Pariwisata berkelanjutan tidak cukup. Saatnya pariwisata regeneratif. Barang apa lagi ini?
Oleh
SIWI NUGRAHENI, PENGAJAR FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
·3 menit baca
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Sejumlah wisatawan berfoto di kawasan Puri Ubud yang terletak di Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali pada Sabtu (4/5/2024). Ubud menjadi destinasi pariwisata kebugaran (wellness) yang menarik wisatawan mancanegara maupun lokal.
Beberapa waktu yang lalu, seorang rekan memperkenalkan regenerative tourism atau pariwisata regeneratif. Bagi saya, itu sebuah konsep yang menarik. Sebab, berbicara tentang pengembangan sektor pariwisata yang tidak merusak lingkungan, kita selama ini disodori konsep sustainable tourism (pariwisata yang berkelanjutan).
Sejak Brundlandt Commission menerbitkan Our Common Future pada 1987, konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) seperti menjadi mantra baru dalam melakukan pembangunan ekonomi.
Pembangunan berkelanjutan, pembangunan yang bertumpu pada tiga pilar, yaitu memajukan kesejahteraan ekonomi (pilar ekonomi), tidak merusak lingkungan (pilar ekologi), dan juga mendorong distribusi kesejahteraan yang semakin merata, terutama bagi masyarakat lokal (pilar sosial).
Pembangunan berkelanjutan muncul sebagai reaksi dari pola-pola pembangunan ekonomi pada era sebelumnya yang dianggap sering mengorbankan kelestarian lingkungan.
Di antara ketiga pilar, biasanya yang dianggap sulit dipertemukan adalah tujuan kesejahteraan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Kedua tujuan tersebut sering dianggap sebagai hal dilematis. Oleh karena itu, pembangunan berkelanjutan sering dimaknai sebagai pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan ekonomi tanpa merusak lingkungan.
Pembangunan berkelanjutan muncul sebagai reaksi dari pola-pola pembangunan ekonomi pada era sebelumnya yang dianggap sering mengorbankan kelestarian lingkungan. Ini berlangsung pada era ketika pembangunan ekonomi dikatakan bersifat ekstraktif.
Perekonomian maju, ditandai dengan pertumbuhan positif, tetapi sebagai akibatnya alam dan lingkungan rusak, karena sistem ekologi terganggu. Dalam sistem ekologi, antara lain terdapat rantai makanan, siklus hidrologi, siklus karbon, dan siklus nitrogen.
SALOMO TOBING
Siwi Nugraheni
Pembangunan ekstraktif
Pembangunan yang bersifat ekstraktif berpotensi merusak sistem ekologi melalui terganggunya siklus hidrologi, terganggunya rantai makanan, dan seterusnya. Sistem ekologi yang tidak seimbang pada akhirnya menyebabkan berbagai bencana alam.
Pembangunan berkelanjutan bertujuan membuat pertumbuhan ekonomi positif, tetapi alam dan lingkungan tidak tumbuh negatif, setidaknya tetap stabil (bisa diibaratkan pertumbuhannya nol).
Para penganjurpariwisata regeneratif menyatakan bahwa jenis pariwisata ini melampaui pariwisata berkelanjutan. Artinya, pariwisata regeneratif memberikan pertumbuhan ekonomi positif, sekaligus ada agenda memperbaiki kondisi alam dan lingkungan (pertumbuhan positif juga).
Artinya, pariwisata regeneratif memberikan pertumbuhan ekonomi positif, sekaligus ada agenda memperbaiki kondisi alam dan lingkungan.
Dengan kata lain, pariwisata regeneratifdiharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi para pelakunya, termasuk masyarakat lokal, sekaligus memiliki dampak memperbaiki sistem ekologi yang sebelumnya rusak oleh pembangunan yang bersifat ekstraktif.
Pariwisata regeneratif melibatkan kegiatan-kegiatan nyata memperbaiki lingkungan yang melibatkan partisipasi wisatawan. Harapannya, langkah ini juga memberi inspirasi bagi para wisatawan perihal tindakan nyata memulihkan alam. Ikut menanam pohon di perbukitan daerah hulu sungai, menanam bakau di pantai, adalah contoh kegiatan dalam pariwisata regeneratif.
Di tengah kegairahan mengembangkan desa-desa wisata, konsep pariwisata regeneratif sangat layak dipertimbangkan. Pembangunan ekonomi yang sifatnya ekstraktif tak hanya menjamah wilayah perkotaan, tetapi juga perdesaan.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Finalis ajang kontes kecantikan Miss Mega Bintang Indonesia (MMBI) 2024 belajar mewiru jarik di Ndalem Mangkubumen, Kecamatan Kraton, Yogyakarta, Senin (6/5/2024). Sebanyak 50 finalis MMBI dari 15 provinsi berkesempatan mengenal sejumlah warisan budaya selama menjalani masa karantina ajang itu di Yogyakarta selama lima hari.
Gangguan rantai makanan
Peningkatan produktivitas pertanian dengan revolusi hijau telah berdampak pada terganggunya rantai makanan. Alih fungsi lahan hutan untuk mencukupi kebutuhan lahan di berbagai sektor telah mengganggu siklus hidrologi yang memicu banjir dan longsor.
Oleh sebab itu, sudah saatnya sektor pariwisata di perdesaan menyumbang tindakan positif untuk memulihkan sistem ekologi dengan kegiatan dan keterlibatan nyata wisatawan di dalam agenda wisatanya. Bahkan lebih dari itu, kegiatan wisata menjadi ikhtiar menjaga tradisi lama yang mengandung banyak kebaikan agar tidak tergerus oleh gaya hidup masa kini.
Setiap 22 April, kita memperingati Hari Bumi yang mengingatkan kembali pentingnya memulihkan kondisi bumi dari kerusakan akibat perilaku manusia di masa lalu yang mengejar kesejahteraan lewat cara-cara yang ekstraktif.
Pariwisata regeneratif dapat menjadi salah satu cara kita menyebarkan semangat memulihkan bumi, merestorasi alam, dan mengembalikan sistem ekologi untuk bekerja dengan baik.
Pariwisata regeneratif dapat menjadi salah satu cara kita menyebarkan semangat memulihkan bumi, merestorasi alam, dan mengembalikan sistem ekologi untuk bekerja dengan baik. Sebab, menghentikan tindakan merusak alam (yang menjadi semangat dalam pariwisata berkelanjutan) belum cukup.
Desa wisata yang tersebar di seluruh Nusantara dapat mengambil inisiatif untuk mengangkat konsep pariwisata regeneratif dalam mengembangkan pariwisata mereka.
Di masa datang, diharapkan semangat pariwisata regeneratif akan berkembang menjadi ekonomi regeneratif, ketika kegiatan di sektor-sektor ekonomi dilandasi semangat meningkatkan kesejahteraan sekaligus memulihkan kondisi alam dan lingkungan.