai
pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang relevan dengan masalah yang
disengketakan, di samping jujur dan adil.
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya
termasuk proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.
e. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui tata
cara (prosedur) yang sederhana dan langsung dapat dilaksanakan.
Cara ini ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak di mana Majelis
BPSK bertugas sebagai pemerantara antara para pihak yang bersengketa dan Majelis BPSK
bersifat pasif.
Dalam konsiliasi, seorang konsiliator akan mengklarifikasikan masalah- masalah
yang terjadi dan bergabung di tengah-tengah para pihak, tetapi kurang aktif dibiandingkan
dengan seorang mediator dalam menawarkan pilihan-pilihan (options) penyelesaian suatu
sengketa. Konsiliasi menyatakan secara tidak langsung suatu kebersamaan para pihak di
mana pada akhirnya kepentingan-kepentingan yang saling mendekat dan selanjutnya dapat
dicapai suatu penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak.
Penyelesaian sengketa ini memiliki banyak kesamaan dengan aribtrase, dan juga
menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang
disampaikan para pihak. Namun pendapat dari konsiliator tersebut tidak mengikat
sebagaimana mengikatnya putusan arbitrase. Keterikatan para pihak terhadap pendapat
dari konsiliator menyebabkan penyelesaian sengketa tergantung pada kesukarelaan para
pihak.
UUPK menyerahkan wewenang kepada BPSK untuk menyelesaikan setiap sengketa
konsumen (di luar pengadilan). UUPK tidak menentukan adanya pemisahan tugas anggota
BPSK yang bertindak sebagai mediator, arbitrator ataupun konsiliator sehingga setiap
anggota dapat bertindak baik sebagai mediator, arbitrator ataupun konsiliator.
Oleh karena tidak adanya pemisahan keanggotaan BPSK tersebut, maka penyelesaian
sengketa konsumen sebaiknya diselesaikan secara berjenjang, dalam arti kata bahwa setiap
sengketa diusahakan penyelesaiannya melalui mediasi, jika gagal, penyelesaian ditingkatkan
melalui konsiliasi dan jika masih gagal juga barulah penyelesaian melalui cara peradilan
arbitrase. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan dapat ditempuh apabila upaya
perdamaian telah gagal mencapai kata sepakat, atau para pihak tidak mau menempuh
alternatif perdamaian.Penyelesaian sengketa melalui pengadilan dapat pula meliputi:
1. Pengajuan gugatan perlindungan konsumen secara perdata.
2. Penyelesaian sengketa konsumen secara pidana
3. Penyelesaian sengketa konsumen melalui instrumen Hukum Peradilan tata usaha negara,
dan melalui mekanisme Hukum Hak menguji materiel.
Mengenai pengajuan prosedur perkara perdata yang harus di dahuklukan adalah
adalah mengenai pendaftaran surat gugatan di kepaniteraan perkara perdata di Pengadilan
Negeri. Surat gugatan harus di siapkan terlebih dahulu. Menurut Pasal 5 menyatakan
bahwa:
1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
157
Mimbar Keadilan Jurnal Ilmu Hukum
Agustus 2017
Muhammad Pradika Setia Agafta
Adianto
2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar
pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidakmenghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak
berhasiloleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Berdasarkan instrumen hukum acara perdata, konsumen dapat berinisiatif
mengajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
terhadap pelaku usaha atas pelanggaran norma-norma UUPK.Dalam kasus perdata di
pengadilan negeri, pihak konsumen yang diberikan hak untuk mengjukan gugatan menurut
Pasal 46 UUPK adalah:
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersengkutan.
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu
berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan
dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
d. Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak
sedikit.
Sehubungan dngan gugatan di Pengadilan. Konsmen di berikan hak mengajukan gugatan
yang di atur dalam Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang
menyatakan bahwa:
Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.
b. Kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,
yaituberbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya
menyebutkandengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah
untukkepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai
dengan anggaran dasarnya.
d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak
sedikit.
Konsumen di tuntut dapat menangani sengketanya sendiri di pengadilan tanpa
harus ada bantuan hukum.perihal mngajukan gugatan, syarat syarat gugatan harus
terpenuhi. Ketentuan hukum acara perdata (HIR/HBg) syarat-syarat gugatan tidak
ditentukan secara limitatif. Namun, dalam prakteknya berkembang setidaknya surat
gugatan memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:5
a. Syarat Formal, meliputi :
5
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 179.
158
Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan...
1. Tempat dan tanggal pembuatan syarat gugatan.
2. Pembubuhan materai.
3. Tanda tanggan penggugat sendiri atau kuasa hukumnya.
b. Syarat Materil, meliputi:
1. Identitas Penggugat dan tergugat.
2. Posita (alasan-alasan yang menunjukan perikatan yang berdasarkan perjanjian atau
perbuatan melawan hukum).
3. Petitum (hal-hal yang dimohonkan penggugat untuk diputuskan oleh hakim).
C. Penutup
Tanggung jawab maskapai penerbangan jika terjadi kerugian yang di timbulkan
akibat keterlambatan penebangan. Sebagai pihak pengangkut mempunyai tanggung jawab
atas kerugian yang di derita karena keterlambatan penumpang pada angkutan udara kecuali
pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan atau pembatalan penerbangan
tersebut disebabkan faktor cuaca dan teknis operasional. Bentuk kompensasi atas
keterlambatan atau pembatalan penerbangan tersebut dapat berupa pengembalian uang
baik sebagian maupun sepenuhnya, pengalihan penerbangan dengan biaya yang di jamin
sampai dengan memberikan konsumsi, akomodasi dan biaya transportasi apabila tidak ada
penerbangan ke tujuan yang di perjanjikan.
Upaya hukum yang di lakukan jika konsumen di rugikan akibat keterlambatan
penerbangan adalah mengajukan gugatan ganti atau klaim kepada perusahaan
penerbangan, penyelesaian gugatanatau sengketa dapat ditempuh melalui dua jalur yaitu
jalur pengadilan dan jalur di luar pengadilan. Kedua model penyelesaian sengketa tersebut
diakui di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Konsumen bebas untuk memilih model penyelesaian sengketanya.
Perusahaan pengangkutan udara seharusnya meningkatkan kinerja pelayanan yang
baik terhadap konsumen. agar mengurangi kerugian yang akan di terima oleh perusahaan
pengangkutan udara. dan memberikan kepuasan secara penuh terhadap konsumen jasa
pengangkutan udara dan meminimalisir adanya gesekan atau sengketa antara kedua belah
pihak yang diakibatkan oleh keterlambatan penerbangan. Konsumen hendaknya mengerti
dan paham atas peraturan pengangkutan udara. dan cara mengajukan gugatan ganti rugi
atas keterlambatan penerbangan terhadap perusahaan pengangkutan udara. dan
pemahaman cara menuntut hak konsumen. proses pemberian ganti rugi harus sesuai
dengan hukum yang berlaku.
Daftar Pustaka
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2004,
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Johnny Ibrahim, Teori Metode dan Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang,
2007.
R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, CV Rajawali, Jakarta, 1981.
Soekardono R, Hukum Dagang Indonesia, Jilid 11, Rajawali Press, Jakarta, 1981.
159